Paradoks Identitas Digital

Jum'at, 03 Juli 2020 - 15:56 WIB
loading...
A A A
Hari ini, saya yang memakai baju batik berlengan panjang, ketika masuk di suatu ruangan, memperoleh tanggapan sesisi ruangan, “Wah tumben, nampak resmi sekali. Ada acara hajatan rupanya. Gitu dong keren, tampil resmi. Respon itu sangat beda saat saya berpakaian casual. Tak ada yang menanggapi, mencibir atau memuji. Biasa-biasa saja.

Makna simbolik dari dua cara berpakaian itu adalah, dengan batik berlengan panjang ada kekaguman, sebab saya tampil di luar kebiasaan. Lontaran berikutnya menunjukkan dukungan untuk sering-sering tampil dengan batik berlengan panjang, karena keren. Sedangkan ketika tampil casual, nampak tak ada yang istimewa dari saya.

Di hari-hari sebelumnya, terinteraksi memang saya bukan orang yang suka berpakaian resmi. Identitas diri saya adalah manusia dengan pakaian casual. Ketika tampil formal, seakan bukan identitas saya yang biasa. Walaupun berpakaian formal tak ditolak society, namun diri dengan pakaian casual yang lebih biasa diterima. Inilah self dalam proses pembentukannya yang sederhana.

Dalam interaksi yang berlangsung di ruang-ruang digital, pembentukan identitas diri terjadi dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi konten. Konten yang dipertukarkan sebagai posting dan menuai komentar, adalah simbol. Ini, sesuai pikiran Mead, yang juga akan menghasilkan makna yang diterima sosial. Wujudnya self, mind dan society. Identik yang terjadi di ruang analog.

Oleh mahasiswa yang meneliti pembentukan identifikasi diri lewat produksi dan distribusi konten, didapati: manakala posting tentang diri dilakukan konsisten, society akan menerima konstruksi itu sesuai tema yang dikembangkan. Ini dikonfirmasi oleh temuan Lucie Caffrey, 2017 dalam disertasinya Social Media and the Construction of Self: Our New Sociotechnical Environment is Changing the Construction of Identity.

Dia menyebut adanya aspek utama dari penciptaan identitas yang dipengaruhi oleh hubungan manusia dengan teknologi. Aspek itu menyangkut penyimpanan memori dan proses refleksi diri. Hal ini melahirkan norma baru, berupa struktur interaksi, komunikasi dan pola pikir yang secara intrinsik mengubah cara membentuk rasa "diri".

Ditemukannya, lingkungan online memberi fasilitas peningkatan representasi dan pengembangan "diri", yang pada dasarnya juga ditentukan oleh pihak eksternal. Individu tak hanya merebut kembali rasa identitas, namun juga mengklaim kembali hak pilihan mereka, terhadap identitas dirinya.

Ringkasnya, produksi dan ditribusi konten dapat digunakan untuk mengkonstruksi identitas diri. Terlebih dengan adanya ketegangan abadi: diri yang otentik dengan diri sosial. Sedangkan dari mahasiswa yang meneliti pembentukan identifikasi diri lewat konsumsi konten, terselip nuansa paradoks pemanfaatan media sosial.

Komentar para pengguna media sosial lain, bahkan yang tak terduga kelazimannya, dapat mempengangaruhi keleluasaan individu dalam mendefinisikan diri. Jika pilihannya individu tak peduli pada komentar pihak lain, ada ancaman terbentuknya jaringan komentar yang menyebar luas. Tentu saja ini lebih mudah terjadi, ketika masyarakatnya berciri masyarakat jararing.

Paradoks media digital, tampak berwujud keluasaaan untuk posting konten apa pun, membangun identitas diri. Namun di saat bersamaan harus siap menerima komentar yang tak membebaskannya diri, jadi yang diinginkan. Itu beroperasi lewat pengawasan, berupa lontaran-lontaran komentar, yang seringkali di luar kelaziman tata bicara. Sayangnya, itu tak bisa begitu saja diabaikan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0839 seconds (0.1#10.140)