Kontekstualisasi Mata Pelajaran

Jum'at, 02 Desember 2022 - 15:18 WIB
loading...
Kontekstualisasi Mata...
Muhtadin AR (Foto: Ist)
A A A
Muhtadin AR
Pemerhati Pendidikan

TEKNOLOGI yang semakin canggih telah memudahkan guru menjalankan tugas-tugasnya, terutama tugas yang terkait dengan pembelajaran. Untuk mendapatkan metode mengajar yang menyenangkan, fun, atau yang atraktif misalnya, tinggal ketik kata kunci di mesin pencarian Google atau YouTube, semua telah tersedia. Bahkan untuk membuat penugasan atau soal ujian, semua juga sudah tersedia, mulai dari yang recall dan remember (C1) hingga yang analisa (C6).

Baca Juga: koran-sindo.com

Namun ada satu tantangan yang harus dijawab oleh para guru, yaitu mengontektualisasikan mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Ini penting karena proses pembelajaran di lembaga pendidikan tidak akan memberikan makna apa-apa kepada para siswa jika mata pelajaran terpisah dari kehidupan mereka sehari-hari.

Para siswa akan tercerabut dari akar kehidupannya apabila apa yang dipelajarinya di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupannya di rumah, di keluarga, dan di lingkungannya.

Misalnya, untuk apa anak belajar biologi, matematika, kimia, fisika, atau agama? Guru ditantang untuk bisa mengaitkannya. Untuk apa anak harus menghapal rumus-rumus matematika yang rumit, sementara di kehidupannya, sementara yang dibutuhkan hanyalah rumus sederhana seputar penambahan, pengurangan, dan perkalian? Guru juga ditantang untuk bisa mengaitkannya. Untuk apa pula anak harus ke laboratorium kimia, fisika, biologi, jika di kehidupan nyatanya semua itu tidak dipakai? Guru juga ditantang untuk bisa menerangkannya.

Tantangan ini berat, tapi guru harus bisa menjawabnya. Para guru harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik, bahwa yang sedang dipelajari di sekolah itu adalah sesuatu yang sangat berguna di kehidupan sehari-hari di masyarakat. Para guru harus bisa menyambungkan satu materi dengan kehidupan riil yang ada di sekitar anak-anak tumbuh.

Dalam mata pelajaran agama, kontekstualisasi ini bahkan wajib, karena jika guru tidak bisa mengontektualisasikan materi pelajaran agama dengan kehidupan sehari-hari, materi agama ini tidak hanya berpotensi membuat anak-anak menganggap belajar agama itu tidak penting, tapi sekaligus juga sebaliknya, berpotensi menjadikan anak-anak salah memahami ajaran agama.

Sebagai contoh, ketika anak-anak belajar tentang fikih jual beli, maka guru harus menyampaikan fenomena transaksi non tunai yang sekarang sedang terjadi di masyarakat. Jika yang disampaikan hanya letterlijk seperti apa yang ada dalam buku, bahwa alat tukar yang bisa dipakai adalah uang atau barang, maka anak-anak akan berpikir, kok yang dipelajari di sekolah berbeda dengan kehidupan di masyarakat, lalu untuk apa belajar fikih jual beli?

Pun demikian ketika anak-anak belajar sejarah Islam. Pada pembahasan ghozwah, atau perang yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum kafir Quraisy misalnya, guru dituntut bisa menerangkan materi ini secara kontekstual, menerangkan konteks nabi memerangi kafir Quraisy, dan menjelaskannya dalam konteks kekinian. Karena jika tidak, anak-anak akan berpikir bahwa non muslim adalah musuh, orang yang harus diperangi.

Memang, kontekstualisasi mata pelajaran ini berat, bahkan sangat berat. Seorang guru yang bacaannya hanya terbatas pada buku ajar saja, dipastikan tidak akan bisa mengontektualisasikan konten mata pelajaran, karena kontekstulisasi setidaknya membutuhkan dua hal, yaitu bahan bacaan yang luas, dan hati yang terbuka terhadap segala macam bentuk perubahan.

Bacaan yang luas akan membawa guru pada kemampuan memotret persoalan secara lebih makro, membandingkan teori, pola dan konteks peristiwa, serta menganalisa perkembangan zaman, sementara keterbukaan hati akan membawa guru pada kemampuan berpikir untuk menerima segala perubahan, dan perkembangan teknologi yang mengiringinya.

Tentu, kontekstualisasi ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh guru. Guru harus didukung oleh berbagai pihak, lingkungan sekolah, wali murid, lembaga pengembangan kompetensi milik kementerian, juga kebijakan dari pemerintah. Dalam konteks ini, kontekstualisasi harus ditempatkan sebagai kebutuhan bersama, kebutuhan untuk membantu anak-anak berpikir integral, bahwa antara yang dipelajarinya di sekolah sangat berkait erat dengan kehidupannya di luar sekolah, di keluarga dan lingkungannya.

Para guru harus di-support, dibantu kemampuan literasinya, dibantu kesenangan membacanya, dan diperluas kesempatan mengembangkan kompetensinya. Lembaga-lembaga pelatihan yang dimiliki kementerian, terutama Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama harus menyediakan ruang untuk membantu para guru meningkatkan kemampuan mengontektualisasikan konten mata pelajaran. Selebihnya, para guru didorong untuk memiliki kemampuan mengakses pengetahuan secara mandiri.

Pun demikian juga dengan anak-anak dan para orang tua wali murid, mereka harus dijauhkan dari cara berpikir instan tentang pendidikan. Cara berpikir bahwa segala pengetahuan itu mudah didapat karena ada Google, YouTube dan kemudahan teknologi lainnya, harus dihilangkan, karena pendidikan itu bukan sekadar pengetahuan, bukan sekadar transfer knowledge, tapi pendidikan adalah sebuah proses dari penanaman nilai, nilai untuk membentuk karakter.

Pada posisi inilah kontekstualisasi konten mata pelajaran akan menemukan relevansinya. Guru harus membiasakan diri menjelaskan isi mata pelajaran dengan konteks kekinian, kondisi di mana anak-anak sekarang berkembang. Materi pelajaran tidak akan memberikan pengaruh apapun kepada anak jika mereka menganggap isi pelajaran tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-harinya.

Memang, konsep merdeka belajar yang digagas Kemendikbudristek telah memberikan ruang yang seluas-luasnya pada model pembelajaran yang kontekstual, yaitu membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, namun ini bukan perkara mudah, karena proses pembelajaran belum sepenuhnya bertumpu pada anak. Posisi guru sebagai pendamping dalam proses pembelajaran masih sangat sentral.

Karenanya kita semua tidak ingin jika sekolah hanya akan dianggap sebagai rutinitas yang harus dijalani di satu sisi, dan kehidupan sehari-hari anak-anak adalah sisi yang lain. Para pengelola lembaga pendidikan, para pengambil kebijakan pendidikan di pemerintah harus terus menerus berijtihad, bahwa apa yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, saling kait mengait dengan kehidupan sehari-hari, dan itu hanya melalui kontekstualisasi konten mata pelajaran, tidak yang lain.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1896 seconds (0.1#10.140)