Mencari Format Terbaik Alokasi Kuota Haji
loading...
A
A
A
Moh. Hasan Afandi
Analis Kebijakan Ahli Madya, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama
Masa tunggu jemaah haji ramai diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak kalangan menilai, lamanya masa tunggu jemaah haji tidak masuk akal.
Sebab, ada daerah yang masa tunggunya mencapai 98 tahun akibat berkurangnya kuota haji 2022 yang hanya 100.051 jemaah. Sekalipun menggunakan penghitungan kuota normal (211.000), masih ada daerah yang masa tunggunya hingga 46 tahun. Jemaah yang mendaftar hari ini di daerah tersebut, diperkirakan baru akan berangkat pada 2068.
Di balik masa tunggu yang panjang, ada masalah ketimpangan masa tunggu antardaerah. Di satu sisi ada daerah dengan masa tunggu sampai 46 tahun (Kab. Bantaeng, Sulawesi Selatan), di sisi lain ada wilayah dengan masa tunggu hanya 10 tahun (Kab. Maybrat, Papua Barat). Artinya, ada selisih 36 tahun. Sementara untuk daerah lainnya bervariasi, dengan rata-rata (63%) pada kisaran 19-28 tahun.
Ketimpangan masa tunggu ini kemudian berdampak pada perpindahan “domisili” penduduk yang mencari daerah dengan masa tunggu lebih singkat. Hal itu tidak jarang menimbulkan kecemburuan penduduk setempat karena kuotanya digunakan warga luar daerah.
Dampak yang lain adalah sulitnya melakukan manasik haji, kendala dalam penyiapan pengurusan paspor, dan keberatan pemerintah daerah yang menggunakan APBD pelayanan haji bagi jamaah yang bukan penduduk di daerahnya.
Alokasi Kuota
Pembagian kuota haji diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Kuota haji Indonesia dibagi menjadi kuota haji reguler dan haji khusus.
Kuota haji reguler dialokasikan ke tiap provinsi oleh Menteri Agama setiap tahun sebelum operasional haji. Kemudian, ada hak gubernur untuk membagi kuota provinsi menjadi kuota haji kabupaten/kota.
Dari 34 provinsi, terdapat 10 provinsi yang membagi kuota provinsi menjadi kuota kabupaten/kota. Sepuluh provinsi tersebut adalah Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Lainnya, tidak melakukan pembagian kuota provinsi ke kabupaten/kota.
Pembagian kuota provinsi menjadi kuota kabupaten/kota oleh Gubernur diperbolehkan sebagimana diatur dalam dalam Pasal 13 ayat (3) UU PIHU. Kelebihannya, ada kepastian kuota setiap kabupaten/kota.
Namun, sebagai sebuah kebijakan, ada juga kekurangannya; yaitu terjadi variasi masa tunggu antarkabupaten/kota dalam satu provinsi. Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan, dengan kuota normal, masa tunggu tercepatnya adalah 23 tahun (Kabupaten Enrekang) dan terlama adalah 46 tahun (Kabupaten Bantaeng). Contoh lainnya, di Jawa Barat, tercepat adalah 17 tahun (Kabupaten Sukabumi) dan terlama adalah 29 tahun (Kabupaten Bekasi).
Opsi Solusi
Terkait persoalan ini, setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketimpangan masa tunggu, sekaligus menurunkan masa tunggu terlama.
Pertama, kuota provinsi tidak dibagi lagi ke kabupaten/kota. Pasal 13 ayat (3) menyebutkan Gubernur ‘dapat’ membagi kuota provinsi ke kuota kabupaten/kota. Kata ‘dapat’ pada pasal di atas berarti boleh dilakukan dan boleh tidak. Seperti halnya, 24 gubernur provinsi lainnya yang tidak membagi kuota provinsi
Jika mengambil cara ini, masa tunggu setiap provinsi akan sama, sekali pun jemaah berasal dari kabupaten/kota berbeda. Masa tunggu di Sulawesi Selatan tidak lagi bervariasi dalam rentang 23 hingga 46 tahun, tapi menjadi sama, yaitu 36 tahun. Kabupaten Bantaeng, masa tunggunya tidak lagi 46 tahun, tapi turun menjadi 36 tahun.
Demikian pula dengan Jawa Barat, dari semula berbeda-beda antara 17 sampai 29 tahun, menjadi sama pada masa tunggu 22 tahun. Secara nasional, cara ini juga memangkas rentang masa tunggu antardaerah, dari semula 10-46 tahun, menjadi 15 tahun (Maluku) hingga 37 tahun (Kalimantan Selatan).
Cara ini cenderung aman dan tidak besar resistensinya karena tidak ada perubahan alokasi kuota antarprovinsi. Yang terjadi adalah perubahan daftar antrean dalam provinsi karena tidak lagi ada pembagian kuota kabupaten/kota.
Cara kedua adalah mengalokasikan kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu. Pasal 13 ayat (2) mengatur dua opsi pembagian kuota haji Indonesia. Pertama, proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi. Ini adalah opsi yang selama ini digunakan untuk membagi kuota haji Indonesia menjadi kuota provinsi. Semakin banyak jumlah penduduk muslim sebuah daerah, semakin besar kuota yang diterima.
Opsi berikutnya adalah membagi kuota berdasarkan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi. Semakin banyak daftar tunggu sebuah daerah, semakin banyak kuota yang diterima. Opsi ini pernah digunakan untuk mengalokasikan 10.000 kuota tambahan pada tahun 2019. Sementara kuota utamanya masih berdasarkan proporsi penduduk muslim.
Secara umum dapat dikatakan, jumlah penduduk muslim suatu daerah bukanlah satu-satunya faktor penentu jumlah pendaftar haji di daerah tersebut. Masih ada faktor lain yang menjadi penentu animo mendaftar haji, antara lain tingkat kesejahteraan dan kondisi sosial budaya di daerah.
Karenanya, pembagian kuota berdasarkan penduduk muslim sebuah daerah dapat dirasakan kurang adil. Beberapa daerah memiliki kuota besar, tapi pendaftarnya sedikit, sebaliknya ada yang kuota sedikit tetapi pendaftarnya banyak.
Pengalokasian kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu menjadi opsi yang menarik untuk dipertimbangkan karena sebanding dengan kebutuhan masing-masing daerah. Jika opsi ini diambil, akan terjadi pergeseran kuota antarprovinsi dan mencapai titik tengah rata-rata nasional, yaitu 28 tahun. Jamaah mendaftar di provinsi manapun akan sama masa tunggunya, 28 tahun. Sekalipun kemudian dialokasikan ke kuota kabupaten/kota, mayoritas (82,2%) akan ada di angka 28 tahun.
Konsekuensinya, terjadi pergeseran kuota yang cukup besar antarprovinsi. Ada 10 provinsi yang mendapatkan tambahan kuota, sedangkan 24 provinsi lainnya akan berkurang. Tiga besar yang mendapatkan penambahan adalah Jatim, Jateng, dan Sulsel. Di sisi lain, tiga besar provinsi yang akan berkurang adalah Jabar, Sumut, dan Lampung.
Dibandingkan opsi pertama yang meniadakan alokasi kuota kabupaten/kota, opsi kedua kemungkinan akan menimbulkan resistensi lebih besar dari provinsi yang berkurang kuotanya. Sekalipun lebih berkeadilan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Pergeseran kuota antarprovinsi nantinya akan menentukan skema layanan haji berikutnya, antara lain layanan embarkasi, manasik, kloter, proses visa, serta petugas haji antar provinsi. Namun, opsi apapun yang diambil, keduanya memiliki landasan hukum. Termasuk jika akan tetap menggunakan alokasi seperti yang dilakukan saat ini dengan rentang masa tunggu yang masih timpang.
Analis Kebijakan Ahli Madya, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama
Masa tunggu jemaah haji ramai diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak kalangan menilai, lamanya masa tunggu jemaah haji tidak masuk akal.
Sebab, ada daerah yang masa tunggunya mencapai 98 tahun akibat berkurangnya kuota haji 2022 yang hanya 100.051 jemaah. Sekalipun menggunakan penghitungan kuota normal (211.000), masih ada daerah yang masa tunggunya hingga 46 tahun. Jemaah yang mendaftar hari ini di daerah tersebut, diperkirakan baru akan berangkat pada 2068.
Di balik masa tunggu yang panjang, ada masalah ketimpangan masa tunggu antardaerah. Di satu sisi ada daerah dengan masa tunggu sampai 46 tahun (Kab. Bantaeng, Sulawesi Selatan), di sisi lain ada wilayah dengan masa tunggu hanya 10 tahun (Kab. Maybrat, Papua Barat). Artinya, ada selisih 36 tahun. Sementara untuk daerah lainnya bervariasi, dengan rata-rata (63%) pada kisaran 19-28 tahun.
Ketimpangan masa tunggu ini kemudian berdampak pada perpindahan “domisili” penduduk yang mencari daerah dengan masa tunggu lebih singkat. Hal itu tidak jarang menimbulkan kecemburuan penduduk setempat karena kuotanya digunakan warga luar daerah.
Dampak yang lain adalah sulitnya melakukan manasik haji, kendala dalam penyiapan pengurusan paspor, dan keberatan pemerintah daerah yang menggunakan APBD pelayanan haji bagi jamaah yang bukan penduduk di daerahnya.
Alokasi Kuota
Pembagian kuota haji diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Kuota haji Indonesia dibagi menjadi kuota haji reguler dan haji khusus.
Kuota haji reguler dialokasikan ke tiap provinsi oleh Menteri Agama setiap tahun sebelum operasional haji. Kemudian, ada hak gubernur untuk membagi kuota provinsi menjadi kuota haji kabupaten/kota.
Dari 34 provinsi, terdapat 10 provinsi yang membagi kuota provinsi menjadi kuota kabupaten/kota. Sepuluh provinsi tersebut adalah Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Lainnya, tidak melakukan pembagian kuota provinsi ke kabupaten/kota.
Pembagian kuota provinsi menjadi kuota kabupaten/kota oleh Gubernur diperbolehkan sebagimana diatur dalam dalam Pasal 13 ayat (3) UU PIHU. Kelebihannya, ada kepastian kuota setiap kabupaten/kota.
Namun, sebagai sebuah kebijakan, ada juga kekurangannya; yaitu terjadi variasi masa tunggu antarkabupaten/kota dalam satu provinsi. Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan, dengan kuota normal, masa tunggu tercepatnya adalah 23 tahun (Kabupaten Enrekang) dan terlama adalah 46 tahun (Kabupaten Bantaeng). Contoh lainnya, di Jawa Barat, tercepat adalah 17 tahun (Kabupaten Sukabumi) dan terlama adalah 29 tahun (Kabupaten Bekasi).
Opsi Solusi
Terkait persoalan ini, setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketimpangan masa tunggu, sekaligus menurunkan masa tunggu terlama.
Pertama, kuota provinsi tidak dibagi lagi ke kabupaten/kota. Pasal 13 ayat (3) menyebutkan Gubernur ‘dapat’ membagi kuota provinsi ke kuota kabupaten/kota. Kata ‘dapat’ pada pasal di atas berarti boleh dilakukan dan boleh tidak. Seperti halnya, 24 gubernur provinsi lainnya yang tidak membagi kuota provinsi
Jika mengambil cara ini, masa tunggu setiap provinsi akan sama, sekali pun jemaah berasal dari kabupaten/kota berbeda. Masa tunggu di Sulawesi Selatan tidak lagi bervariasi dalam rentang 23 hingga 46 tahun, tapi menjadi sama, yaitu 36 tahun. Kabupaten Bantaeng, masa tunggunya tidak lagi 46 tahun, tapi turun menjadi 36 tahun.
Demikian pula dengan Jawa Barat, dari semula berbeda-beda antara 17 sampai 29 tahun, menjadi sama pada masa tunggu 22 tahun. Secara nasional, cara ini juga memangkas rentang masa tunggu antardaerah, dari semula 10-46 tahun, menjadi 15 tahun (Maluku) hingga 37 tahun (Kalimantan Selatan).
Cara ini cenderung aman dan tidak besar resistensinya karena tidak ada perubahan alokasi kuota antarprovinsi. Yang terjadi adalah perubahan daftar antrean dalam provinsi karena tidak lagi ada pembagian kuota kabupaten/kota.
Cara kedua adalah mengalokasikan kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu. Pasal 13 ayat (2) mengatur dua opsi pembagian kuota haji Indonesia. Pertama, proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi. Ini adalah opsi yang selama ini digunakan untuk membagi kuota haji Indonesia menjadi kuota provinsi. Semakin banyak jumlah penduduk muslim sebuah daerah, semakin besar kuota yang diterima.
Opsi berikutnya adalah membagi kuota berdasarkan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi. Semakin banyak daftar tunggu sebuah daerah, semakin banyak kuota yang diterima. Opsi ini pernah digunakan untuk mengalokasikan 10.000 kuota tambahan pada tahun 2019. Sementara kuota utamanya masih berdasarkan proporsi penduduk muslim.
Secara umum dapat dikatakan, jumlah penduduk muslim suatu daerah bukanlah satu-satunya faktor penentu jumlah pendaftar haji di daerah tersebut. Masih ada faktor lain yang menjadi penentu animo mendaftar haji, antara lain tingkat kesejahteraan dan kondisi sosial budaya di daerah.
Karenanya, pembagian kuota berdasarkan penduduk muslim sebuah daerah dapat dirasakan kurang adil. Beberapa daerah memiliki kuota besar, tapi pendaftarnya sedikit, sebaliknya ada yang kuota sedikit tetapi pendaftarnya banyak.
Pengalokasian kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu menjadi opsi yang menarik untuk dipertimbangkan karena sebanding dengan kebutuhan masing-masing daerah. Jika opsi ini diambil, akan terjadi pergeseran kuota antarprovinsi dan mencapai titik tengah rata-rata nasional, yaitu 28 tahun. Jamaah mendaftar di provinsi manapun akan sama masa tunggunya, 28 tahun. Sekalipun kemudian dialokasikan ke kuota kabupaten/kota, mayoritas (82,2%) akan ada di angka 28 tahun.
Konsekuensinya, terjadi pergeseran kuota yang cukup besar antarprovinsi. Ada 10 provinsi yang mendapatkan tambahan kuota, sedangkan 24 provinsi lainnya akan berkurang. Tiga besar yang mendapatkan penambahan adalah Jatim, Jateng, dan Sulsel. Di sisi lain, tiga besar provinsi yang akan berkurang adalah Jabar, Sumut, dan Lampung.
Dibandingkan opsi pertama yang meniadakan alokasi kuota kabupaten/kota, opsi kedua kemungkinan akan menimbulkan resistensi lebih besar dari provinsi yang berkurang kuotanya. Sekalipun lebih berkeadilan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Pergeseran kuota antarprovinsi nantinya akan menentukan skema layanan haji berikutnya, antara lain layanan embarkasi, manasik, kloter, proses visa, serta petugas haji antar provinsi. Namun, opsi apapun yang diambil, keduanya memiliki landasan hukum. Termasuk jika akan tetap menggunakan alokasi seperti yang dilakukan saat ini dengan rentang masa tunggu yang masih timpang.
(ynt)