Euforia Konser dan Urgensi Ekosistem Musik yang Sehat
loading...
A
A
A
Perlu visi baru untuk merancang arsitektur media digital dengan wahana platform yang berbasis keindonesiaan. Rancangan dimaksud mencakup tren dan pemikiran baru yang memiliki dampak terhadap komunitas dan nilai kemanusiaan. Juga dampak terhadap industri dan bisnis yang bisa direplikasi ke seluruh negeri hingga mancanegara.
Industri musik nasional perlu superplatform technology and digitalization yang berbasis keindonesiaan yang bisa membangun plank yang saling melengkapi, yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain.
Perlu superplatform untuk menuju ekosistem Society 5.0. Ekosistem di mana tidak ada lagi dikotomi antara jenis media. Tepatlah premis Content is the King, Locality is the Queen. Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal kecuali masyarakat lokal itu sendiri.
Indonesia butuh inovator yang mampu berimajinasi, berinovasi dan melihat dengan mata baru terkait pengembangan superplatform sebagai wahana strategis Society 5.0. Superplatform yang bisa membuahkan human spirit dan ekonomi berbasis co-creation (colaboration-creation).
Maka dengan itu potensi lokal Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah terkelola dan mendatangkan nilai tambah signifikan dan melahirkan sederet nilai human spirit yang mendunia.
Royalti yang Adil
Survei global oleh Citigroup menunjukkan bahwa para musisi selama ini hanya menerima sekitar 12% dari seluruh hasil industri musik. Musisi hanya menerima uang sebesar USD5 miliar dari total pendapatan USD43 miliar per tahun.
Untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan di atas perlu mewujudkan basis data industri musik di Tanah Air. Basis data tersebut sangat penting untuk mengatasi pembayaran royalti oleh berbagai pihak. Ini juga sekaligus sebagai solusi masalah layanan musik streaming yang kini masih bermasalah dalam hal pembayaran royalti dan pembayaran kepada pencipta lagu.
Mestinya dengan pendapatan streaming yang makin tumbuh dan berkembang, pemegang hak cipta mendapatkan imbalan yang lebih besar dan hak itu mestinya mudah didapat tanpa berbelit-belit.
Salah satu risiko dan masalah dalam model bisnis musik streaming adalah kurangnya kesepakatan lisensi dengan pemegang hak utama. Industri musik nasional hingga kini belum memiliki pusat data yang komprehensif. Hal ini membuat benang kusut perkara hak cipta tak kunjung teratasi.
Hingga kini pemungutan royalti hasilnya belum menggembirakan. Sosialisasi peran dan tugas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga masih kurang sehingga sering terjadi silang sengketa antarpemangku kepentingan. Kondisinya semakin sulit karena revolusi industri musik global terus berlangsung. LMKN yang mengatur LMK-LMK yang tersebar di Tanah Air perlu mengoptimasikan pemungutan royalti dan membantu melakukan transformasi digital terhadap karya para pencipta.
Industri musik nasional perlu superplatform technology and digitalization yang berbasis keindonesiaan yang bisa membangun plank yang saling melengkapi, yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain.
Perlu superplatform untuk menuju ekosistem Society 5.0. Ekosistem di mana tidak ada lagi dikotomi antara jenis media. Tepatlah premis Content is the King, Locality is the Queen. Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal kecuali masyarakat lokal itu sendiri.
Indonesia butuh inovator yang mampu berimajinasi, berinovasi dan melihat dengan mata baru terkait pengembangan superplatform sebagai wahana strategis Society 5.0. Superplatform yang bisa membuahkan human spirit dan ekonomi berbasis co-creation (colaboration-creation).
Maka dengan itu potensi lokal Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah terkelola dan mendatangkan nilai tambah signifikan dan melahirkan sederet nilai human spirit yang mendunia.
Royalti yang Adil
Survei global oleh Citigroup menunjukkan bahwa para musisi selama ini hanya menerima sekitar 12% dari seluruh hasil industri musik. Musisi hanya menerima uang sebesar USD5 miliar dari total pendapatan USD43 miliar per tahun.
Untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan di atas perlu mewujudkan basis data industri musik di Tanah Air. Basis data tersebut sangat penting untuk mengatasi pembayaran royalti oleh berbagai pihak. Ini juga sekaligus sebagai solusi masalah layanan musik streaming yang kini masih bermasalah dalam hal pembayaran royalti dan pembayaran kepada pencipta lagu.
Mestinya dengan pendapatan streaming yang makin tumbuh dan berkembang, pemegang hak cipta mendapatkan imbalan yang lebih besar dan hak itu mestinya mudah didapat tanpa berbelit-belit.
Salah satu risiko dan masalah dalam model bisnis musik streaming adalah kurangnya kesepakatan lisensi dengan pemegang hak utama. Industri musik nasional hingga kini belum memiliki pusat data yang komprehensif. Hal ini membuat benang kusut perkara hak cipta tak kunjung teratasi.
Hingga kini pemungutan royalti hasilnya belum menggembirakan. Sosialisasi peran dan tugas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga masih kurang sehingga sering terjadi silang sengketa antarpemangku kepentingan. Kondisinya semakin sulit karena revolusi industri musik global terus berlangsung. LMKN yang mengatur LMK-LMK yang tersebar di Tanah Air perlu mengoptimasikan pemungutan royalti dan membantu melakukan transformasi digital terhadap karya para pencipta.