Ini 11 Alasan Anggota DPR dan DPRD Sumbar Gugat UU Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Empat orang yang terdiri dari satu anggota DPR, dua anggota DPRD Sumatera Barat, dan seorang wiraswasta menggugat ketentuan pengunduran diri sebagai anggota legislatif sejak resmi ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan umum kepala daerah ( pilkada ) ke Mahkamah Konstitusi (MK) . Ketentuan itu tertera pada Pasal Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
Para pemohon masing-masing Anwar Hafid, anggota DPR periode 2019-2024 dari Fraksi Partai Demokrat, Arkadius Dt Intan Bano dan Darman Sahladi, anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat periode 2019-2024 Fraksi Partai Demokrat, serta Mohammad Taufan Daeng Malino, seorang wiraswasta sekaligus politikus Partai Demokrat Sulawesi Tengah.
Pada Senin (6/7/2020) ini, MK menggelar sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan nomor perkara: 22/PUU-XVIII/2020. Sidang dilaksanakan secara virtual. Hakim panel perkara ini dipimpin oleh Anwar Usman dengan anggota Saldi Isra dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.
Isi perbaikan permohonan, dibacakan oleh kuasa hukum para pemohon yakni Muh Salman Darwin. Dua kuasa lainnya yakni Refly Harun dan Richard Erlangga mengikuti sidang dari tempat berbeda.( )
"Yang Mulia, yang menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan saya sendiri. Dari sisi pemohon satu sebagai anggota DPR, kami pertajam argumentasinya pada angka 11, 12, dan 13, Yang Mulia," ujar Salman.
Berdasarkan dokumen perbaikan permohonan, ada 11 alasan permohonan yang diajukan empat pemohon. Satu, para pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10 tahun 2016 yang memuat keharusan "anggota legislatif mengundurkan diri dari jabatannya sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan", telah merugikan hak konstitusional para pemohon, yaitu tidak memberikan jaminan persamaan dan keadilan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Dua, secara konseptual jabatan anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan, yaitu "jabatan politik". Sehingga berdasarkan prinsip keadilan dan persamaan (equal treatmen), maka seseorang yang sedang menduduki jabatan politik tidak perlu "mengundurkan diri" untuk mencalonkan diri dalam jabatan politik lainnya.
Tiga, dalam konteks keadilan dalam pencalonan kepala daerah, maka jabatan anggota legislatif seyogianya dipersamakan dengan calon petahana (incumbent). Di mana incumbent yang hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye.
Empat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XI/2013 jabatan menteri merupakan jabatan politik, tetapi tidak diharuskan untuk mengundurkan diri pada saat mencalonkan diri dalam kontestasi Pemilu. Pertimbangan putusan a quo sejalan dengan "jabatan legislatif" yang eksistensinya terikat dan sangat bergantung pada partai politik.( )
"Kami memperbandingkan antara jabatan legislatif dengan jabatan lain, sehingga pemberhentiannya seharusnya tidak perlu diberlakukan," tegas Salman.
Para pemohon masing-masing Anwar Hafid, anggota DPR periode 2019-2024 dari Fraksi Partai Demokrat, Arkadius Dt Intan Bano dan Darman Sahladi, anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat periode 2019-2024 Fraksi Partai Demokrat, serta Mohammad Taufan Daeng Malino, seorang wiraswasta sekaligus politikus Partai Demokrat Sulawesi Tengah.
Pada Senin (6/7/2020) ini, MK menggelar sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan nomor perkara: 22/PUU-XVIII/2020. Sidang dilaksanakan secara virtual. Hakim panel perkara ini dipimpin oleh Anwar Usman dengan anggota Saldi Isra dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.
Isi perbaikan permohonan, dibacakan oleh kuasa hukum para pemohon yakni Muh Salman Darwin. Dua kuasa lainnya yakni Refly Harun dan Richard Erlangga mengikuti sidang dari tempat berbeda.( )
"Yang Mulia, yang menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan saya sendiri. Dari sisi pemohon satu sebagai anggota DPR, kami pertajam argumentasinya pada angka 11, 12, dan 13, Yang Mulia," ujar Salman.
Berdasarkan dokumen perbaikan permohonan, ada 11 alasan permohonan yang diajukan empat pemohon. Satu, para pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10 tahun 2016 yang memuat keharusan "anggota legislatif mengundurkan diri dari jabatannya sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan", telah merugikan hak konstitusional para pemohon, yaitu tidak memberikan jaminan persamaan dan keadilan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Dua, secara konseptual jabatan anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan, yaitu "jabatan politik". Sehingga berdasarkan prinsip keadilan dan persamaan (equal treatmen), maka seseorang yang sedang menduduki jabatan politik tidak perlu "mengundurkan diri" untuk mencalonkan diri dalam jabatan politik lainnya.
Tiga, dalam konteks keadilan dalam pencalonan kepala daerah, maka jabatan anggota legislatif seyogianya dipersamakan dengan calon petahana (incumbent). Di mana incumbent yang hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye.
Empat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XI/2013 jabatan menteri merupakan jabatan politik, tetapi tidak diharuskan untuk mengundurkan diri pada saat mencalonkan diri dalam kontestasi Pemilu. Pertimbangan putusan a quo sejalan dengan "jabatan legislatif" yang eksistensinya terikat dan sangat bergantung pada partai politik.( )
"Kami memperbandingkan antara jabatan legislatif dengan jabatan lain, sehingga pemberhentiannya seharusnya tidak perlu diberlakukan," tegas Salman.