Ketidakpuasan Hidup Bernegara dan Klaim Manusia Tidak Sempurna

Kamis, 20 Oktober 2022 - 16:30 WIB
loading...
Ketidakpuasan Hidup...
Wakil Sekretaris ICMI Jawa Barat Asep Lukman. Foto/SINDOnews
A A A
Asep Lukman
Wakil Sekretaris ICMI Jawa Barat dan Pegiat Tajdid Institute

JIKA kita ingin tahu sejatinya mengenai manusia, maka ada bukti kuat yang dapat kita baca dan bukti itu sebenarnya dapat kita rasakan. Ketika diri selalu ingin mendapatkan kebenaran hakiki yang memuaskan akal dan rasa, semua manusia akan terus dan terus mencarinya sampai dapat menemukannya.

Hal di atas menandakan bahwa manusia bukanlah makhluk “jahat atau perusak”, tapi sebaliknya sebagai makhluk sempurna yang mencintai kebenaran hakiki dan itu pula yang dicari manusia demi melaksanakan fungsi hidupnya sebagai pemakmur dan pelestari bumi.

Namun umumnya orang terjebak pada anggapan bahwa “tidak ada manusia yang sempurna” setelah merasakan suatu hasil dari upayanya kurang maksimal atau tidak sesuai harapannya, lalu mereka memvonis dirinya sendiri dengan memandang seolah-olah memang manusia bukanlah makhluk sempurna.

Penilaian semacam itu seakan manusia sedang berdalih bahwa semua “kebodohan dan kesalahan” yang berbuah kerusakan itu harus dipandang “wajar atau dimaklumi” dengan alasan bahwa “tidak ada manusia yang sempurna".

Dan jika kita kaji kedalaman makna yang tersirat dari ujung justifikasi semacam itu seolah ketidaksempurnaan itu dianggap bersifat “Azali”, secara tidak langsung mereka menjadi menyalahkan Tuhan, dalam arti lain "ketidaksempurnaan itu" dipersangkakan merupakan “kodrat Tuhan” atau kehendak sang Pencipta.

Sungguh prasangka seperti itu terucap dari bibir orang-orang yang tingkat kebodohannya benar-benar kelewatan, padahal argumentasinya begitu lengkap jika kita mau membaca fakta. Bukankah dapat kita lihat bersama pada penciptaan semesta dan seisinya yang telah mewujud dengan sempurna sebagai manifestasi dari “ilmu dan hukum” yang kekuatan-Nya maha dahsyat juga maha sempurna.

Pemahaman akan kesempurnaan ilmu itu tentu mengantarkan kita pada pemahaman bahwa semua yang turun dari langit dan apa pun yang naik kepada-Nya seluruhnya bergerak dengan sempurna. Begitupun yang keluar dari bumi dan apa pun yang masuk ke dalamnya. Tak terkecuali benda-benda semesta lainnya dan apalagi manusia.

Sang pencipta, menjadikan manusia dalam berbagai ras, etnis, dan atau suku seluruhnya mutlak telah dirancang secara sempurna hidup manusia. Bahkan kesempurnaan manusia melebihi semua makhluk lain dengan alasan karena dianugerahinya “akal dan rasa”.

Jika demikian, kenapa kegagalan itu ada dan tercipta atas dorongan apa? Sebelum berbicara lebih jauh, ada hal mendasar yang harus dipahami terlebih dahulu mengenai kepastian jatuhnya sanksi hidup, ia akan menimpa siapa saja yang melanggar aturannya tanpa pandang bulu. Dengan kata lain, azab akan menimpa suatu bangsa secara otomatis persis seperti halnya barang siapa yang menyantap empedu maka cepat atau lambat pasti akan mendapatkan rasa pahit.

Hal di atas bermakna bahwa proses itu 100% merupakan penentu takdir. Tentunya proses yang dimaksud tidak ditujukan pada upaya individu semata tapi lebih pada apa yang dilakukan kekuasaan yang sekarang ini disebut sistem negara.

Jika diumpamakan, ada individu masyarakat yang bercocok tanam dengan berharap mendapat keuntungan dari tanamannya, maka sampai kapanpun harapan itu tetap akan tergantung pada kebijakan negara yang jauh lebih memiliki dominasi untuk disebut sebagai "sebab" dibanding upaya individu yang bersifat parsial. Tidak heran kalaulah seorang Presiden sekalipun, tidak akan bisa menggunakan rasa kemanusian yang bersumber dari dirinya jika berseberangan dengan watak sistem yang notabene melekat dalam tupoksi jabatannya.

Kenyataan di atas akan memunculkan pertanyaan, mengapa negara dapat jadi penghalang bagi kesempurnaan manusia? Sejujurnya, kendatipun masyarakat dunia tidak mendeklarasikan diri secara terbuka menganut paham materialisme, tetapi secara "de facto" semua negara telah menjadikan materialisme sebagai alat dan dasar dalam mengatur kehidupannya. Hal tersebut adalah fakta dari terbatasnya kemampuan nalar manusia saat ini dalam “menemukan” sistem untuk mengantur kehidupannya.

Materialisme adalah suatu paham kebendaan yang hanya menggunakan kekuatan materi sebagai alat untuk pengaturan hidup. Suatu negara disebut kuat atau lemah ukuranya dari kekuatan APBN-nya. Itulah yang mendasari semua negara di dunia ini saling berlomba mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya. Dan paham ini bukanlah paham manusia, tapi merupakan paham kekuasaan yang dianut oleh semua lembaga negara yang ada di dunia saat ini.

Apa jawaban yang jujur jika muncul pertanyaan ”puaskah masyarakat dunia diatur oleh sistem matrealisme?”. Faktanya kini materialisme hanya membawa semua negara di bawah ancaman kebangkrutan dan sebagai upaya penyelamatan APBN masing-masing, setiap negara memaksa para penguasanya untuk mengambil suatu kebijakan yang memberatkan, tidak terkecuali negara-negara yang dianggap kuat secara ekonomi sekalipun, faktanya mereka tidak pernah berhenti menaikkan target pendapatannya yang diambil dari negara-negara lemah di bawahnya, baik melalui jalan diplomasi ataupun kekerasan.

Maka secara sistemik seluruh negara lemah pun menjadi berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alamnya serta memeras masyarakatnya dengan alasan yang sama, penyelamatan APBN sebagai darah yang wajib terus mengalir untuk mempertahankan eksistensi hidup lembaga negaranya.

Tidak berhenti dalam ruang lingkup negara, namun wabahnya berdampak kuat pada kehidupan sosial masyarakatnya. Setiap individu satu sama lain terpaksa saling mengeksploitasi demi mempertahankan hidup masing-masing dari ancaman kemelaratan. Pihak yang kalah menjadi bawahan dan pemenang menjadi atasan. Tidak ada lagi hubungan kemanusiaan yang setara, yang tersisa hanya budaya feodal sebagai limbah yang lahir dari kesenjangan yang terlampau curam.

Sebagai penutup. Melalui penjelasan sederhana di atas dapat disimpulkan, apa yang dituduhkan “ketidaksempurnaan manusia” itu sama sekali bukan merupakan ciri sejatinya manusia, namun merupakan konsekuensi bagi manusia yang tidak mampu memfungsikan kesempurnaannya sebagai makhluk yang dibekali akal dan rasa sesuai fitrahnya.

Kegagalan menemukan konsep pengaturan hidup yang sempurna, mengakibatkan semua penguasa negara terpaksa hanya bergantung pada suatu paham kebendaan atau matrealisme, yang nyatanya kini malah menyeret umat manusia pada suatu alam kehidupan yang diliputi keterancaman.

Dan apa yang dimaksud kegagalan dan kesuksesan, atau dalam terminologi agama disebut surga dan neraka, merupakan buah dari apa yang kita perbuat. Surga merupakan alam kehidupan yang sarat kebahagiaan, sementara neraka adalah konsekuensi hidup yang sangat mengerikan, memilukan, serta mengenaskan.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1311 seconds (0.1#10.140)