BPOM Diminta Teliti Kemasan Plastik Mengandung Zat Etilen Glikol

Jum'at, 28 Oktober 2022 - 01:25 WIB
loading...
A A A
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah melihat preferensi BPOM melakukan rencana pelabelan zat kimia Bisphenol A (BPA) ini menunjukkan sebuah kebijakan yang janggal dan diskriminatif mengingat risiko bahaya EG dan DG yang telah memakan banyak korban, lebih berbahaya dibanding BPA yang tidak pernah menimbulkan kematian.

Bahaya EG dan DG yang digunakan pada proses pembuatan kemasan Plastik PET ini lebih jelas dan nyata dibanding bahaya BPA yang belum ada kesepakatan bulat diantara para ahli. “Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan di mana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelola BPOM, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” katanya.

Alasan BPOM ingin menyematkan label BPA dalam galon isi ulang lantaran dapat menyebabkan infertilitas, gangguan kesehatan pada janin, anak dan ibu hamil. Namun, BPOM belum melakukan penelitian spesifik terkait dampak tersebut. Pelabelan itu didorong pada survei BPOM terhadap AMDK gallon baik di sarana produksi maupun peredaran. BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri. Artinya, tanpa melakukan penelitian khusus.

“Sikap berbeda ditunjukan BPOM saat disinggung keberadaan Etilen Glikol dalam air galon kemasan atau galon sekali pakai berbahan PET. BPOM hingga saat ini masih bungkam terkait hal tersebut,” kata Trubus

Menurut Trubus, International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan bagian dari WHO belum mengklasifikasikan BPA dalam kategori karsinogenik pada manusia. Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti pada galon sekali pakai justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia sebagaimana saat ini yang diduga menjadi penyebab ginjal akut pada anak.

“Hingga sekarang IARC, badan yang di bawah WHO masih mengategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” kata Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center Nugraha E. Suyatma.

Seperti diketahui, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam 4 grup. Kelompok 1, karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik untuk manusia.

“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ungkapnya.

Begitu juga dengan Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), pembatasan untuk memperketat migrasi BPA ini juga belum ditetapkan hingga kini. “Bisa jadi mereka juga belum yakin,” katanya.

Suyatma mencontohkan, kemasan PET yang juga ada risiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif. “Di PET ada kandungan asetaldehid, EG, antimon dan lain-lain yang juga berbahaya,” ucapnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2086 seconds (0.1#10.140)