Kontekstualisasi Mata Pelajaran
loading...
A
A
A
Muhtadin AR
Pemerhati Pendidikan
TEKNOLOGI yang semakin canggih telah memudahkan guru menjalankan tugas-tugasnya, terutama tugas yang terkait dengan pembelajaran. Untuk mendapatkan metode mengajar yang menyenangkan, fun, atau yang atraktif misalnya, tinggal ketik kata kunci di mesin pencarian Google atau YouTube, semua telah tersedia. Bahkan untuk membuat penugasan atau soal ujian, semua juga sudah tersedia, mulai dari yang recall dan remember (C1) hingga yang analisa (C6).
Baca Juga: koran-sindo.com
Namun ada satu tantangan yang harus dijawab oleh para guru, yaitu mengontektualisasikan mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Ini penting karena proses pembelajaran di lembaga pendidikan tidak akan memberikan makna apa-apa kepada para siswa jika mata pelajaran terpisah dari kehidupan mereka sehari-hari.
Para siswa akan tercerabut dari akar kehidupannya apabila apa yang dipelajarinya di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupannya di rumah, di keluarga, dan di lingkungannya.
Misalnya, untuk apa anak belajar biologi, matematika, kimia, fisika, atau agama? Guru ditantang untuk bisa mengaitkannya. Untuk apa anak harus menghapal rumus-rumus matematika yang rumit, sementara di kehidupannya, sementara yang dibutuhkan hanyalah rumus sederhana seputar penambahan, pengurangan, dan perkalian? Guru juga ditantang untuk bisa mengaitkannya. Untuk apa pula anak harus ke laboratorium kimia, fisika, biologi, jika di kehidupan nyatanya semua itu tidak dipakai? Guru juga ditantang untuk bisa menerangkannya.
Tantangan ini berat, tapi guru harus bisa menjawabnya. Para guru harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik, bahwa yang sedang dipelajari di sekolah itu adalah sesuatu yang sangat berguna di kehidupan sehari-hari di masyarakat. Para guru harus bisa menyambungkan satu materi dengan kehidupan riil yang ada di sekitar anak-anak tumbuh.
Dalam mata pelajaran agama, kontekstualisasi ini bahkan wajib, karena jika guru tidak bisa mengontektualisasikan materi pelajaran agama dengan kehidupan sehari-hari, materi agama ini tidak hanya berpotensi membuat anak-anak menganggap belajar agama itu tidak penting, tapi sekaligus juga sebaliknya, berpotensi menjadikan anak-anak salah memahami ajaran agama.
Sebagai contoh, ketika anak-anak belajar tentang fikih jual beli, maka guru harus menyampaikan fenomena transaksi non tunai yang sekarang sedang terjadi di masyarakat. Jika yang disampaikan hanya letterlijk seperti apa yang ada dalam buku, bahwa alat tukar yang bisa dipakai adalah uang atau barang, maka anak-anak akan berpikir, kok yang dipelajari di sekolah berbeda dengan kehidupan di masyarakat, lalu untuk apa belajar fikih jual beli?
Pun demikian ketika anak-anak belajar sejarah Islam. Pada pembahasan ghozwah, atau perang yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum kafir Quraisy misalnya, guru dituntut bisa menerangkan materi ini secara kontekstual, menerangkan konteks nabi memerangi kafir Quraisy, dan menjelaskannya dalam konteks kekinian. Karena jika tidak, anak-anak akan berpikir bahwa non muslim adalah musuh, orang yang harus diperangi.
Pemerhati Pendidikan
TEKNOLOGI yang semakin canggih telah memudahkan guru menjalankan tugas-tugasnya, terutama tugas yang terkait dengan pembelajaran. Untuk mendapatkan metode mengajar yang menyenangkan, fun, atau yang atraktif misalnya, tinggal ketik kata kunci di mesin pencarian Google atau YouTube, semua telah tersedia. Bahkan untuk membuat penugasan atau soal ujian, semua juga sudah tersedia, mulai dari yang recall dan remember (C1) hingga yang analisa (C6).
Baca Juga: koran-sindo.com
Namun ada satu tantangan yang harus dijawab oleh para guru, yaitu mengontektualisasikan mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Ini penting karena proses pembelajaran di lembaga pendidikan tidak akan memberikan makna apa-apa kepada para siswa jika mata pelajaran terpisah dari kehidupan mereka sehari-hari.
Para siswa akan tercerabut dari akar kehidupannya apabila apa yang dipelajarinya di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupannya di rumah, di keluarga, dan di lingkungannya.
Misalnya, untuk apa anak belajar biologi, matematika, kimia, fisika, atau agama? Guru ditantang untuk bisa mengaitkannya. Untuk apa anak harus menghapal rumus-rumus matematika yang rumit, sementara di kehidupannya, sementara yang dibutuhkan hanyalah rumus sederhana seputar penambahan, pengurangan, dan perkalian? Guru juga ditantang untuk bisa mengaitkannya. Untuk apa pula anak harus ke laboratorium kimia, fisika, biologi, jika di kehidupan nyatanya semua itu tidak dipakai? Guru juga ditantang untuk bisa menerangkannya.
Tantangan ini berat, tapi guru harus bisa menjawabnya. Para guru harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik, bahwa yang sedang dipelajari di sekolah itu adalah sesuatu yang sangat berguna di kehidupan sehari-hari di masyarakat. Para guru harus bisa menyambungkan satu materi dengan kehidupan riil yang ada di sekitar anak-anak tumbuh.
Dalam mata pelajaran agama, kontekstualisasi ini bahkan wajib, karena jika guru tidak bisa mengontektualisasikan materi pelajaran agama dengan kehidupan sehari-hari, materi agama ini tidak hanya berpotensi membuat anak-anak menganggap belajar agama itu tidak penting, tapi sekaligus juga sebaliknya, berpotensi menjadikan anak-anak salah memahami ajaran agama.
Sebagai contoh, ketika anak-anak belajar tentang fikih jual beli, maka guru harus menyampaikan fenomena transaksi non tunai yang sekarang sedang terjadi di masyarakat. Jika yang disampaikan hanya letterlijk seperti apa yang ada dalam buku, bahwa alat tukar yang bisa dipakai adalah uang atau barang, maka anak-anak akan berpikir, kok yang dipelajari di sekolah berbeda dengan kehidupan di masyarakat, lalu untuk apa belajar fikih jual beli?
Pun demikian ketika anak-anak belajar sejarah Islam. Pada pembahasan ghozwah, atau perang yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum kafir Quraisy misalnya, guru dituntut bisa menerangkan materi ini secara kontekstual, menerangkan konteks nabi memerangi kafir Quraisy, dan menjelaskannya dalam konteks kekinian. Karena jika tidak, anak-anak akan berpikir bahwa non muslim adalah musuh, orang yang harus diperangi.