Membangun Sumber Ekonomi Baru Menghadapi Ancaman Resesi Global

Kamis, 01 Desember 2022 - 15:15 WIB
loading...
A A A
Perlu diketahui, sejak kebijakan hilirisasi minerba dalam catatan Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tahun ini hasil ekspor nikel diprediksi menembus USD27 miliar-USD30 miliar atau Rp418 triliun-Rp465 triliun (kurs rupiah Rp15.500 per dolar AS).

Sebelum larangan ekspor bijih nikel berlaku di Indonesia, nilai ekspor bijih nikel hanya mencapai USD3 miliar atau Rp46,5 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS) pada 2017-2018. Adapun di 2021 nilai ekspor melejit mencapai UD20,9 miliar atau sekitar Rp323 triliun. Menurut data Kementerian Perdagangan dan Kemenko Perekonomian, di akhir 2022 ekspor nikel bisa mencapai USD27 miliar-USD30 miliar (Rp465 triliun) dari dampak hilirisasi.

Kemudian Kementerian ESDM mencatat kontribusi penerimaan negara bukan pajak dari sektor mineral dan batu bara hingga 11 November mencapai Rp146,85 triliun. Ekspor batubara disebut berperan memberikan kontribusi lebih dari 60%. Perlu diketahui transaksi berjalan RI surplus USD4,4 miliar.

Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Mohammad Kemal khawatir resesi global akan menggerus minat perusahaan untuk berinvestasi di sektor minyak dan gas. Resesi global diperkirakan terjadi pada 2023 dan dampaknya akan memukul sejumlah industri. Perusahaan cenderung tidak mau berinvestasi karena menahan cash flow. Namun SKK Migas akan berusaha mengatasi kekhawatiran itu. Salah satunya dengan dengan mengunci program kerja dan anggaran yang sedang berjalan.

Adapun SKK menargetkan investasi di sektor migas sebesar USD14 miliar atau setara dengan Rp219,2 triliun (kurs Rp15.644 per dolar AS). Untuk tahun ini, target investasi untuk hulu migas senilai USD13,2 miliar. Optimistis target tersebut tercapai.

Mendorong Penggunaan Produk Dalam Negeri
Hal ini sejalan dengan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selalu menekankan penggunaan produk dalam negeri. Perlu diketahui APBN 2023 lebih dari Rp3.000 triliun dan hampir Rp750 triliun di antaranya bisa digunakan untuk belanja produk dalam negeri. Maka alokasi belanja ini, meski jangka pendek, bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Penggunaan atau pembelian produk-produk dalam negeri tentu juga dapat menjadi strategi menghadapi resesi global dengan mendorong tingkat konsumsi masyarakat. Tentunya disesuikan dengan kemampuan daya beli masyarakat dengan menjaga nilai inflasi dan harga barang kebutuhan.

Sebagai contoh, Jepang mencatatkan kenaikan inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir sejak Februari 1982 yaitu sebesar 3,6%. Bank Jepang (BOJ) menyebut inflasi negara itu naik selama 14 bulan berturut-turut dan angka pada Oktober telah melampaui kenaikan 3% di bulan sebelumnya.

Menurut perusahaan analisis Teikoku Databank Ltd, harga sekitar 6.700 barang sehari-hari naik di Oktober. Sementara harga makanan naik rata-rata 5,9%, disusul listrik 20,9%, dan gas 26,8%. Angka inflasi belakangan ini diperburuk oleh peningkatan harga energi dan Yen yang melemah.

Kondisi ini disikapi oleh masyarakat Jepang dengan mulai mengurangi pengeluaran secara drastis sebagai imbas dari harga barang dan jasa yang terus meroket di tengah hantaman inflasi. Namun kehati-hatian keuangan semacam itu telah membuat rumah tangga Jepang malah mengumpulkan aset sebesar Rp244 triliun selama bertahun-tahun, dengan lebih dari setengahnya disimpan dalam tabungan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1772 seconds (0.1#10.140)