Bola, Maulid Nabi, dan Pendidikan Karakter
loading...
A
A
A
Thobib Al Asyhar
Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS Kemenag
JUST the ball. Hanya sekadar bola. Oleh sebagian orang, sepak bola dianggap olahraga yang sering menimbulkan masalah. Di perdesaan, misalnya, munculnya tawuran antarkampung atau dusun tidak jarang dipicu soal bola. Belakangan terjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang memakan korban 135 orang tewas.
Sepak bola juga menciptakan para pelaku mafia judi. Tidak heran ada match fixing. Penentuan hasil sebelum bertanding. Demikian juga ada istilah sepak bola "gajah". Intinya, menurut haters, dari sudut manapun, sepak bola tetaplah olah raga yang lebih banyak mengundang masalah daripada manfaat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sejarah juga telah mencatat, di beberapa kompetisi modern, permainan bola menimbulkan banyak kekerasan selama pertandingan, sehingga akhirnya Raja Edward III melarang olahraga ini dimainkan pada 1365.
Raja James I dari Skotlandia juga mendukung larangan untuk memainkan sepak bola. Kasus-kasus kekerasan yang menyejarah sudah terlalu banyak akibat dari pertandingan sepak bola.
Tapi tahukah kita, terlepas dari dampak negatifnya, sepak bola sesungguhnya jenis olah raga selain dapat menghibur penduduk planet bumi, juga menyiratkan pelajaran moral yang begitu mendalam. Apalagi bagi penggemarnya, sepak bola jelas memiliki banyak nilai positif.
Sepak bola sangat jelas mengajarkan sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi sportifitas, kejujuran, ketangguhan, kerja sama, soliditas, solidaritas, strategi, berbagi peran, disiplin, kesabaran (jika kalah), self kontrol (jika terjadi pelanggaran), dan masih banyak lagi.
Ditinjau dari kaca mata psikologis, sepak bola mengandung unsur pendidikan karakter. Apa dan bagaimana pendidikan karakter dalam sepak bola? Dalam artikel ini akan diulas nilai-nilai positif permainan bola dengan teori pendidikan karakter. Terlebih pada momentum bulan Maulid Nabi Muhammad saw saat ini, di mana kita dituntut dapat meneladani karakter mulia Rasulullah.
Pendidikan Karakter Bola
Setiap pertandingan olah raga, tak terkecuali sepak bola, sebenarnya mengandung pendidikan karakter. Minimal, olah raga itu mengajarkan tentang sportifitas dan kejujuran. Sportivitas sangat diperlukan agar pertandingan berjalan fairness. Kejujuran dibutuhkan agar olahraga dapat dijadikan media persahabatan yang tulus antar manusia sebagai makhluk sosial.
Sir Alex Ferguson, mantan manajer Mancester United (MU) paling sukses sepanjang sejarahnya mengatakan dalam auto-biografinya: Sometimes in football you have to hold your hand up and say, yeah, they're better than us". (Terkadang dalam sepak bola Anda harus mengangkat tangan dan berkata, ya, mereka lebih baik dari kami).
Apa yang diajarkan Fergie (panggilan akrabnya) adalah pentingnya bermain fairness dan respek terhadap kemenangan lawan dan mengakui kekalahan timnya. Bukankah sepak bola itu sekadar permainan, yang sudah sewajarnya ada yang menang dan juga kalah? Lalu bagaimana kalau kita ingin menang?
Dalam pernyataan lain Fergie menyampaikan: "Once you bid farewell to discipline you say goodbye to success". (Begitu Anda mengucapkan selamat tinggal pada kedisiplinan, Anda mengucapkan selamat tinggal pada kesuksesan).
Jelas sekali apa yang diajarkan oleh Fergie itu menunjukkan bahwa bermain bola tidak cukup hanya bermodal otot. Bermain bola butuh kendali emosi yang cukup. Juga perlu disiplin, strategi dan kemampuan analisis yang memadai. Perpaduan antara kontrol emosi dan kemampuan analisis akan membentuk karakter individu yang utuh.
Tentu, sepak bola bukan hanya milik para pemainnya. Semua pihak yang terlibat (stake holders), khususnya pada suporternya, juga harus memiliki cara pandang yang sama, sehingga saat terjadi kekalahan bisa dipahami dengan baik.
Tidak saling menyalahkan, apalagi memunculkan kekerasan fisik. Sehingga, dalam sepak bola diperlukan evaluasi yang holistik untuk memetakan kelemahan dan membangun kekuatan.
Apa saja unsur pendidikan karakter dalam sepak bola itu? Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya kitab Ihya Ulumiddin, mengatakan bahwa pendidikan karakter hendaknya mampu mengembangkan karakter individu diantaranya: terdorong untuk berpikir, merenung (muhasabah), ikhlas, sabar, syukur, murah hati, jujur, cinta, dan lain-lain sebagainya.
Jika diurai lebih dalam, permainan sepak bola jelas mengajarkan kepada stake holders-nya, pertama, untuk terus berpikir dengan membangun dan mengembangkan strategi. Pemain dan pelatih bola dituntut mampu mengoptimalkan peluang agar dapat mengalahkan lawan dengan strategi yang jitu.
Di sini sangat dibutuhkan kemampuan analisis dalam memetakan kelemahan dan kekuatan tim dan juga lawan, sehingga akan memperoleh hasil yang maksimal.
Kedua, sepak bola juga mengajarkan pembentukan sikap agar terbuka untuk evaluasi tim (muhasabah). Kemenangan, apalagi kekalahan harus dilakukan evaluasi agar tim mampu membaca dari dalam apa kekurangan dan kelebihannya.
Evaluasi merupakan "jembatan" moral agar kita tidak menjadi orang sombong saat menang, dan tidak putus asa saat terpuruk.
Ketiga, sikap ikhlas. Sepak bola mengajarkan para pemainnya untuk ikhlas jika terjadi kekalahan pada timnya. Kekecewaan dan frustasi atas kekalahan adalah awal mula dari kehancuran.
Sikap ikhlas telah mengajarkan kepada para pemain, official, pelatih, dan juga supporter agar tidak mudah marah dan tersulut provokasi untuk melakukan tindakan kekerasan yang dapat mengancam fairness.
Keempat, sikap sabar. Dalam permainan bola, kesabaran menjadi sangat penting. Betapa pertarungan (duel) di lapangan kedua tim sering menimbulkan kesalahpahaman karena ketidaksengajaan dari lawan, sehingga sangat sering terjadi kericuhan antarpemain, pemain dengan wasit, pemain dengan suporter, atau suporter dengan suporter.
Kelima, syukur. Sepak bola sebenarnya juga mengajarkan tentang pentingnya syukur atas perolehan hasil. Tidak sedikit pemain bola yang selebrasi dengan "sujud syukur" atas kemampuannya menjebol gawang lawan. Sekecil apapun keberhasilan perlu disyukuri dengan cara-cara yang bermartabat, bukan dengan selebrasi yang berlebihan.
Tidak sedikit pemain bola yang berlebihan mengekspresikan "gol" yang justru menimbulkan kemarahan pemain atau suporter lawan. Apalagi dilakukan dengan sikap, gerakan atau simbol-simbol ejekan.
Keenam, kemurahan hati adalah sikap respek terhadap lawan. Beberapa sikap murah hati adalah menolong lawan saat terjatuh, mudah memaafkan atas perilaku negatif lawan baik disengaja maupun tidak. Pemain yang matang secara emosional selalu menunjukkan sikap empatik, sehingga sangat disegani kawan maupun lawan.
Ketujuh, sikap jujur. Jujur adalah sikap batin yang sangat mulia dalam petandingan apapun, apalagi sepak bola. Jujur menjadi kunci permainan bola berjalan fairness.
Dengan karakter mental jujur akan membangun persahabatan sejati antar manusia. Kejujuran akan "menekan" ego untuk berbuat curang. Tidak ada yang disembunyikan kecuali sikap terbuka dan saling menghormati antarpemain.
Kedelapan, cinta. Bola sesungguhnya mengajarkan juga tentang cinta. Sekian banyak pemain bola terkenal, seperti Ronaldo, Lionel Messi, Mezut Ozil, David Beckham (mantan) dan lainnya memiliki projek kemanusiaan melalui yayasan amal sebagai bentuk solidaritas bagi pihak yang membutuhkan.
Cinta dalam sepak bola juga bisa diwujudkan pada profesi dan dedikasi selama bermain bola. Cinta memiliki dimensi yang sangat luas dan dapat diekspresikan dalam bentuk apapun.
Uraian di atas menggambarkan bahwa bola sesungguhnya olah raga yang kaya akan nilai-nilai positif.
Tidak seharusnya bola menjadi simpul-simbul keburukan, seperti mafia, judi, kebencian ras (rasisme), diskriminasi kelompok, atau golongan yang dapat menimbulkan kericuhan atau kerusuhan massal sehingga menghilangkan sportivitas.
Apalagi kita sebagai umat beragama yang senantiasa diajarkan tentang cinta dan memuliakan sesama. Jenis interaksi apapun, termasuk bola, senantiasa membuka ruang bagi tumbuhnya sikap-sikap memuliakan sesama.
Sehingga peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw ini dapat menjadi momentum bersama membentuk karakter positif melalui sepak bola.
Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS Kemenag
JUST the ball. Hanya sekadar bola. Oleh sebagian orang, sepak bola dianggap olahraga yang sering menimbulkan masalah. Di perdesaan, misalnya, munculnya tawuran antarkampung atau dusun tidak jarang dipicu soal bola. Belakangan terjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang memakan korban 135 orang tewas.
Sepak bola juga menciptakan para pelaku mafia judi. Tidak heran ada match fixing. Penentuan hasil sebelum bertanding. Demikian juga ada istilah sepak bola "gajah". Intinya, menurut haters, dari sudut manapun, sepak bola tetaplah olah raga yang lebih banyak mengundang masalah daripada manfaat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sejarah juga telah mencatat, di beberapa kompetisi modern, permainan bola menimbulkan banyak kekerasan selama pertandingan, sehingga akhirnya Raja Edward III melarang olahraga ini dimainkan pada 1365.
Raja James I dari Skotlandia juga mendukung larangan untuk memainkan sepak bola. Kasus-kasus kekerasan yang menyejarah sudah terlalu banyak akibat dari pertandingan sepak bola.
Tapi tahukah kita, terlepas dari dampak negatifnya, sepak bola sesungguhnya jenis olah raga selain dapat menghibur penduduk planet bumi, juga menyiratkan pelajaran moral yang begitu mendalam. Apalagi bagi penggemarnya, sepak bola jelas memiliki banyak nilai positif.
Sepak bola sangat jelas mengajarkan sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi sportifitas, kejujuran, ketangguhan, kerja sama, soliditas, solidaritas, strategi, berbagi peran, disiplin, kesabaran (jika kalah), self kontrol (jika terjadi pelanggaran), dan masih banyak lagi.
Ditinjau dari kaca mata psikologis, sepak bola mengandung unsur pendidikan karakter. Apa dan bagaimana pendidikan karakter dalam sepak bola? Dalam artikel ini akan diulas nilai-nilai positif permainan bola dengan teori pendidikan karakter. Terlebih pada momentum bulan Maulid Nabi Muhammad saw saat ini, di mana kita dituntut dapat meneladani karakter mulia Rasulullah.
Pendidikan Karakter Bola
Setiap pertandingan olah raga, tak terkecuali sepak bola, sebenarnya mengandung pendidikan karakter. Minimal, olah raga itu mengajarkan tentang sportifitas dan kejujuran. Sportivitas sangat diperlukan agar pertandingan berjalan fairness. Kejujuran dibutuhkan agar olahraga dapat dijadikan media persahabatan yang tulus antar manusia sebagai makhluk sosial.
Sir Alex Ferguson, mantan manajer Mancester United (MU) paling sukses sepanjang sejarahnya mengatakan dalam auto-biografinya: Sometimes in football you have to hold your hand up and say, yeah, they're better than us". (Terkadang dalam sepak bola Anda harus mengangkat tangan dan berkata, ya, mereka lebih baik dari kami).
Apa yang diajarkan Fergie (panggilan akrabnya) adalah pentingnya bermain fairness dan respek terhadap kemenangan lawan dan mengakui kekalahan timnya. Bukankah sepak bola itu sekadar permainan, yang sudah sewajarnya ada yang menang dan juga kalah? Lalu bagaimana kalau kita ingin menang?
Dalam pernyataan lain Fergie menyampaikan: "Once you bid farewell to discipline you say goodbye to success". (Begitu Anda mengucapkan selamat tinggal pada kedisiplinan, Anda mengucapkan selamat tinggal pada kesuksesan).
Jelas sekali apa yang diajarkan oleh Fergie itu menunjukkan bahwa bermain bola tidak cukup hanya bermodal otot. Bermain bola butuh kendali emosi yang cukup. Juga perlu disiplin, strategi dan kemampuan analisis yang memadai. Perpaduan antara kontrol emosi dan kemampuan analisis akan membentuk karakter individu yang utuh.
Tentu, sepak bola bukan hanya milik para pemainnya. Semua pihak yang terlibat (stake holders), khususnya pada suporternya, juga harus memiliki cara pandang yang sama, sehingga saat terjadi kekalahan bisa dipahami dengan baik.
Tidak saling menyalahkan, apalagi memunculkan kekerasan fisik. Sehingga, dalam sepak bola diperlukan evaluasi yang holistik untuk memetakan kelemahan dan membangun kekuatan.
Apa saja unsur pendidikan karakter dalam sepak bola itu? Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya kitab Ihya Ulumiddin, mengatakan bahwa pendidikan karakter hendaknya mampu mengembangkan karakter individu diantaranya: terdorong untuk berpikir, merenung (muhasabah), ikhlas, sabar, syukur, murah hati, jujur, cinta, dan lain-lain sebagainya.
Jika diurai lebih dalam, permainan sepak bola jelas mengajarkan kepada stake holders-nya, pertama, untuk terus berpikir dengan membangun dan mengembangkan strategi. Pemain dan pelatih bola dituntut mampu mengoptimalkan peluang agar dapat mengalahkan lawan dengan strategi yang jitu.
Di sini sangat dibutuhkan kemampuan analisis dalam memetakan kelemahan dan kekuatan tim dan juga lawan, sehingga akan memperoleh hasil yang maksimal.
Kedua, sepak bola juga mengajarkan pembentukan sikap agar terbuka untuk evaluasi tim (muhasabah). Kemenangan, apalagi kekalahan harus dilakukan evaluasi agar tim mampu membaca dari dalam apa kekurangan dan kelebihannya.
Evaluasi merupakan "jembatan" moral agar kita tidak menjadi orang sombong saat menang, dan tidak putus asa saat terpuruk.
Ketiga, sikap ikhlas. Sepak bola mengajarkan para pemainnya untuk ikhlas jika terjadi kekalahan pada timnya. Kekecewaan dan frustasi atas kekalahan adalah awal mula dari kehancuran.
Sikap ikhlas telah mengajarkan kepada para pemain, official, pelatih, dan juga supporter agar tidak mudah marah dan tersulut provokasi untuk melakukan tindakan kekerasan yang dapat mengancam fairness.
Keempat, sikap sabar. Dalam permainan bola, kesabaran menjadi sangat penting. Betapa pertarungan (duel) di lapangan kedua tim sering menimbulkan kesalahpahaman karena ketidaksengajaan dari lawan, sehingga sangat sering terjadi kericuhan antarpemain, pemain dengan wasit, pemain dengan suporter, atau suporter dengan suporter.
Kelima, syukur. Sepak bola sebenarnya juga mengajarkan tentang pentingnya syukur atas perolehan hasil. Tidak sedikit pemain bola yang selebrasi dengan "sujud syukur" atas kemampuannya menjebol gawang lawan. Sekecil apapun keberhasilan perlu disyukuri dengan cara-cara yang bermartabat, bukan dengan selebrasi yang berlebihan.
Tidak sedikit pemain bola yang berlebihan mengekspresikan "gol" yang justru menimbulkan kemarahan pemain atau suporter lawan. Apalagi dilakukan dengan sikap, gerakan atau simbol-simbol ejekan.
Keenam, kemurahan hati adalah sikap respek terhadap lawan. Beberapa sikap murah hati adalah menolong lawan saat terjatuh, mudah memaafkan atas perilaku negatif lawan baik disengaja maupun tidak. Pemain yang matang secara emosional selalu menunjukkan sikap empatik, sehingga sangat disegani kawan maupun lawan.
Ketujuh, sikap jujur. Jujur adalah sikap batin yang sangat mulia dalam petandingan apapun, apalagi sepak bola. Jujur menjadi kunci permainan bola berjalan fairness.
Dengan karakter mental jujur akan membangun persahabatan sejati antar manusia. Kejujuran akan "menekan" ego untuk berbuat curang. Tidak ada yang disembunyikan kecuali sikap terbuka dan saling menghormati antarpemain.
Kedelapan, cinta. Bola sesungguhnya mengajarkan juga tentang cinta. Sekian banyak pemain bola terkenal, seperti Ronaldo, Lionel Messi, Mezut Ozil, David Beckham (mantan) dan lainnya memiliki projek kemanusiaan melalui yayasan amal sebagai bentuk solidaritas bagi pihak yang membutuhkan.
Cinta dalam sepak bola juga bisa diwujudkan pada profesi dan dedikasi selama bermain bola. Cinta memiliki dimensi yang sangat luas dan dapat diekspresikan dalam bentuk apapun.
Uraian di atas menggambarkan bahwa bola sesungguhnya olah raga yang kaya akan nilai-nilai positif.
Tidak seharusnya bola menjadi simpul-simbul keburukan, seperti mafia, judi, kebencian ras (rasisme), diskriminasi kelompok, atau golongan yang dapat menimbulkan kericuhan atau kerusuhan massal sehingga menghilangkan sportivitas.
Apalagi kita sebagai umat beragama yang senantiasa diajarkan tentang cinta dan memuliakan sesama. Jenis interaksi apapun, termasuk bola, senantiasa membuka ruang bagi tumbuhnya sikap-sikap memuliakan sesama.
Sehingga peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw ini dapat menjadi momentum bersama membentuk karakter positif melalui sepak bola.
(bmm)