BPOM Diminta Teliti Kemasan Plastik Mengandung Zat Etilen Glikol

Jum'at, 28 Oktober 2022 - 01:25 WIB
loading...
BPOM Diminta Teliti...
BPOM diminta melakukan penelitian dan mencantumkan label berpotensi mengandung Etilen Glikol (EG) pada kemasan plastik. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) diminta melakukan penelitian dan mencantumkan label berpotensi mengandung Etilen Glikol (EG) pada kemasan plastik Polyethylene Terephthalate (PET). Hal itu penting untuk mencegah jatuhnya korban mengingat zat kimia EG saat ini diduga menjadi penyebab kematian puluhan anak di Indonesia akibat gagal ginjal akut.

Dalam peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 menyebutkan, risiko bahaya zat kimia dalam kemasan plastik PET seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai potensi zat berbahaya yang dikandungnya adalah, EG dan Dietilen Glikol (DG). Kedua zat inilah yang ditemukan dalam sirup obat batuk dan menyebabkan gagal ginjal akut pada 244 anak Indonesia.

Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan berpotensi mengandung EG terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol. “Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung EG dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujarnya.



Meski di Indonesia belum ditemukan sirup obat batuk seperti yang digunakan di Afrika, kandungan EG itu ada juga di salah satu produk air minum dalam kemasan. “Karena itu, saya kira BPOM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung Etilen Glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.

Menurut Arist, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM sebagai upaya antisipasi agar masyarakat memahami bahaya EG. “Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung Etilen Glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” katanya.



Arist menegaskan Komnas Anak sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya EG yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal. “Kami sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal,” ucapnya.

Senada, anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo juga meminta BPOM untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang mengandung bahan EG. “Kemasan pangan mengandung EG berbahaya bagi kesehatan anak-anak seperti yang terjadi di Gambia. BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar EG di dalam produknya,” ujarnya.

Penelitian terhadap kemasan pangan yang mengandung EG ini sangat diperlukan meskipun sudah diberikan izin edar mengingat terus berkembangnya ilmu pengetahuan. “Data-data empiris harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan penyakit ginjal akut. Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten,” katanya.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah melihat preferensi BPOM melakukan rencana pelabelan zat kimia Bisphenol A (BPA) ini menunjukkan sebuah kebijakan yang janggal dan diskriminatif mengingat risiko bahaya EG dan DG yang telah memakan banyak korban, lebih berbahaya dibanding BPA yang tidak pernah menimbulkan kematian.

Bahaya EG dan DG yang digunakan pada proses pembuatan kemasan Plastik PET ini lebih jelas dan nyata dibanding bahaya BPA yang belum ada kesepakatan bulat diantara para ahli. “Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan di mana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelola BPOM, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” katanya.

Alasan BPOM ingin menyematkan label BPA dalam galon isi ulang lantaran dapat menyebabkan infertilitas, gangguan kesehatan pada janin, anak dan ibu hamil. Namun, BPOM belum melakukan penelitian spesifik terkait dampak tersebut. Pelabelan itu didorong pada survei BPOM terhadap AMDK gallon baik di sarana produksi maupun peredaran. BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri. Artinya, tanpa melakukan penelitian khusus.

“Sikap berbeda ditunjukan BPOM saat disinggung keberadaan Etilen Glikol dalam air galon kemasan atau galon sekali pakai berbahan PET. BPOM hingga saat ini masih bungkam terkait hal tersebut,” kata Trubus

Menurut Trubus, International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan bagian dari WHO belum mengklasifikasikan BPA dalam kategori karsinogenik pada manusia. Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti pada galon sekali pakai justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia sebagaimana saat ini yang diduga menjadi penyebab ginjal akut pada anak.

“Hingga sekarang IARC, badan yang di bawah WHO masih mengategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” kata Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center Nugraha E. Suyatma.

Seperti diketahui, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam 4 grup. Kelompok 1, karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik untuk manusia.

“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ungkapnya.

Begitu juga dengan Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), pembatasan untuk memperketat migrasi BPA ini juga belum ditetapkan hingga kini. “Bisa jadi mereka juga belum yakin,” katanya.

Suyatma mencontohkan, kemasan PET yang juga ada risiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif. “Di PET ada kandungan asetaldehid, EG, antimon dan lain-lain yang juga berbahaya,” ucapnya.

Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Muchtaridi menjelaskan, ketika masuk ke dalam tubuh EG mengalami oksidasi oleh enzim menjadi glikol aldehid. Kemudian kembali dioksidasi menjadi asam glikol oksalat membentuk lagi asam oksalat. “Asam oksalat inilah yang membentuk batu ginjal,” ungkapnya.

Muchtaridi menjelaskan asam oksalat jika sudah mengkristal akan berbentuk seperti jarum tajam. “Asam oksalat kelarutannya kecil, kalau ketemu kalsium akan terbentuk garam yang sukar larut dalam air dan larinya akan ke organ seperti empedu dan ginjal. Jika lari ke ginjal, kristalnya tajam dan akan mencederai ginjal,” tuturnya.

Jika kondisi ini terjadi pada anak-anak yang memiliki ukuran ginjal lebih kecil, dampak yang ditimbulkan akan menjadi parah. Tidak hanya memapar di ginjal, efeknya juga bisa lari ke jantung dan juga memicu kematian yang cepat. Melihat kenyataan ini, BPOM didesak melakukan penelitian terhadap kemasan pangan berbahan EG ini.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1872 seconds (0.1#10.140)