Ketidakpuasan Hidup Bernegara dan Klaim Manusia Tidak Sempurna

Kamis, 20 Oktober 2022 - 16:30 WIB
loading...
A A A
Hal di atas bermakna bahwa proses itu 100% merupakan penentu takdir. Tentunya proses yang dimaksud tidak ditujukan pada upaya individu semata tapi lebih pada apa yang dilakukan kekuasaan yang sekarang ini disebut sistem negara.

Jika diumpamakan, ada individu masyarakat yang bercocok tanam dengan berharap mendapat keuntungan dari tanamannya, maka sampai kapanpun harapan itu tetap akan tergantung pada kebijakan negara yang jauh lebih memiliki dominasi untuk disebut sebagai "sebab" dibanding upaya individu yang bersifat parsial. Tidak heran kalaulah seorang Presiden sekalipun, tidak akan bisa menggunakan rasa kemanusian yang bersumber dari dirinya jika berseberangan dengan watak sistem yang notabene melekat dalam tupoksi jabatannya.

Kenyataan di atas akan memunculkan pertanyaan, mengapa negara dapat jadi penghalang bagi kesempurnaan manusia? Sejujurnya, kendatipun masyarakat dunia tidak mendeklarasikan diri secara terbuka menganut paham materialisme, tetapi secara "de facto" semua negara telah menjadikan materialisme sebagai alat dan dasar dalam mengatur kehidupannya. Hal tersebut adalah fakta dari terbatasnya kemampuan nalar manusia saat ini dalam “menemukan” sistem untuk mengantur kehidupannya.

Materialisme adalah suatu paham kebendaan yang hanya menggunakan kekuatan materi sebagai alat untuk pengaturan hidup. Suatu negara disebut kuat atau lemah ukuranya dari kekuatan APBN-nya. Itulah yang mendasari semua negara di dunia ini saling berlomba mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya. Dan paham ini bukanlah paham manusia, tapi merupakan paham kekuasaan yang dianut oleh semua lembaga negara yang ada di dunia saat ini.

Apa jawaban yang jujur jika muncul pertanyaan ”puaskah masyarakat dunia diatur oleh sistem matrealisme?”. Faktanya kini materialisme hanya membawa semua negara di bawah ancaman kebangkrutan dan sebagai upaya penyelamatan APBN masing-masing, setiap negara memaksa para penguasanya untuk mengambil suatu kebijakan yang memberatkan, tidak terkecuali negara-negara yang dianggap kuat secara ekonomi sekalipun, faktanya mereka tidak pernah berhenti menaikkan target pendapatannya yang diambil dari negara-negara lemah di bawahnya, baik melalui jalan diplomasi ataupun kekerasan.

Maka secara sistemik seluruh negara lemah pun menjadi berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alamnya serta memeras masyarakatnya dengan alasan yang sama, penyelamatan APBN sebagai darah yang wajib terus mengalir untuk mempertahankan eksistensi hidup lembaga negaranya.

Tidak berhenti dalam ruang lingkup negara, namun wabahnya berdampak kuat pada kehidupan sosial masyarakatnya. Setiap individu satu sama lain terpaksa saling mengeksploitasi demi mempertahankan hidup masing-masing dari ancaman kemelaratan. Pihak yang kalah menjadi bawahan dan pemenang menjadi atasan. Tidak ada lagi hubungan kemanusiaan yang setara, yang tersisa hanya budaya feodal sebagai limbah yang lahir dari kesenjangan yang terlampau curam.

Sebagai penutup. Melalui penjelasan sederhana di atas dapat disimpulkan, apa yang dituduhkan “ketidaksempurnaan manusia” itu sama sekali bukan merupakan ciri sejatinya manusia, namun merupakan konsekuensi bagi manusia yang tidak mampu memfungsikan kesempurnaannya sebagai makhluk yang dibekali akal dan rasa sesuai fitrahnya.

Kegagalan menemukan konsep pengaturan hidup yang sempurna, mengakibatkan semua penguasa negara terpaksa hanya bergantung pada suatu paham kebendaan atau matrealisme, yang nyatanya kini malah menyeret umat manusia pada suatu alam kehidupan yang diliputi keterancaman.

Dan apa yang dimaksud kegagalan dan kesuksesan, atau dalam terminologi agama disebut surga dan neraka, merupakan buah dari apa yang kita perbuat. Surga merupakan alam kehidupan yang sarat kebahagiaan, sementara neraka adalah konsekuensi hidup yang sangat mengerikan, memilukan, serta mengenaskan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1171 seconds (0.1#10.140)