Tindak Tegas Produsen Obat Maut
loading...
A
A
A
KASUS gagal ginjal akut yang dialami anak-anak di negeri ini terus bertambah. Hingga Selasa 25 Oktober 2022 mencapai 255 kasus, dengan jumlah 143 anak meninggal. Artinya mortality rate sudah melebihi 50%.
Kasus tersebut tentunya tak bisa dianggap remeh atau biasa-biasa saja. Sebab, berpotensi terus bertambah jika tak disikapi dnegan bijak melalui pengawasan yang ketat. Pemerintah sejatinya sudah mengidentifikasi penyebab dari penyakit yang merenggut nyawa ratusan generasi masa depan itu.
Baca Juga: koran-sindo.com
Diduga berasal dari obat-obatan jenis sirop. Bahkan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah mengidentifikasi produsen obat batuk yang diduga menjadi penyebab masalah gagal ginjal akut pada anak.
Obat batuk yang diproduksi disebut mengandung zat berbahaya seperti Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE).
Berdasarkan penelusuran pihak berwenang, kandungan tiga zat berbahaya itu ditemukan tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan pada obat yang diproduksi produsen obat, tetapi kandungannya sangat tinggi hingga bisa dikategorikan sebagai racun.
Pemerintah pun memastikan kasus gagal ginjal akut bukan akibat paparan bakteri atau virus dan diduga tak ada kaitannya dengan Covid-19. Saat ini, jumlah pasien anak yang mengidap gagal ginjal akut tersebar di 26 provinsi. Ada delapan provinsi yang berkontribusi 80% dari kasus ini, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatra Barat, Bali, Banten dan Sumatra Utara.
Langklah mitigasi pemerintah yang menarik izin untuk 1.100 lebih obat yang diduga menyebabkan gagal ginjal akut adalah sangat tepat. Namun demikian, dengan ribuan jenis dan merek, tentu pemerintah maupun BPOM harus mengumumkan merek-merek obat yang ditarik.
Selain itu, perlu pengawasan yang ketat dalam proses penarikannya dari pasar. Dengan melibatkan aparat keamanan, hingga pemerintah daerah. Jika tidak dilakukan, obat-obat tersebut berpotensi untuk diedarkan di pasar gelap.
Akses yang mudah terhadap pembelian obat yang masuk kategori obat bebas bisa memicu lonjakan jumlah kasus. Terlebih literasi masyarakat terhadap kesehatan masih minim. Ditambah akses masyarakat ke fasilitas kesehatan masih terkendala banyak hal. Salah satunya yakni masalah biaya kesehatan.
Kasus tersebut tentunya tak bisa dianggap remeh atau biasa-biasa saja. Sebab, berpotensi terus bertambah jika tak disikapi dnegan bijak melalui pengawasan yang ketat. Pemerintah sejatinya sudah mengidentifikasi penyebab dari penyakit yang merenggut nyawa ratusan generasi masa depan itu.
Baca Juga: koran-sindo.com
Diduga berasal dari obat-obatan jenis sirop. Bahkan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah mengidentifikasi produsen obat batuk yang diduga menjadi penyebab masalah gagal ginjal akut pada anak.
Obat batuk yang diproduksi disebut mengandung zat berbahaya seperti Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE).
Berdasarkan penelusuran pihak berwenang, kandungan tiga zat berbahaya itu ditemukan tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan pada obat yang diproduksi produsen obat, tetapi kandungannya sangat tinggi hingga bisa dikategorikan sebagai racun.
Pemerintah pun memastikan kasus gagal ginjal akut bukan akibat paparan bakteri atau virus dan diduga tak ada kaitannya dengan Covid-19. Saat ini, jumlah pasien anak yang mengidap gagal ginjal akut tersebar di 26 provinsi. Ada delapan provinsi yang berkontribusi 80% dari kasus ini, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatra Barat, Bali, Banten dan Sumatra Utara.
Langklah mitigasi pemerintah yang menarik izin untuk 1.100 lebih obat yang diduga menyebabkan gagal ginjal akut adalah sangat tepat. Namun demikian, dengan ribuan jenis dan merek, tentu pemerintah maupun BPOM harus mengumumkan merek-merek obat yang ditarik.
Selain itu, perlu pengawasan yang ketat dalam proses penarikannya dari pasar. Dengan melibatkan aparat keamanan, hingga pemerintah daerah. Jika tidak dilakukan, obat-obat tersebut berpotensi untuk diedarkan di pasar gelap.
Akses yang mudah terhadap pembelian obat yang masuk kategori obat bebas bisa memicu lonjakan jumlah kasus. Terlebih literasi masyarakat terhadap kesehatan masih minim. Ditambah akses masyarakat ke fasilitas kesehatan masih terkendala banyak hal. Salah satunya yakni masalah biaya kesehatan.