Masalah Klasik Penyerapan Anggaran Daerah
loading...
A
A
A
Untuk nilai pengadaan barang/jasa yang melalui penunjukkan langsung agaknya juga perlu sedikit dilonggarkan (bisa lebih dari Rp200 juta) dengan disertai juknis yang memastikan perusahaan yang ditunjuk betul-betul memiliki pengalaman, kapasitas, dan alat mutakhir untuk melaksanakan pekerjaan.
Ketiga, soal juknis yang belum turun, pemda bisa bersurat ke kementerian terkait dengan dibuatkan tembusan kepada Kementerian Dalam Negeri. Inspektorat Jenderal di kementerian pemberi DAK harus ikut mendorong agar juknis kegiatan yang akan dilaksanakan tahun depan dapat diselesaikan pada akhir tahun sebelumnya.
Faktor penting lainnya adalah pemda perlu diberikan diskresi yang cukup dalam mengimplementasikan DAK. Pemda senyatanya lebih memerlukan pedoman yang berorientasi hasil, juknis yang didominasi oleh pengaturan input.
Keempat, SIPD dibuat untuk terciptanya akuntabilitas, transparansi, dan mengikuti perkembangan zaman, sehingga dapat mempermudah masyarakat dalam proses pengajuan aspirasi. Dengan begitu, akan terwujud tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan menciptakan keterbukaan informasi keuangan.
Sepatutnya, pemda serius melakukan pemutakhiran referensi atas program, kegiatan, sub-kegiatan dan kode rekening secara menyeluruh dalam SIPD melalui penyesuaian pada tahapan penganggaran.
Kelima, pemerintah pusat patut memberikan sanksi, tetapi yang tepat sasaran, misalnya dengan penundaan gaji atau bahkan sampai pemotongan gaji pejabat pemda dan DPRD, karena merekalah yang berkewajiban memberikan fasilitas dan membantu daerah menuntaskan APBD sesuai tenggat waktu.
Selama ini, sanksi berupa penundaan dana alokasi umum (DAU) tidaklah tepat dan memberatkan daerah, sebab DAU adalah instrumen penting bagi pembangunan. Artinya, yang merasakan dampak sanksi adalah masyarakat yang membutuhkan fasilitas dan pengawasan intensif dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Ketiga, soal juknis yang belum turun, pemda bisa bersurat ke kementerian terkait dengan dibuatkan tembusan kepada Kementerian Dalam Negeri. Inspektorat Jenderal di kementerian pemberi DAK harus ikut mendorong agar juknis kegiatan yang akan dilaksanakan tahun depan dapat diselesaikan pada akhir tahun sebelumnya.
Faktor penting lainnya adalah pemda perlu diberikan diskresi yang cukup dalam mengimplementasikan DAK. Pemda senyatanya lebih memerlukan pedoman yang berorientasi hasil, juknis yang didominasi oleh pengaturan input.
Keempat, SIPD dibuat untuk terciptanya akuntabilitas, transparansi, dan mengikuti perkembangan zaman, sehingga dapat mempermudah masyarakat dalam proses pengajuan aspirasi. Dengan begitu, akan terwujud tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan menciptakan keterbukaan informasi keuangan.
Sepatutnya, pemda serius melakukan pemutakhiran referensi atas program, kegiatan, sub-kegiatan dan kode rekening secara menyeluruh dalam SIPD melalui penyesuaian pada tahapan penganggaran.
Kelima, pemerintah pusat patut memberikan sanksi, tetapi yang tepat sasaran, misalnya dengan penundaan gaji atau bahkan sampai pemotongan gaji pejabat pemda dan DPRD, karena merekalah yang berkewajiban memberikan fasilitas dan membantu daerah menuntaskan APBD sesuai tenggat waktu.
Selama ini, sanksi berupa penundaan dana alokasi umum (DAU) tidaklah tepat dan memberatkan daerah, sebab DAU adalah instrumen penting bagi pembangunan. Artinya, yang merasakan dampak sanksi adalah masyarakat yang membutuhkan fasilitas dan pengawasan intensif dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
(ynt)