Menyiapkan Kebaya sebagai Warisan Budaya Dunia
loading...
A
A
A
Heru Nugroho
Aktivis Pelestari Budaya, Pegiat Gerakan Cinta Kebaya melalui Laman www.tradisikebaya.id.
POLEMIK tentang kebaya kembali menghangat setelah empat negara ASEAN, yakni Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand pada November lalu mendeklarasikan akan mendaftarkan kebaya sebagai Warisan Budaya Dunia Takbenda (WBDTb) ke UNESCO.
Langkah empat negara tetangga tersebut mendapat beragam reaksi, terutama karena tidak menyertakan Indonesia di dalamnya. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara dengan tradisi berkebaya sejak beratus tahun lalu.
Kendati demikian, keempat negara juga mengajak negara lain, termasuk Indonesia, jika ingin bergabung dan mendaftarkan kebaya melalui mekanisme nominasi bersama atau multinational nomination.
Baca Juga: koran-sindo.com
Di dalam negeri, beberapa pihak bersuara lantang menuntut agar pemerintah Indonesia menyiapkan pengajuan kebaya sebagai WBDTb ke UNESCO hanya melalui mekanisme nominasi tunggal atau single nomination. Sikap seperti ini memperlihatkan masih ada pihak yang gagal paham dalam masalah pendaftaran WBDTb. Mengapa? Karena pemerintah Indonesia sendiri tidak akan mungkin mampu menyiapkan dokumen pendukungnya hanya dalam tempo kurang dari setahun.
Selain perlu waktu lama untuk mendaftarkan kebaya melalui mekanisme nominasi tunggal, ada pula persoalan lain, yakni soal antrean pendaftaran. Pada 2022 ini, pemerintah telah mengajukan budaya minum jamu sebagai WBDTb melalui mekanisme nominasi tunggal ke UNESCO.
Di belakang jamu, sudah mengantre pula reog ponorogo, tempe dan tenun yang persiapannya sudah dirancang sedemikian rupa oleh pihak pengusulnya. Jika pengusul tema Kebaya berhitung soal etika, paling cepat itu baru bisa diajukan ke UNESCO pada 2030. Karena jika kebaya ternyata "menyalip" tema yang sudah dipersiapkan tersebut, tentu itu akan melukai hati masyarakat pengusulnya.
Apakah nanti Indonesia akan bergabung atau tidak dengan empat negara ASEAN dalam mengusulkan Kebaya ke UNESCO? Kita akan saksikan sikap pemerintah nanti setelah menyimpulkan kehendak masyarakat, khususnya komunitas stakeholder kebaya.
Para negara tetangga nampaknya telah bersepakat bahwa kultur berbusana kebaya yang mereka pelihara turun temurun, tentu dengan cirinya masing-masing, akan diupayakan untuk menjadi warisan budaya yang boleh diklaim sebagai kultur berbusana bagi semua pihak di seluruh dunia.
Mekanisme nominasi bersama seperti yang dilakukan oleh empat negara yang akan mendaftarkan kebaya memang menjamin sebuah jalan singkat untuk tujuan tersebut. Tingkat keberhasilannya pun tingggi karena tidak mengganggu jatah satu tema setiap dua tahun bagi setiap negara. Untuk diketahui, pendaftaran WBDTb dengan mekanisme nominasi tunggal, sebuah negara hanya diberi jatah dua tahun sekali oleh UNESCO.
Satu keuntungan lain dari pendaftaran dengan cara keroyokan melalui mekanisme multinational nominationyakni akanmemudahkan dalam proses diplomasi.
Tradisi Kebaya Negara Tetangga
Indonesia dikenal memiliki tradisi berkebaya yang kuat dan telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Lantas, bagaimana fakta dan realitas di negara tetangga, terutama Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam? Jawabannya, negara tetangga tersebut memang juga punya kultur berbusana kebaya yang memiliki kemiripan dengan kultur masyarakat melayu di belahan tertentu wilayah Indonesia. Jadi, sah-sah saja jika mereka berinisiatif untuk mendaftarkan kebaya ke UNESCO.
Pertanyaan yang banyak diajukan masyarakat adalah mengapa Indonesia ketinggalan atau kalah cepat mendaftarkan kebaya sebagai WDBTb ke UNESCO?
Negeri ini disibukkan dengan banyak persoalan internal termasuk hingar bingar masalah budaya. Hal tersebut membuat bangsa ini kurang serius mengurus warisan budayanya. Birokrasi kebudayaan di pemerintahan yang diharapkan bisa jadi lokomotif bagi gerbong kebudayaan bangsa ini, rupanya masih belum mampu bekerja maksimal.
Perihal WBDTb ini juga nampaknya masih dipahami salah kaprah oleh sebagian pihak. Rencana pengajuan kebaya ke UNESCO yang masih dalam tahap direncanakan bukanlah dalam konteks “kebendaan”. Maka dalam hal ini tentu tidak relevan ketika kita membahas bentuk fisik kebaya (kebaya Encim, kebaya Kutu Baru, kebaya Kartini, atau bentuk kebaya lainnya). Konteks kebaya di sini bukanlah benda. Maka yang relevan untuk dibahas adalah kebaya dalam kaitan dengan tradisi dan kegiatannya.
Jika ingin mendaftarkan kebaya secara nominasi tunggal yang tujuannya untuk meyakinkan UNESCO bahwa tradisi kebaya berasal dari Indonesia, lalu langkah apa saja yang sebaiknya disiapkan?
Dalam rangka menghimpun berbagai referensi untuk digunakan sebagai dasar pengajuan narasi proposal ke UNESCO (dossier), pemerintah masih harus melakukan riset mendalam dengan merujuk pada berbagai sumber primer, seperti artefak, relief di candi-candi atau sejenisnya yang ada di Indonesia. Selain itu perlu pula melacak berbagai narasi asli tentang kebaya (bukan kutipan) pada berbagai naskah kuno. Patut diduga naskah kuno tentang kebaya malah lebih banyak tersebar di berbagai museum di luar negeri.
Selain itu yang juga perlu dilakukan adalah menghimpun narasi cerita dan dokumentasi dari berbagai pihak yang masih menjalani praktik berbusana kebaya yang masih ada saat ini. Khususnya yang masih menerapkan budaya tersebut secara intens turun temurun, misalnya di wilayah keraton, kesultanan, kawasan industri kebaya dan lainnya di seluruh Indonesia yang jumlahnya sangat banyak.
Untuk itu dibutuhkan peran aktif komunitas demi mempercepat proses pengajuan kebaya ke UNESCO. Jika hanya mengandalkan kinerja birokrasi pemerintah untuk mengerjakan semua itu, pasti akan memakan waktu yang sangat lama.
Nominasi Bersama
Sebelum satu tema budaya diusulkan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO, syaratnya adalah dia harus melalui penetapan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) secara nasional terlebih dahulu. Faktanya, hingga kini, baru dua jenis kebaya yang telah melewati tahapan tersebut, yakni kebaya Kerancang (Betawi) dan kebaya Labuh (Riau) yang tentu belum cukup untuk mewakili Indonesia. Dengan realitas tersebut, pertanyaannya apakah kita ingin maju sekarang ke UNESCO melalui mekanisme nominasi tunggal?
Pada dasarnya untuk mengajukan kebaya melalui mekanisme nominasi tunggal peluangnya masih terbuka. Hal ini mengingat Indonesia punya keragaman suku bangsa, yang semestinya juga punya keragaman tradisi yang sulit ditandingi negara manapun di dunia. Apalagi di wilayah Pulau Jawa yang memiliki sejarah panjang tentang tradisi kebaya dan berbeda dengan rumpun melayu. Indonesia pasti memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki negara ASEAN lainnya.
Sebaliknya, jika pada akhirnya nanti keputusan pemerintah adalah ikut bergabung dengan negara lain melalui mekanisme nominasi bersama ke UNESCO, itu adalah didorong keterpaksaan yang disebabkan oleh kelalaian kita sendiri. Atau bisa dianggap sebagai satu upaya agar Indonesia tidak kehilangan muka karena sudah kadung didahului oleh negara lain.
Namun demikian, positifnya adalah, Indonesia bisa menjadikan momen bergabung dengan negara lain melaluimultinational nomination tersebut sebagai ajang memahami konteks yang tercakup dalam pengajuan kebaya mereka ke UNESCO. Tanpa ikut bergabung, kita tidak akan pernah bisa tahu apa yang nanti dibahas dalam proses penetapan di rapat-rapat UNESCO, kecuali setelah diputuskan.
Dengan bersedia bergabung dengan negara lain, juga bisa menjadi ajang bagi Indonesia untuk menegosiasikan konteks lain pada tema kebaya ke negara-negara lain tersebut. Indonesia bisa memberikan pemahaman bahwa ada konteks tertentu pada kebaya yang sangat kuat warna Indonesia-nya dan sangat spesifik sehingga nanti akan diajukan sendiri oleh Indonesia melalui mekanisme nominasi tunggal. Kemungkinan negara lain akan memahami karena pada dasarnya mereka tahu bahwa bangsa dengan tradisi berkebaya yang paling kuat adalah Indonesia.
Saya kira solusi ini layak diperjuangkan oleh segenap stakeholder kebaya di Indonesia kalau memang niatnya sungguh-sungguh ingin memperjuangkan kebaya sebagai warisan budaya dunia.
Aktivis Pelestari Budaya, Pegiat Gerakan Cinta Kebaya melalui Laman www.tradisikebaya.id.
POLEMIK tentang kebaya kembali menghangat setelah empat negara ASEAN, yakni Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand pada November lalu mendeklarasikan akan mendaftarkan kebaya sebagai Warisan Budaya Dunia Takbenda (WBDTb) ke UNESCO.
Langkah empat negara tetangga tersebut mendapat beragam reaksi, terutama karena tidak menyertakan Indonesia di dalamnya. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara dengan tradisi berkebaya sejak beratus tahun lalu.
Kendati demikian, keempat negara juga mengajak negara lain, termasuk Indonesia, jika ingin bergabung dan mendaftarkan kebaya melalui mekanisme nominasi bersama atau multinational nomination.
Baca Juga: koran-sindo.com
Di dalam negeri, beberapa pihak bersuara lantang menuntut agar pemerintah Indonesia menyiapkan pengajuan kebaya sebagai WBDTb ke UNESCO hanya melalui mekanisme nominasi tunggal atau single nomination. Sikap seperti ini memperlihatkan masih ada pihak yang gagal paham dalam masalah pendaftaran WBDTb. Mengapa? Karena pemerintah Indonesia sendiri tidak akan mungkin mampu menyiapkan dokumen pendukungnya hanya dalam tempo kurang dari setahun.
Selain perlu waktu lama untuk mendaftarkan kebaya melalui mekanisme nominasi tunggal, ada pula persoalan lain, yakni soal antrean pendaftaran. Pada 2022 ini, pemerintah telah mengajukan budaya minum jamu sebagai WBDTb melalui mekanisme nominasi tunggal ke UNESCO.
Di belakang jamu, sudah mengantre pula reog ponorogo, tempe dan tenun yang persiapannya sudah dirancang sedemikian rupa oleh pihak pengusulnya. Jika pengusul tema Kebaya berhitung soal etika, paling cepat itu baru bisa diajukan ke UNESCO pada 2030. Karena jika kebaya ternyata "menyalip" tema yang sudah dipersiapkan tersebut, tentu itu akan melukai hati masyarakat pengusulnya.
Apakah nanti Indonesia akan bergabung atau tidak dengan empat negara ASEAN dalam mengusulkan Kebaya ke UNESCO? Kita akan saksikan sikap pemerintah nanti setelah menyimpulkan kehendak masyarakat, khususnya komunitas stakeholder kebaya.
Para negara tetangga nampaknya telah bersepakat bahwa kultur berbusana kebaya yang mereka pelihara turun temurun, tentu dengan cirinya masing-masing, akan diupayakan untuk menjadi warisan budaya yang boleh diklaim sebagai kultur berbusana bagi semua pihak di seluruh dunia.
Mekanisme nominasi bersama seperti yang dilakukan oleh empat negara yang akan mendaftarkan kebaya memang menjamin sebuah jalan singkat untuk tujuan tersebut. Tingkat keberhasilannya pun tingggi karena tidak mengganggu jatah satu tema setiap dua tahun bagi setiap negara. Untuk diketahui, pendaftaran WBDTb dengan mekanisme nominasi tunggal, sebuah negara hanya diberi jatah dua tahun sekali oleh UNESCO.
Satu keuntungan lain dari pendaftaran dengan cara keroyokan melalui mekanisme multinational nominationyakni akanmemudahkan dalam proses diplomasi.
Tradisi Kebaya Negara Tetangga
Indonesia dikenal memiliki tradisi berkebaya yang kuat dan telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Lantas, bagaimana fakta dan realitas di negara tetangga, terutama Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam? Jawabannya, negara tetangga tersebut memang juga punya kultur berbusana kebaya yang memiliki kemiripan dengan kultur masyarakat melayu di belahan tertentu wilayah Indonesia. Jadi, sah-sah saja jika mereka berinisiatif untuk mendaftarkan kebaya ke UNESCO.
Pertanyaan yang banyak diajukan masyarakat adalah mengapa Indonesia ketinggalan atau kalah cepat mendaftarkan kebaya sebagai WDBTb ke UNESCO?
Negeri ini disibukkan dengan banyak persoalan internal termasuk hingar bingar masalah budaya. Hal tersebut membuat bangsa ini kurang serius mengurus warisan budayanya. Birokrasi kebudayaan di pemerintahan yang diharapkan bisa jadi lokomotif bagi gerbong kebudayaan bangsa ini, rupanya masih belum mampu bekerja maksimal.
Perihal WBDTb ini juga nampaknya masih dipahami salah kaprah oleh sebagian pihak. Rencana pengajuan kebaya ke UNESCO yang masih dalam tahap direncanakan bukanlah dalam konteks “kebendaan”. Maka dalam hal ini tentu tidak relevan ketika kita membahas bentuk fisik kebaya (kebaya Encim, kebaya Kutu Baru, kebaya Kartini, atau bentuk kebaya lainnya). Konteks kebaya di sini bukanlah benda. Maka yang relevan untuk dibahas adalah kebaya dalam kaitan dengan tradisi dan kegiatannya.
Jika ingin mendaftarkan kebaya secara nominasi tunggal yang tujuannya untuk meyakinkan UNESCO bahwa tradisi kebaya berasal dari Indonesia, lalu langkah apa saja yang sebaiknya disiapkan?
Dalam rangka menghimpun berbagai referensi untuk digunakan sebagai dasar pengajuan narasi proposal ke UNESCO (dossier), pemerintah masih harus melakukan riset mendalam dengan merujuk pada berbagai sumber primer, seperti artefak, relief di candi-candi atau sejenisnya yang ada di Indonesia. Selain itu perlu pula melacak berbagai narasi asli tentang kebaya (bukan kutipan) pada berbagai naskah kuno. Patut diduga naskah kuno tentang kebaya malah lebih banyak tersebar di berbagai museum di luar negeri.
Selain itu yang juga perlu dilakukan adalah menghimpun narasi cerita dan dokumentasi dari berbagai pihak yang masih menjalani praktik berbusana kebaya yang masih ada saat ini. Khususnya yang masih menerapkan budaya tersebut secara intens turun temurun, misalnya di wilayah keraton, kesultanan, kawasan industri kebaya dan lainnya di seluruh Indonesia yang jumlahnya sangat banyak.
Untuk itu dibutuhkan peran aktif komunitas demi mempercepat proses pengajuan kebaya ke UNESCO. Jika hanya mengandalkan kinerja birokrasi pemerintah untuk mengerjakan semua itu, pasti akan memakan waktu yang sangat lama.
Nominasi Bersama
Sebelum satu tema budaya diusulkan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO, syaratnya adalah dia harus melalui penetapan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) secara nasional terlebih dahulu. Faktanya, hingga kini, baru dua jenis kebaya yang telah melewati tahapan tersebut, yakni kebaya Kerancang (Betawi) dan kebaya Labuh (Riau) yang tentu belum cukup untuk mewakili Indonesia. Dengan realitas tersebut, pertanyaannya apakah kita ingin maju sekarang ke UNESCO melalui mekanisme nominasi tunggal?
Pada dasarnya untuk mengajukan kebaya melalui mekanisme nominasi tunggal peluangnya masih terbuka. Hal ini mengingat Indonesia punya keragaman suku bangsa, yang semestinya juga punya keragaman tradisi yang sulit ditandingi negara manapun di dunia. Apalagi di wilayah Pulau Jawa yang memiliki sejarah panjang tentang tradisi kebaya dan berbeda dengan rumpun melayu. Indonesia pasti memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki negara ASEAN lainnya.
Sebaliknya, jika pada akhirnya nanti keputusan pemerintah adalah ikut bergabung dengan negara lain melalui mekanisme nominasi bersama ke UNESCO, itu adalah didorong keterpaksaan yang disebabkan oleh kelalaian kita sendiri. Atau bisa dianggap sebagai satu upaya agar Indonesia tidak kehilangan muka karena sudah kadung didahului oleh negara lain.
Namun demikian, positifnya adalah, Indonesia bisa menjadikan momen bergabung dengan negara lain melaluimultinational nomination tersebut sebagai ajang memahami konteks yang tercakup dalam pengajuan kebaya mereka ke UNESCO. Tanpa ikut bergabung, kita tidak akan pernah bisa tahu apa yang nanti dibahas dalam proses penetapan di rapat-rapat UNESCO, kecuali setelah diputuskan.
Dengan bersedia bergabung dengan negara lain, juga bisa menjadi ajang bagi Indonesia untuk menegosiasikan konteks lain pada tema kebaya ke negara-negara lain tersebut. Indonesia bisa memberikan pemahaman bahwa ada konteks tertentu pada kebaya yang sangat kuat warna Indonesia-nya dan sangat spesifik sehingga nanti akan diajukan sendiri oleh Indonesia melalui mekanisme nominasi tunggal. Kemungkinan negara lain akan memahami karena pada dasarnya mereka tahu bahwa bangsa dengan tradisi berkebaya yang paling kuat adalah Indonesia.
Saya kira solusi ini layak diperjuangkan oleh segenap stakeholder kebaya di Indonesia kalau memang niatnya sungguh-sungguh ingin memperjuangkan kebaya sebagai warisan budaya dunia.
(bmm)