Mencari Format Terbaik Alokasi Kuota Haji

Sabtu, 12 November 2022 - 09:13 WIB
loading...
A A A
Namun, sebagai sebuah kebijakan, ada juga kekurangannya; yaitu terjadi variasi masa tunggu antarkabupaten/kota dalam satu provinsi. Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan, dengan kuota normal, masa tunggu tercepatnya adalah 23 tahun (Kabupaten Enrekang) dan terlama adalah 46 tahun (Kabupaten Bantaeng). Contoh lainnya, di Jawa Barat, tercepat adalah 17 tahun (Kabupaten Sukabumi) dan terlama adalah 29 tahun (Kabupaten Bekasi).

Opsi Solusi
Terkait persoalan ini, setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketimpangan masa tunggu, sekaligus menurunkan masa tunggu terlama.

Pertama, kuota provinsi tidak dibagi lagi ke kabupaten/kota. Pasal 13 ayat (3) menyebutkan Gubernur ‘dapat’ membagi kuota provinsi ke kuota kabupaten/kota. Kata ‘dapat’ pada pasal di atas berarti boleh dilakukan dan boleh tidak. Seperti halnya, 24 gubernur provinsi lainnya yang tidak membagi kuota provinsi

Jika mengambil cara ini, masa tunggu setiap provinsi akan sama, sekali pun jemaah berasal dari kabupaten/kota berbeda. Masa tunggu di Sulawesi Selatan tidak lagi bervariasi dalam rentang 23 hingga 46 tahun, tapi menjadi sama, yaitu 36 tahun. Kabupaten Bantaeng, masa tunggunya tidak lagi 46 tahun, tapi turun menjadi 36 tahun.

Demikian pula dengan Jawa Barat, dari semula berbeda-beda antara 17 sampai 29 tahun, menjadi sama pada masa tunggu 22 tahun. Secara nasional, cara ini juga memangkas rentang masa tunggu antardaerah, dari semula 10-46 tahun, menjadi 15 tahun (Maluku) hingga 37 tahun (Kalimantan Selatan).

Cara ini cenderung aman dan tidak besar resistensinya karena tidak ada perubahan alokasi kuota antarprovinsi. Yang terjadi adalah perubahan daftar antrean dalam provinsi karena tidak lagi ada pembagian kuota kabupaten/kota.

Cara kedua adalah mengalokasikan kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu. Pasal 13 ayat (2) mengatur dua opsi pembagian kuota haji Indonesia. Pertama, proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi. Ini adalah opsi yang selama ini digunakan untuk membagi kuota haji Indonesia menjadi kuota provinsi. Semakin banyak jumlah penduduk muslim sebuah daerah, semakin besar kuota yang diterima.

Opsi berikutnya adalah membagi kuota berdasarkan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi. Semakin banyak daftar tunggu sebuah daerah, semakin banyak kuota yang diterima. Opsi ini pernah digunakan untuk mengalokasikan 10.000 kuota tambahan pada tahun 2019. Sementara kuota utamanya masih berdasarkan proporsi penduduk muslim.

Secara umum dapat dikatakan, jumlah penduduk muslim suatu daerah bukanlah satu-satunya faktor penentu jumlah pendaftar haji di daerah tersebut. Masih ada faktor lain yang menjadi penentu animo mendaftar haji, antara lain tingkat kesejahteraan dan kondisi sosial budaya di daerah.

Karenanya, pembagian kuota berdasarkan penduduk muslim sebuah daerah dapat dirasakan kurang adil. Beberapa daerah memiliki kuota besar, tapi pendaftarnya sedikit, sebaliknya ada yang kuota sedikit tetapi pendaftarnya banyak.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1238 seconds (0.1#10.140)