Kontekstualisasi Mata Pelajaran
loading...
A
A
A
Memang, kontekstualisasi mata pelajaran ini berat, bahkan sangat berat. Seorang guru yang bacaannya hanya terbatas pada buku ajar saja, dipastikan tidak akan bisa mengontektualisasikan konten mata pelajaran, karena kontekstulisasi setidaknya membutuhkan dua hal, yaitu bahan bacaan yang luas, dan hati yang terbuka terhadap segala macam bentuk perubahan.
Bacaan yang luas akan membawa guru pada kemampuan memotret persoalan secara lebih makro, membandingkan teori, pola dan konteks peristiwa, serta menganalisa perkembangan zaman, sementara keterbukaan hati akan membawa guru pada kemampuan berpikir untuk menerima segala perubahan, dan perkembangan teknologi yang mengiringinya.
Tentu, kontekstualisasi ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh guru. Guru harus didukung oleh berbagai pihak, lingkungan sekolah, wali murid, lembaga pengembangan kompetensi milik kementerian, juga kebijakan dari pemerintah. Dalam konteks ini, kontekstualisasi harus ditempatkan sebagai kebutuhan bersama, kebutuhan untuk membantu anak-anak berpikir integral, bahwa antara yang dipelajarinya di sekolah sangat berkait erat dengan kehidupannya di luar sekolah, di keluarga dan lingkungannya.
Para guru harus di-support, dibantu kemampuan literasinya, dibantu kesenangan membacanya, dan diperluas kesempatan mengembangkan kompetensinya. Lembaga-lembaga pelatihan yang dimiliki kementerian, terutama Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama harus menyediakan ruang untuk membantu para guru meningkatkan kemampuan mengontektualisasikan konten mata pelajaran. Selebihnya, para guru didorong untuk memiliki kemampuan mengakses pengetahuan secara mandiri.
Pun demikian juga dengan anak-anak dan para orang tua wali murid, mereka harus dijauhkan dari cara berpikir instan tentang pendidikan. Cara berpikir bahwa segala pengetahuan itu mudah didapat karena ada Google, YouTube dan kemudahan teknologi lainnya, harus dihilangkan, karena pendidikan itu bukan sekadar pengetahuan, bukan sekadar transfer knowledge, tapi pendidikan adalah sebuah proses dari penanaman nilai, nilai untuk membentuk karakter.
Pada posisi inilah kontekstualisasi konten mata pelajaran akan menemukan relevansinya. Guru harus membiasakan diri menjelaskan isi mata pelajaran dengan konteks kekinian, kondisi di mana anak-anak sekarang berkembang. Materi pelajaran tidak akan memberikan pengaruh apapun kepada anak jika mereka menganggap isi pelajaran tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-harinya.
Memang, konsep merdeka belajar yang digagas Kemendikbudristek telah memberikan ruang yang seluas-luasnya pada model pembelajaran yang kontekstual, yaitu membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, namun ini bukan perkara mudah, karena proses pembelajaran belum sepenuhnya bertumpu pada anak. Posisi guru sebagai pendamping dalam proses pembelajaran masih sangat sentral.
Karenanya kita semua tidak ingin jika sekolah hanya akan dianggap sebagai rutinitas yang harus dijalani di satu sisi, dan kehidupan sehari-hari anak-anak adalah sisi yang lain. Para pengelola lembaga pendidikan, para pengambil kebijakan pendidikan di pemerintah harus terus menerus berijtihad, bahwa apa yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, saling kait mengait dengan kehidupan sehari-hari, dan itu hanya melalui kontekstualisasi konten mata pelajaran, tidak yang lain.
Bacaan yang luas akan membawa guru pada kemampuan memotret persoalan secara lebih makro, membandingkan teori, pola dan konteks peristiwa, serta menganalisa perkembangan zaman, sementara keterbukaan hati akan membawa guru pada kemampuan berpikir untuk menerima segala perubahan, dan perkembangan teknologi yang mengiringinya.
Tentu, kontekstualisasi ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh guru. Guru harus didukung oleh berbagai pihak, lingkungan sekolah, wali murid, lembaga pengembangan kompetensi milik kementerian, juga kebijakan dari pemerintah. Dalam konteks ini, kontekstualisasi harus ditempatkan sebagai kebutuhan bersama, kebutuhan untuk membantu anak-anak berpikir integral, bahwa antara yang dipelajarinya di sekolah sangat berkait erat dengan kehidupannya di luar sekolah, di keluarga dan lingkungannya.
Para guru harus di-support, dibantu kemampuan literasinya, dibantu kesenangan membacanya, dan diperluas kesempatan mengembangkan kompetensinya. Lembaga-lembaga pelatihan yang dimiliki kementerian, terutama Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama harus menyediakan ruang untuk membantu para guru meningkatkan kemampuan mengontektualisasikan konten mata pelajaran. Selebihnya, para guru didorong untuk memiliki kemampuan mengakses pengetahuan secara mandiri.
Pun demikian juga dengan anak-anak dan para orang tua wali murid, mereka harus dijauhkan dari cara berpikir instan tentang pendidikan. Cara berpikir bahwa segala pengetahuan itu mudah didapat karena ada Google, YouTube dan kemudahan teknologi lainnya, harus dihilangkan, karena pendidikan itu bukan sekadar pengetahuan, bukan sekadar transfer knowledge, tapi pendidikan adalah sebuah proses dari penanaman nilai, nilai untuk membentuk karakter.
Pada posisi inilah kontekstualisasi konten mata pelajaran akan menemukan relevansinya. Guru harus membiasakan diri menjelaskan isi mata pelajaran dengan konteks kekinian, kondisi di mana anak-anak sekarang berkembang. Materi pelajaran tidak akan memberikan pengaruh apapun kepada anak jika mereka menganggap isi pelajaran tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-harinya.
Memang, konsep merdeka belajar yang digagas Kemendikbudristek telah memberikan ruang yang seluas-luasnya pada model pembelajaran yang kontekstual, yaitu membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, namun ini bukan perkara mudah, karena proses pembelajaran belum sepenuhnya bertumpu pada anak. Posisi guru sebagai pendamping dalam proses pembelajaran masih sangat sentral.
Karenanya kita semua tidak ingin jika sekolah hanya akan dianggap sebagai rutinitas yang harus dijalani di satu sisi, dan kehidupan sehari-hari anak-anak adalah sisi yang lain. Para pengelola lembaga pendidikan, para pengambil kebijakan pendidikan di pemerintah harus terus menerus berijtihad, bahwa apa yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, saling kait mengait dengan kehidupan sehari-hari, dan itu hanya melalui kontekstualisasi konten mata pelajaran, tidak yang lain.
(bmm)