Masalah Klasik Penyerapan Anggaran Daerah
loading...
A
A
A
MOH ILHAM A HAMUDY
Pemerhati pemerintahan dan politik, berkhidmat di Pusat Penerangan Kemendagri
Perbedaan yang mencolok antara organisasi pemerintah dan swasta adalah soal laba, yang secara umum didefinisikan sebagai uang. Organisasi swasta diwajibkan mencari laba sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan sejumlah modal tertentu.
Untuk mendapatkan laba, organisasi swasta menjual produk, bisa barang atau pun jasa. Laba yang dihasilkan itu didapat dari upaya keras para pegawainya. Mereka dibebani target dan tenggat waktu. Kalau tidak memenuhi keduanya, para pegawai tentu akan mendapatkan hukuman administrasi berupa: pemotongan tunjangan, bonus, demosi jabatan, atau bahkan sampai pemecatan.
Hal itu berbeda dengan organisasi pemerintah (termasuk pemerintah daerah/pemda), yang umumnya tidak ada kewajiban mencari laba. Para pegawainya tidak dibebani secara khusus untuk menjual produk barang atau pun jasa.
Malahan, yang diwajibkan negara adalah menghabiskan uang setiap tahun melalui daftar isian pelaksanaan anggaran dalam waktu singkat, minimal sesuai tenggat waktu yang telah ditentukan. Intinya, serapan anggaran harus habis, tuntas dalam periode tertentu setiap tahun anggaran.
Akan tetapi, meski cuma diminta menghabiskan uang, organisasi pemerintah acap tidak bisa. Inilah yang membuat Menteri Keuangan, bahkan Presiden marah, khususnya, kepada pemda yang selalu lambat dan menyisakan anggaran yang sudah diberikan. Negara sudah susah payah mencari uang yang berasal dari ekspor komoditi, pajak, retribusi, dan sebagian utang, tetapi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, malahan mengendap di bank.
Kondisi itulah yang terjadi daerah. Sampai ujung November 2022, daerah-daerah yang dana APBD-nya masih mengendap di bank antara lain Sulawesi Tengah dengan realisasi baru 44%, diikuti Kalimantan Timur 49%, Papua Barat 53%, Bangka Belitung 54%, Jambi 61%, dan Papua 62%.
Masalah Klasik
Merujuk data Kementerian Keuangan, realisasi serapan APBD sampai akhir tahun ini tercatat jauh lebih rendah ketimbang tahun lalu. Pada 2021, jumlah kas APBD yang tersimpan berkisar Rp226 triliun. Namun, pada akhir tahun ini, jumlahnya masih sekitar Rp278 triliun.
Secara umum, persoalan yang acap muncul dan berulang biasanya adalah,pertama, lelang yang dilakukan pada tahun yang sama dan pembayaran kontrak yang biasanya dilakukan pada akhir tahun. Atau, terjadirefocusinganggaran, sehingga dana untuk pengerjaan proyek tidak cukup. Dan, yang lebih parah lagi adalah tender sudah digelar, tetapi gagal.
Ada beberapa faktor kegagalan lelang pemerintah. Mulai dari jadwal atau waktu lelang yang sempit akibat perubahan dalam dokumen perencanaan, penyedia barang/jasa yang memiliki sertifikat badan usaha tertentu jumlahnya sangat terbatas, sedikitnya penyedia barang/jasa yang memiliki dukungan bahan dan peralatan dari distributor, terbatasnya waktu pelaksanaan pekerjaan, paket pekerjaan pernah mengalami gagal lelang, realisasi penawaran dalam tender di bawah pagu yang ditetapkan, dan/atau paket pengadaan barang/jasa kurang diminati.
Pemerhati pemerintahan dan politik, berkhidmat di Pusat Penerangan Kemendagri
Perbedaan yang mencolok antara organisasi pemerintah dan swasta adalah soal laba, yang secara umum didefinisikan sebagai uang. Organisasi swasta diwajibkan mencari laba sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan sejumlah modal tertentu.
Untuk mendapatkan laba, organisasi swasta menjual produk, bisa barang atau pun jasa. Laba yang dihasilkan itu didapat dari upaya keras para pegawainya. Mereka dibebani target dan tenggat waktu. Kalau tidak memenuhi keduanya, para pegawai tentu akan mendapatkan hukuman administrasi berupa: pemotongan tunjangan, bonus, demosi jabatan, atau bahkan sampai pemecatan.
Hal itu berbeda dengan organisasi pemerintah (termasuk pemerintah daerah/pemda), yang umumnya tidak ada kewajiban mencari laba. Para pegawainya tidak dibebani secara khusus untuk menjual produk barang atau pun jasa.
Malahan, yang diwajibkan negara adalah menghabiskan uang setiap tahun melalui daftar isian pelaksanaan anggaran dalam waktu singkat, minimal sesuai tenggat waktu yang telah ditentukan. Intinya, serapan anggaran harus habis, tuntas dalam periode tertentu setiap tahun anggaran.
Akan tetapi, meski cuma diminta menghabiskan uang, organisasi pemerintah acap tidak bisa. Inilah yang membuat Menteri Keuangan, bahkan Presiden marah, khususnya, kepada pemda yang selalu lambat dan menyisakan anggaran yang sudah diberikan. Negara sudah susah payah mencari uang yang berasal dari ekspor komoditi, pajak, retribusi, dan sebagian utang, tetapi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, malahan mengendap di bank.
Kondisi itulah yang terjadi daerah. Sampai ujung November 2022, daerah-daerah yang dana APBD-nya masih mengendap di bank antara lain Sulawesi Tengah dengan realisasi baru 44%, diikuti Kalimantan Timur 49%, Papua Barat 53%, Bangka Belitung 54%, Jambi 61%, dan Papua 62%.
Masalah Klasik
Merujuk data Kementerian Keuangan, realisasi serapan APBD sampai akhir tahun ini tercatat jauh lebih rendah ketimbang tahun lalu. Pada 2021, jumlah kas APBD yang tersimpan berkisar Rp226 triliun. Namun, pada akhir tahun ini, jumlahnya masih sekitar Rp278 triliun.
Secara umum, persoalan yang acap muncul dan berulang biasanya adalah,pertama, lelang yang dilakukan pada tahun yang sama dan pembayaran kontrak yang biasanya dilakukan pada akhir tahun. Atau, terjadirefocusinganggaran, sehingga dana untuk pengerjaan proyek tidak cukup. Dan, yang lebih parah lagi adalah tender sudah digelar, tetapi gagal.
Ada beberapa faktor kegagalan lelang pemerintah. Mulai dari jadwal atau waktu lelang yang sempit akibat perubahan dalam dokumen perencanaan, penyedia barang/jasa yang memiliki sertifikat badan usaha tertentu jumlahnya sangat terbatas, sedikitnya penyedia barang/jasa yang memiliki dukungan bahan dan peralatan dari distributor, terbatasnya waktu pelaksanaan pekerjaan, paket pekerjaan pernah mengalami gagal lelang, realisasi penawaran dalam tender di bawah pagu yang ditetapkan, dan/atau paket pengadaan barang/jasa kurang diminati.