BPOM Diminta Teliti Kemasan Plastik Mengandung Zat Etilen Glikol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) diminta melakukan penelitian dan mencantumkan label berpotensi mengandung Etilen Glikol (EG) pada kemasan plastik Polyethylene Terephthalate (PET). Hal itu penting untuk mencegah jatuhnya korban mengingat zat kimia EG saat ini diduga menjadi penyebab kematian puluhan anak di Indonesia akibat gagal ginjal akut.
Dalam peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 menyebutkan, risiko bahaya zat kimia dalam kemasan plastik PET seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai potensi zat berbahaya yang dikandungnya adalah, EG dan Dietilen Glikol (DG). Kedua zat inilah yang ditemukan dalam sirup obat batuk dan menyebabkan gagal ginjal akut pada 244 anak Indonesia.
Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan berpotensi mengandung EG terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol. “Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung EG dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujarnya.
Meski di Indonesia belum ditemukan sirup obat batuk seperti yang digunakan di Afrika, kandungan EG itu ada juga di salah satu produk air minum dalam kemasan. “Karena itu, saya kira BPOM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung Etilen Glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.
Menurut Arist, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM sebagai upaya antisipasi agar masyarakat memahami bahaya EG. “Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung Etilen Glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” katanya.
Arist menegaskan Komnas Anak sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya EG yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal. “Kami sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal,” ucapnya.
Senada, anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo juga meminta BPOM untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang mengandung bahan EG. “Kemasan pangan mengandung EG berbahaya bagi kesehatan anak-anak seperti yang terjadi di Gambia. BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar EG di dalam produknya,” ujarnya.
Penelitian terhadap kemasan pangan yang mengandung EG ini sangat diperlukan meskipun sudah diberikan izin edar mengingat terus berkembangnya ilmu pengetahuan. “Data-data empiris harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan penyakit ginjal akut. Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten,” katanya.
Dalam peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 menyebutkan, risiko bahaya zat kimia dalam kemasan plastik PET seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai potensi zat berbahaya yang dikandungnya adalah, EG dan Dietilen Glikol (DG). Kedua zat inilah yang ditemukan dalam sirup obat batuk dan menyebabkan gagal ginjal akut pada 244 anak Indonesia.
Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan berpotensi mengandung EG terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol. “Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung EG dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujarnya.
Meski di Indonesia belum ditemukan sirup obat batuk seperti yang digunakan di Afrika, kandungan EG itu ada juga di salah satu produk air minum dalam kemasan. “Karena itu, saya kira BPOM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung Etilen Glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.
Menurut Arist, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM sebagai upaya antisipasi agar masyarakat memahami bahaya EG. “Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung Etilen Glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” katanya.
Arist menegaskan Komnas Anak sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya EG yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal. “Kami sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal,” ucapnya.
Senada, anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo juga meminta BPOM untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang mengandung bahan EG. “Kemasan pangan mengandung EG berbahaya bagi kesehatan anak-anak seperti yang terjadi di Gambia. BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar EG di dalam produknya,” ujarnya.
Penelitian terhadap kemasan pangan yang mengandung EG ini sangat diperlukan meskipun sudah diberikan izin edar mengingat terus berkembangnya ilmu pengetahuan. “Data-data empiris harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan penyakit ginjal akut. Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten,” katanya.