Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA) menggugat pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Foto/SINDOnews
AAA
JAKARTA - Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA) menggugat pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kuasa hukum IMHA, Anang Zubaidy mengatakan, Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil.
Diketahui Pasal 433 KUHPerdata berbunyi "Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya."
Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.
Menurut Anang, pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental.
Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Penggunaan frasa dungu, gila atau mata gelap merupakan istilah yang sudah sangat usang, cenderung merendahkan dan tidak sesuai dengan ilmu Kesehatan, khususnya di bidang kesehatan jiwa dan menimbulkan stigma negatif yang melekat pada penyandang disabilitas mental.
Kata Anang, pasal 433 KUH Pedata sesungguhnya telah mengakui gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya.
Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan.
"Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional," jelas Anang.
Sifat episodic dari kondisi disabilitas mental seringkali tidak menjadi pertimbangan hakim pada saat menjatuhkan penetapan pengampuan. Bahkan tidak memberikan ruang bagi kondisi atau proses sehat dari penyandang disabilitas mental yang mana dalam kondisi tertentu ia dapat membuat keputusan yang baik.
Hal tersebut dikarenakan penyandang disabilitas episodic juga telah diakui oleh MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang berkaitan dengan diberikannya hak memilih bagi penyandang disabilitas mental.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830.
Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri atau pribadi dalam lalu lintas Hukum.
Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu.
"Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan,"
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan saran kepada para Pemohon agar memperbaiki permohonannya. Manahan meminta para Pemohon mencantukan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021."
"Dalam menyusun permohonan pengujian undang-undang secara materil maupun formil itu adalah pedomannya PMK Nomor 2 Tahun 2021. Jadi nanti mohon kewenangan MK ini ditambahkan demi untuk sempurnanya permohonan ini," kata Manahan.
Selain itu, Manahan juga mengatakan dalam menguraikan kedudukan hukum Pemohon II dan Pemohon III memang kedua pemohon masih ditetapkan orang yang berada dalam pengampuan. “Perlu ditegaskan bahwa mereka berdua ini belum ditetapkan berada dalam pengampuan,” lanjut Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyoroti soal legal standing yayasan atau badan hukum privat. Daniel menyarankan agar yayasan atau badan hukum privat yang menjadi Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang agar memastikan siapa yang berhak untuk mewakilinya sesuai anggaran dasar Yayasan atau badan hukum.
"Misalnya tadi di sini ada ketua dan bendahara, apakah anggaran dasarnya mengatur seperti itu. Atau biasanya ketua dan sekretaris. Tapi tergantung anggaran dasarnya. Kalau anggaran dasarnya mengatur hal seperti itu saya kira tidak masalah yang pasti harus yang berwenang mewakili badan hukum privat terutama dalam proses beracara di pengadilan khususnya di MK," kata Daniel.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya yakni pada Senin, 10 Oktober 2022 paling lambat pukul 14.00 WIB.