Menyiapkan Kebaya sebagai Warisan Budaya Dunia
loading...
A
A
A
Mekanisme nominasi bersama seperti yang dilakukan oleh empat negara yang akan mendaftarkan kebaya memang menjamin sebuah jalan singkat untuk tujuan tersebut. Tingkat keberhasilannya pun tingggi karena tidak mengganggu jatah satu tema setiap dua tahun bagi setiap negara. Untuk diketahui, pendaftaran WBDTb dengan mekanisme nominasi tunggal, sebuah negara hanya diberi jatah dua tahun sekali oleh UNESCO.
Satu keuntungan lain dari pendaftaran dengan cara keroyokan melalui mekanisme multinational nominationyakni akanmemudahkan dalam proses diplomasi.
Tradisi Kebaya Negara Tetangga
Indonesia dikenal memiliki tradisi berkebaya yang kuat dan telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Lantas, bagaimana fakta dan realitas di negara tetangga, terutama Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam? Jawabannya, negara tetangga tersebut memang juga punya kultur berbusana kebaya yang memiliki kemiripan dengan kultur masyarakat melayu di belahan tertentu wilayah Indonesia. Jadi, sah-sah saja jika mereka berinisiatif untuk mendaftarkan kebaya ke UNESCO.
Pertanyaan yang banyak diajukan masyarakat adalah mengapa Indonesia ketinggalan atau kalah cepat mendaftarkan kebaya sebagai WDBTb ke UNESCO?
Negeri ini disibukkan dengan banyak persoalan internal termasuk hingar bingar masalah budaya. Hal tersebut membuat bangsa ini kurang serius mengurus warisan budayanya. Birokrasi kebudayaan di pemerintahan yang diharapkan bisa jadi lokomotif bagi gerbong kebudayaan bangsa ini, rupanya masih belum mampu bekerja maksimal.
Perihal WBDTb ini juga nampaknya masih dipahami salah kaprah oleh sebagian pihak. Rencana pengajuan kebaya ke UNESCO yang masih dalam tahap direncanakan bukanlah dalam konteks “kebendaan”. Maka dalam hal ini tentu tidak relevan ketika kita membahas bentuk fisik kebaya (kebaya Encim, kebaya Kutu Baru, kebaya Kartini, atau bentuk kebaya lainnya). Konteks kebaya di sini bukanlah benda. Maka yang relevan untuk dibahas adalah kebaya dalam kaitan dengan tradisi dan kegiatannya.
Jika ingin mendaftarkan kebaya secara nominasi tunggal yang tujuannya untuk meyakinkan UNESCO bahwa tradisi kebaya berasal dari Indonesia, lalu langkah apa saja yang sebaiknya disiapkan?
Dalam rangka menghimpun berbagai referensi untuk digunakan sebagai dasar pengajuan narasi proposal ke UNESCO (dossier), pemerintah masih harus melakukan riset mendalam dengan merujuk pada berbagai sumber primer, seperti artefak, relief di candi-candi atau sejenisnya yang ada di Indonesia. Selain itu perlu pula melacak berbagai narasi asli tentang kebaya (bukan kutipan) pada berbagai naskah kuno. Patut diduga naskah kuno tentang kebaya malah lebih banyak tersebar di berbagai museum di luar negeri.
Selain itu yang juga perlu dilakukan adalah menghimpun narasi cerita dan dokumentasi dari berbagai pihak yang masih menjalani praktik berbusana kebaya yang masih ada saat ini. Khususnya yang masih menerapkan budaya tersebut secara intens turun temurun, misalnya di wilayah keraton, kesultanan, kawasan industri kebaya dan lainnya di seluruh Indonesia yang jumlahnya sangat banyak.
Untuk itu dibutuhkan peran aktif komunitas demi mempercepat proses pengajuan kebaya ke UNESCO. Jika hanya mengandalkan kinerja birokrasi pemerintah untuk mengerjakan semua itu, pasti akan memakan waktu yang sangat lama.
Satu keuntungan lain dari pendaftaran dengan cara keroyokan melalui mekanisme multinational nominationyakni akanmemudahkan dalam proses diplomasi.
Tradisi Kebaya Negara Tetangga
Indonesia dikenal memiliki tradisi berkebaya yang kuat dan telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Lantas, bagaimana fakta dan realitas di negara tetangga, terutama Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam? Jawabannya, negara tetangga tersebut memang juga punya kultur berbusana kebaya yang memiliki kemiripan dengan kultur masyarakat melayu di belahan tertentu wilayah Indonesia. Jadi, sah-sah saja jika mereka berinisiatif untuk mendaftarkan kebaya ke UNESCO.
Pertanyaan yang banyak diajukan masyarakat adalah mengapa Indonesia ketinggalan atau kalah cepat mendaftarkan kebaya sebagai WDBTb ke UNESCO?
Negeri ini disibukkan dengan banyak persoalan internal termasuk hingar bingar masalah budaya. Hal tersebut membuat bangsa ini kurang serius mengurus warisan budayanya. Birokrasi kebudayaan di pemerintahan yang diharapkan bisa jadi lokomotif bagi gerbong kebudayaan bangsa ini, rupanya masih belum mampu bekerja maksimal.
Perihal WBDTb ini juga nampaknya masih dipahami salah kaprah oleh sebagian pihak. Rencana pengajuan kebaya ke UNESCO yang masih dalam tahap direncanakan bukanlah dalam konteks “kebendaan”. Maka dalam hal ini tentu tidak relevan ketika kita membahas bentuk fisik kebaya (kebaya Encim, kebaya Kutu Baru, kebaya Kartini, atau bentuk kebaya lainnya). Konteks kebaya di sini bukanlah benda. Maka yang relevan untuk dibahas adalah kebaya dalam kaitan dengan tradisi dan kegiatannya.
Jika ingin mendaftarkan kebaya secara nominasi tunggal yang tujuannya untuk meyakinkan UNESCO bahwa tradisi kebaya berasal dari Indonesia, lalu langkah apa saja yang sebaiknya disiapkan?
Dalam rangka menghimpun berbagai referensi untuk digunakan sebagai dasar pengajuan narasi proposal ke UNESCO (dossier), pemerintah masih harus melakukan riset mendalam dengan merujuk pada berbagai sumber primer, seperti artefak, relief di candi-candi atau sejenisnya yang ada di Indonesia. Selain itu perlu pula melacak berbagai narasi asli tentang kebaya (bukan kutipan) pada berbagai naskah kuno. Patut diduga naskah kuno tentang kebaya malah lebih banyak tersebar di berbagai museum di luar negeri.
Selain itu yang juga perlu dilakukan adalah menghimpun narasi cerita dan dokumentasi dari berbagai pihak yang masih menjalani praktik berbusana kebaya yang masih ada saat ini. Khususnya yang masih menerapkan budaya tersebut secara intens turun temurun, misalnya di wilayah keraton, kesultanan, kawasan industri kebaya dan lainnya di seluruh Indonesia yang jumlahnya sangat banyak.
Untuk itu dibutuhkan peran aktif komunitas demi mempercepat proses pengajuan kebaya ke UNESCO. Jika hanya mengandalkan kinerja birokrasi pemerintah untuk mengerjakan semua itu, pasti akan memakan waktu yang sangat lama.