Bola, Maulid Nabi, dan Pendidikan Karakter
loading...
A
A
A
Sir Alex Ferguson, mantan manajer Mancester United (MU) paling sukses sepanjang sejarahnya mengatakan dalam auto-biografinya: Sometimes in football you have to hold your hand up and say, yeah, they're better than us". (Terkadang dalam sepak bola Anda harus mengangkat tangan dan berkata, ya, mereka lebih baik dari kami).
Apa yang diajarkan Fergie (panggilan akrabnya) adalah pentingnya bermain fairness dan respek terhadap kemenangan lawan dan mengakui kekalahan timnya. Bukankah sepak bola itu sekadar permainan, yang sudah sewajarnya ada yang menang dan juga kalah? Lalu bagaimana kalau kita ingin menang?
Dalam pernyataan lain Fergie menyampaikan: "Once you bid farewell to discipline you say goodbye to success". (Begitu Anda mengucapkan selamat tinggal pada kedisiplinan, Anda mengucapkan selamat tinggal pada kesuksesan).
Jelas sekali apa yang diajarkan oleh Fergie itu menunjukkan bahwa bermain bola tidak cukup hanya bermodal otot. Bermain bola butuh kendali emosi yang cukup. Juga perlu disiplin, strategi dan kemampuan analisis yang memadai. Perpaduan antara kontrol emosi dan kemampuan analisis akan membentuk karakter individu yang utuh.
Tentu, sepak bola bukan hanya milik para pemainnya. Semua pihak yang terlibat (stake holders), khususnya pada suporternya, juga harus memiliki cara pandang yang sama, sehingga saat terjadi kekalahan bisa dipahami dengan baik.
Tidak saling menyalahkan, apalagi memunculkan kekerasan fisik. Sehingga, dalam sepak bola diperlukan evaluasi yang holistik untuk memetakan kelemahan dan membangun kekuatan.
Apa saja unsur pendidikan karakter dalam sepak bola itu? Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya kitab Ihya Ulumiddin, mengatakan bahwa pendidikan karakter hendaknya mampu mengembangkan karakter individu diantaranya: terdorong untuk berpikir, merenung (muhasabah), ikhlas, sabar, syukur, murah hati, jujur, cinta, dan lain-lain sebagainya.
Jika diurai lebih dalam, permainan sepak bola jelas mengajarkan kepada stake holders-nya, pertama, untuk terus berpikir dengan membangun dan mengembangkan strategi. Pemain dan pelatih bola dituntut mampu mengoptimalkan peluang agar dapat mengalahkan lawan dengan strategi yang jitu.
Di sini sangat dibutuhkan kemampuan analisis dalam memetakan kelemahan dan kekuatan tim dan juga lawan, sehingga akan memperoleh hasil yang maksimal.
Kedua, sepak bola juga mengajarkan pembentukan sikap agar terbuka untuk evaluasi tim (muhasabah). Kemenangan, apalagi kekalahan harus dilakukan evaluasi agar tim mampu membaca dari dalam apa kekurangan dan kelebihannya.
Apa yang diajarkan Fergie (panggilan akrabnya) adalah pentingnya bermain fairness dan respek terhadap kemenangan lawan dan mengakui kekalahan timnya. Bukankah sepak bola itu sekadar permainan, yang sudah sewajarnya ada yang menang dan juga kalah? Lalu bagaimana kalau kita ingin menang?
Dalam pernyataan lain Fergie menyampaikan: "Once you bid farewell to discipline you say goodbye to success". (Begitu Anda mengucapkan selamat tinggal pada kedisiplinan, Anda mengucapkan selamat tinggal pada kesuksesan).
Jelas sekali apa yang diajarkan oleh Fergie itu menunjukkan bahwa bermain bola tidak cukup hanya bermodal otot. Bermain bola butuh kendali emosi yang cukup. Juga perlu disiplin, strategi dan kemampuan analisis yang memadai. Perpaduan antara kontrol emosi dan kemampuan analisis akan membentuk karakter individu yang utuh.
Tentu, sepak bola bukan hanya milik para pemainnya. Semua pihak yang terlibat (stake holders), khususnya pada suporternya, juga harus memiliki cara pandang yang sama, sehingga saat terjadi kekalahan bisa dipahami dengan baik.
Tidak saling menyalahkan, apalagi memunculkan kekerasan fisik. Sehingga, dalam sepak bola diperlukan evaluasi yang holistik untuk memetakan kelemahan dan membangun kekuatan.
Apa saja unsur pendidikan karakter dalam sepak bola itu? Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya kitab Ihya Ulumiddin, mengatakan bahwa pendidikan karakter hendaknya mampu mengembangkan karakter individu diantaranya: terdorong untuk berpikir, merenung (muhasabah), ikhlas, sabar, syukur, murah hati, jujur, cinta, dan lain-lain sebagainya.
Jika diurai lebih dalam, permainan sepak bola jelas mengajarkan kepada stake holders-nya, pertama, untuk terus berpikir dengan membangun dan mengembangkan strategi. Pemain dan pelatih bola dituntut mampu mengoptimalkan peluang agar dapat mengalahkan lawan dengan strategi yang jitu.
Di sini sangat dibutuhkan kemampuan analisis dalam memetakan kelemahan dan kekuatan tim dan juga lawan, sehingga akan memperoleh hasil yang maksimal.
Kedua, sepak bola juga mengajarkan pembentukan sikap agar terbuka untuk evaluasi tim (muhasabah). Kemenangan, apalagi kekalahan harus dilakukan evaluasi agar tim mampu membaca dari dalam apa kekurangan dan kelebihannya.