Euforia Konser dan Urgensi Ekosistem Musik yang Sehat
loading...
A
A
A
Hemat Dwi Nuryanto
Pemerhati Musik, Founder SVARA Innovation, Lulusan Universite de Toulouse Prancis
PENYELENGGARAAN konser dan festival musik di berbagai kota disambut dengan animo yang menggelora dari masyarakat. Kerinduan menonton langsung konser musik setelah sekian lama vakum akibat pandemi Covid-19 ibarat buah simalakama. Di satu sisi tingginya animo masyarakat merupakan indikator bangkitnya sumber daya musik sebagai salah satu sektor industri kreatif, namun di lain pihak bisa menimbulkan petaka yang bisa mengancam keselamatan publik. Hal itu karena animo publik untuk menonton konser yang amat besar tersebut tidak disertai dengan infrastruktur gedung yang memadai.
Kondisinya semakin rawan karena pihak panitia penyelenggara kurang profesional dalam menjamin keselamatan penonton dan ada modus curang yang memenjual tiket melebihi kapasitas gedung pertunjukan. Kondisinya semakin rawan karena sebetulnya pandemi Covid-19 sebenarnya belum selesai secara tuntas.
Baca Juga: koran-sindo.com
Desakan para promotor musik dan musisi kepada pemerintah agar diizinkan menggelar konser dengan kehadiran penonton secara langsung perlu disertai dengan prinsip kehati-hatian dan memperhitungkan secara saksama mekanisme atau jalannya pertunjukan.
Dalam kondisi seperti ini, penting memikirkan bagaimana menyempurnakan metode konser musik yang digelar virtual. Konser virtual sebenarnya sudah dinyatakan sebagai bentuk adaptasi ketika masa pandemi, namun achievement industri musik secara keseluruhan ada pada kehadiran penonton secara langsung.
Musik adalah sumber daya yang abadi. Potensi industri musik nasional bisa menjadi daya ungkit sektor pariwisata. Untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya musik dibutuhkan infrastruktur berupa gedung pusat musik berstandar dunia. Sayangnya berbagai kota belum memiliki gedung yang sesuai dengan standar global.
Infrastruktur gedung yang selama ini dijadikan tempat diselenggarakannya pertunjukan musik spesifikasinya belum sesuai sebagai concert hall. Jadi sebuah keniscayaan membangunan infrastruktur pertunjukan musik di beberapa kota.
Platform Musik
Industri musik juga membutuhkan ekosistem yang baik untuk berkembang, khususnya terkait dengan inovasi yang berupa platform semacam rumahnya musik Indie. Contoh rumah musik Indie adalah platform SVARA. Platform tersebut adalah karya inovasi anak bangsa yang dilengkapi dengan fitur musik, radio, podcast dan video yang bisa menjadi wahana proses kreatif dan pameran bagi para musisi dan kalangan industri.
Sudah keniscayaan, Indonesia membutuhkan superplatform yang bisa menjadi wahana apresiasi publik secara digital yang memiliki jangkauan hingga ke kampung-kampung.
Perlu visi baru untuk merancang arsitektur media digital dengan wahana platform yang berbasis keindonesiaan. Rancangan dimaksud mencakup tren dan pemikiran baru yang memiliki dampak terhadap komunitas dan nilai kemanusiaan. Juga dampak terhadap industri dan bisnis yang bisa direplikasi ke seluruh negeri hingga mancanegara.
Industri musik nasional perlu superplatform technology and digitalization yang berbasis keindonesiaan yang bisa membangun plank yang saling melengkapi, yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain.
Perlu superplatform untuk menuju ekosistem Society 5.0. Ekosistem di mana tidak ada lagi dikotomi antara jenis media. Tepatlah premis Content is the King, Locality is the Queen. Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal kecuali masyarakat lokal itu sendiri.
Indonesia butuh inovator yang mampu berimajinasi, berinovasi dan melihat dengan mata baru terkait pengembangan superplatform sebagai wahana strategis Society 5.0. Superplatform yang bisa membuahkan human spirit dan ekonomi berbasis co-creation (colaboration-creation).
Maka dengan itu potensi lokal Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah terkelola dan mendatangkan nilai tambah signifikan dan melahirkan sederet nilai human spirit yang mendunia.
Royalti yang Adil
Survei global oleh Citigroup menunjukkan bahwa para musisi selama ini hanya menerima sekitar 12% dari seluruh hasil industri musik. Musisi hanya menerima uang sebesar USD5 miliar dari total pendapatan USD43 miliar per tahun.
Untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan di atas perlu mewujudkan basis data industri musik di Tanah Air. Basis data tersebut sangat penting untuk mengatasi pembayaran royalti oleh berbagai pihak. Ini juga sekaligus sebagai solusi masalah layanan musik streaming yang kini masih bermasalah dalam hal pembayaran royalti dan pembayaran kepada pencipta lagu.
Mestinya dengan pendapatan streaming yang makin tumbuh dan berkembang, pemegang hak cipta mendapatkan imbalan yang lebih besar dan hak itu mestinya mudah didapat tanpa berbelit-belit.
Salah satu risiko dan masalah dalam model bisnis musik streaming adalah kurangnya kesepakatan lisensi dengan pemegang hak utama. Industri musik nasional hingga kini belum memiliki pusat data yang komprehensif. Hal ini membuat benang kusut perkara hak cipta tak kunjung teratasi.
Hingga kini pemungutan royalti hasilnya belum menggembirakan. Sosialisasi peran dan tugas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga masih kurang sehingga sering terjadi silang sengketa antarpemangku kepentingan. Kondisinya semakin sulit karena revolusi industri musik global terus berlangsung. LMKN yang mengatur LMK-LMK yang tersebar di Tanah Air perlu mengoptimasikan pemungutan royalti dan membantu melakukan transformasi digital terhadap karya para pencipta.
Industri musik telah berubah dengan cepat karena arus distribusi digital yang terus meningkat dan berevolusi. Secara global musik streaming semakin mendominasi. Peningkatan layanan streaming musik dan layanan berbasis cloud atau komputasi awan juga akan meningkatkan personalisasi real-time.
Komisioner LMKN mesti memahami masa depan kondisi industri musik yang diwarnai algoritma pemilihan musik yang menggabungkan lebih banyak variabel big data dan machine learning sebagai teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Personalisasi AI musik nantinya akan mencakup sumber big data yang dikirim secara real-time melalui umpan data berbasis cloud yang tidak hanya dikelola oleh user, namun juga berasal dari media sosial, riwayat pembelian, dan kebiasaan mendengarkan dari smartphone, mobil, dan perangkat lain.
Perlu mengelola sumber daya musik yang lebih baik lagi. Saatnya Indonesia mendesain ulang strategi pemasaran musik yang diikuti dengan optimasi pemungutan royalti yang adil dan transparan berbasis platform terkini. Jangan sampai kekayaan lagu dan musik yang merupakan karya kreatif anak bangsa yang sangat beragam mulai dari Sabang hingga Merauke tidak disertai oleh ekosistem yang sehat sesuai dengan tantangan zaman.
Untuk mewujudkan ekosistem sumberdaya musik yang baik diperlukan strategi dan desain baru pemasaran musik nasional dan pemungutan royalti yang efektif yang mengedepankan sinergi antara industri musik dan inovator teknologi dalam negeri, sehingga tidak kalah langkah dengan industri musik global.
Pemerhati Musik, Founder SVARA Innovation, Lulusan Universite de Toulouse Prancis
PENYELENGGARAAN konser dan festival musik di berbagai kota disambut dengan animo yang menggelora dari masyarakat. Kerinduan menonton langsung konser musik setelah sekian lama vakum akibat pandemi Covid-19 ibarat buah simalakama. Di satu sisi tingginya animo masyarakat merupakan indikator bangkitnya sumber daya musik sebagai salah satu sektor industri kreatif, namun di lain pihak bisa menimbulkan petaka yang bisa mengancam keselamatan publik. Hal itu karena animo publik untuk menonton konser yang amat besar tersebut tidak disertai dengan infrastruktur gedung yang memadai.
Kondisinya semakin rawan karena pihak panitia penyelenggara kurang profesional dalam menjamin keselamatan penonton dan ada modus curang yang memenjual tiket melebihi kapasitas gedung pertunjukan. Kondisinya semakin rawan karena sebetulnya pandemi Covid-19 sebenarnya belum selesai secara tuntas.
Baca Juga: koran-sindo.com
Desakan para promotor musik dan musisi kepada pemerintah agar diizinkan menggelar konser dengan kehadiran penonton secara langsung perlu disertai dengan prinsip kehati-hatian dan memperhitungkan secara saksama mekanisme atau jalannya pertunjukan.
Dalam kondisi seperti ini, penting memikirkan bagaimana menyempurnakan metode konser musik yang digelar virtual. Konser virtual sebenarnya sudah dinyatakan sebagai bentuk adaptasi ketika masa pandemi, namun achievement industri musik secara keseluruhan ada pada kehadiran penonton secara langsung.
Musik adalah sumber daya yang abadi. Potensi industri musik nasional bisa menjadi daya ungkit sektor pariwisata. Untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya musik dibutuhkan infrastruktur berupa gedung pusat musik berstandar dunia. Sayangnya berbagai kota belum memiliki gedung yang sesuai dengan standar global.
Infrastruktur gedung yang selama ini dijadikan tempat diselenggarakannya pertunjukan musik spesifikasinya belum sesuai sebagai concert hall. Jadi sebuah keniscayaan membangunan infrastruktur pertunjukan musik di beberapa kota.
Platform Musik
Industri musik juga membutuhkan ekosistem yang baik untuk berkembang, khususnya terkait dengan inovasi yang berupa platform semacam rumahnya musik Indie. Contoh rumah musik Indie adalah platform SVARA. Platform tersebut adalah karya inovasi anak bangsa yang dilengkapi dengan fitur musik, radio, podcast dan video yang bisa menjadi wahana proses kreatif dan pameran bagi para musisi dan kalangan industri.
Sudah keniscayaan, Indonesia membutuhkan superplatform yang bisa menjadi wahana apresiasi publik secara digital yang memiliki jangkauan hingga ke kampung-kampung.
Perlu visi baru untuk merancang arsitektur media digital dengan wahana platform yang berbasis keindonesiaan. Rancangan dimaksud mencakup tren dan pemikiran baru yang memiliki dampak terhadap komunitas dan nilai kemanusiaan. Juga dampak terhadap industri dan bisnis yang bisa direplikasi ke seluruh negeri hingga mancanegara.
Industri musik nasional perlu superplatform technology and digitalization yang berbasis keindonesiaan yang bisa membangun plank yang saling melengkapi, yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain.
Perlu superplatform untuk menuju ekosistem Society 5.0. Ekosistem di mana tidak ada lagi dikotomi antara jenis media. Tepatlah premis Content is the King, Locality is the Queen. Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal kecuali masyarakat lokal itu sendiri.
Indonesia butuh inovator yang mampu berimajinasi, berinovasi dan melihat dengan mata baru terkait pengembangan superplatform sebagai wahana strategis Society 5.0. Superplatform yang bisa membuahkan human spirit dan ekonomi berbasis co-creation (colaboration-creation).
Maka dengan itu potensi lokal Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah terkelola dan mendatangkan nilai tambah signifikan dan melahirkan sederet nilai human spirit yang mendunia.
Royalti yang Adil
Survei global oleh Citigroup menunjukkan bahwa para musisi selama ini hanya menerima sekitar 12% dari seluruh hasil industri musik. Musisi hanya menerima uang sebesar USD5 miliar dari total pendapatan USD43 miliar per tahun.
Untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan di atas perlu mewujudkan basis data industri musik di Tanah Air. Basis data tersebut sangat penting untuk mengatasi pembayaran royalti oleh berbagai pihak. Ini juga sekaligus sebagai solusi masalah layanan musik streaming yang kini masih bermasalah dalam hal pembayaran royalti dan pembayaran kepada pencipta lagu.
Mestinya dengan pendapatan streaming yang makin tumbuh dan berkembang, pemegang hak cipta mendapatkan imbalan yang lebih besar dan hak itu mestinya mudah didapat tanpa berbelit-belit.
Salah satu risiko dan masalah dalam model bisnis musik streaming adalah kurangnya kesepakatan lisensi dengan pemegang hak utama. Industri musik nasional hingga kini belum memiliki pusat data yang komprehensif. Hal ini membuat benang kusut perkara hak cipta tak kunjung teratasi.
Hingga kini pemungutan royalti hasilnya belum menggembirakan. Sosialisasi peran dan tugas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga masih kurang sehingga sering terjadi silang sengketa antarpemangku kepentingan. Kondisinya semakin sulit karena revolusi industri musik global terus berlangsung. LMKN yang mengatur LMK-LMK yang tersebar di Tanah Air perlu mengoptimasikan pemungutan royalti dan membantu melakukan transformasi digital terhadap karya para pencipta.
Industri musik telah berubah dengan cepat karena arus distribusi digital yang terus meningkat dan berevolusi. Secara global musik streaming semakin mendominasi. Peningkatan layanan streaming musik dan layanan berbasis cloud atau komputasi awan juga akan meningkatkan personalisasi real-time.
Komisioner LMKN mesti memahami masa depan kondisi industri musik yang diwarnai algoritma pemilihan musik yang menggabungkan lebih banyak variabel big data dan machine learning sebagai teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Personalisasi AI musik nantinya akan mencakup sumber big data yang dikirim secara real-time melalui umpan data berbasis cloud yang tidak hanya dikelola oleh user, namun juga berasal dari media sosial, riwayat pembelian, dan kebiasaan mendengarkan dari smartphone, mobil, dan perangkat lain.
Perlu mengelola sumber daya musik yang lebih baik lagi. Saatnya Indonesia mendesain ulang strategi pemasaran musik yang diikuti dengan optimasi pemungutan royalti yang adil dan transparan berbasis platform terkini. Jangan sampai kekayaan lagu dan musik yang merupakan karya kreatif anak bangsa yang sangat beragam mulai dari Sabang hingga Merauke tidak disertai oleh ekosistem yang sehat sesuai dengan tantangan zaman.
Untuk mewujudkan ekosistem sumberdaya musik yang baik diperlukan strategi dan desain baru pemasaran musik nasional dan pemungutan royalti yang efektif yang mengedepankan sinergi antara industri musik dan inovator teknologi dalam negeri, sehingga tidak kalah langkah dengan industri musik global.
(bmm)