Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pemilihan Rektor
loading...
A
A
A
Babun Suharto
Rektor UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Kebijakan tentang pemilihan Rektor atau Ketua di perguruan tinggi keagamaan mencuat ke publik setelah muncul protes dari salah seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Protes itu berkaitan dengan kebijakan pemilihan Rektor berada di tangan Menteri Agama yang dianggap sebagai lembaga jahiliah.
Jika ditelisik lebih jauh, sejatinya kebijakan tentang pemilihan Rektor dan Ketua di lingkungan Kementerian Agama telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan pemerintah. Peraturan ini sudah berjalan dalam hitungan tujuh tahun. Pertanyaannya, mengapa baru saat ini protes itu muncul?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu evaluasi dan kajian mendalam agar tidak bias dan condong pada satu penilaian subyektif. Persoalannya, perguruan tinggi keagamaan merupakan wadah pengembangan akademik, bukan ruang “kasak kusuk” sebagai arena politik praktis. Perguruan tinggi merupakan lembaga akademik yang membutuhkan satu komitmen dari seluruh gerbong keluarga besar civitas akademika.
Sudah bisa dipastikan, perwujudan visi dan misi perguruan tinggi tidak akan tercapai dengan baik apabila dalam satu gerbong keluarga besar terpecah akibat kontestasi dalam pemilihan Rektor atau Ketua. Karena itu, semangat dari PMA 68 sejatinya sudah relatif baik untuk meminimalisasi terjadinya konflik berkepanjangan yang menghambat lajunya sebuah perguruan tinggi. Tentu, ide-ide konstruktif dan masukan dari berbagai pihak diperlukan untuk memperbaiki kebijakan tersebut.
Jika ada anggapan bahwa kebijakan ini mengebiri peran internal warga kampus, sepenuhnya tidak demikian. Pada prinsipnya, PMA 68 Tahun 2015 telah melibatkan unsur internal perguruan tinggi yaitu senat. Nama-nama calon Rektor atau Ketua yang dinyatakan lolos secara administratif di tingkat perguruan tinggi dari hasil penjaringan panitia lokal, kemudian diserahkan kepada Senat untuk mendapatkan pertimbangan secara kualitatif. Pertimbangan tersebut, sebagaimana dalam PMA 68 tahun 2015, meliputi aspek moralitas, kepemimpinan, manajerial, kompetensi akademik, dan jaringan kerja sama. Hasil dari penilaian Senat selanjutnya dikirimkan ke Kementerian Agama.
Di tingkat Kementerian Agama, para calon Rektor atau Ketua mengikuti fit and proper test dihadapan para Komisi Seleksi (Komsel). Komsel inilah yang memiliki tugas untuk menetapkan tiga besar yang selanjutnya disampaikan kepada Menteri Agama. Dalam rentetan proses itu, sejatinya tidak ada masalah. Dengan kata lain, proses itu selama ini berjalan sesuai dengan regulasi yang ada.
Akan tetapi, seluruh rentetan proses penjaringan dari awal hingga penentuan tiga besar tersebut memerlukan aspek transparansi dan akuntabilitas, di mana setiap proses kebijakan publik harus dipertanggungjawabkan.
Artinya, publik berhak mengetahui rekam jejak para calon, minimal dengan mengumumkan nama dari tiga besar yang telah ditentukan oleh Komsel dan diserahkan kepada Menteri Agama. Karena itu, sebagai masukan dari PMA 68 tahun 2015 tersebut, aspek transparansi menjadi niscaya, setidaknya dengan mengumumkan secara terbuka ke publik tiga besar calon Rektor atau Ketua hasil penjaringan dari Komsel. Dengan demikian, seluruh proses itu dapat berjalan dengan sangat terbuka sejak dari penjaringan pada tingkat perguruan tinggi hingga pada tingkat Komsel di Kementerian Agama.
Rektor UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Kebijakan tentang pemilihan Rektor atau Ketua di perguruan tinggi keagamaan mencuat ke publik setelah muncul protes dari salah seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Protes itu berkaitan dengan kebijakan pemilihan Rektor berada di tangan Menteri Agama yang dianggap sebagai lembaga jahiliah.
Jika ditelisik lebih jauh, sejatinya kebijakan tentang pemilihan Rektor dan Ketua di lingkungan Kementerian Agama telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan pemerintah. Peraturan ini sudah berjalan dalam hitungan tujuh tahun. Pertanyaannya, mengapa baru saat ini protes itu muncul?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu evaluasi dan kajian mendalam agar tidak bias dan condong pada satu penilaian subyektif. Persoalannya, perguruan tinggi keagamaan merupakan wadah pengembangan akademik, bukan ruang “kasak kusuk” sebagai arena politik praktis. Perguruan tinggi merupakan lembaga akademik yang membutuhkan satu komitmen dari seluruh gerbong keluarga besar civitas akademika.
Sudah bisa dipastikan, perwujudan visi dan misi perguruan tinggi tidak akan tercapai dengan baik apabila dalam satu gerbong keluarga besar terpecah akibat kontestasi dalam pemilihan Rektor atau Ketua. Karena itu, semangat dari PMA 68 sejatinya sudah relatif baik untuk meminimalisasi terjadinya konflik berkepanjangan yang menghambat lajunya sebuah perguruan tinggi. Tentu, ide-ide konstruktif dan masukan dari berbagai pihak diperlukan untuk memperbaiki kebijakan tersebut.
Jika ada anggapan bahwa kebijakan ini mengebiri peran internal warga kampus, sepenuhnya tidak demikian. Pada prinsipnya, PMA 68 Tahun 2015 telah melibatkan unsur internal perguruan tinggi yaitu senat. Nama-nama calon Rektor atau Ketua yang dinyatakan lolos secara administratif di tingkat perguruan tinggi dari hasil penjaringan panitia lokal, kemudian diserahkan kepada Senat untuk mendapatkan pertimbangan secara kualitatif. Pertimbangan tersebut, sebagaimana dalam PMA 68 tahun 2015, meliputi aspek moralitas, kepemimpinan, manajerial, kompetensi akademik, dan jaringan kerja sama. Hasil dari penilaian Senat selanjutnya dikirimkan ke Kementerian Agama.
Di tingkat Kementerian Agama, para calon Rektor atau Ketua mengikuti fit and proper test dihadapan para Komisi Seleksi (Komsel). Komsel inilah yang memiliki tugas untuk menetapkan tiga besar yang selanjutnya disampaikan kepada Menteri Agama. Dalam rentetan proses itu, sejatinya tidak ada masalah. Dengan kata lain, proses itu selama ini berjalan sesuai dengan regulasi yang ada.
Akan tetapi, seluruh rentetan proses penjaringan dari awal hingga penentuan tiga besar tersebut memerlukan aspek transparansi dan akuntabilitas, di mana setiap proses kebijakan publik harus dipertanggungjawabkan.
Artinya, publik berhak mengetahui rekam jejak para calon, minimal dengan mengumumkan nama dari tiga besar yang telah ditentukan oleh Komsel dan diserahkan kepada Menteri Agama. Karena itu, sebagai masukan dari PMA 68 tahun 2015 tersebut, aspek transparansi menjadi niscaya, setidaknya dengan mengumumkan secara terbuka ke publik tiga besar calon Rektor atau Ketua hasil penjaringan dari Komsel. Dengan demikian, seluruh proses itu dapat berjalan dengan sangat terbuka sejak dari penjaringan pada tingkat perguruan tinggi hingga pada tingkat Komsel di Kementerian Agama.
(ynt)