Permainan 'Asap dan Cermin' dalam RUU Sisdiknas

Kamis, 22 September 2022 - 14:25 WIB
loading...
A A A
Melalui RUU Sisdiknas, masyarakat dibuai dengan program Wajib Belajar 13 Tahun yang memang penting, tetapi tidak menyadari bahwa pemerintah telah melepaskan tanggung jawab untuk membiayai sepenuhnya pendidikan seperti yang tertera pada Pasal 1 ayat 13 draf UU Sisdiknas versi Agustus 2022 jika dibandingkan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pasal 14 dalam draf UU Sisdiknas tertulis bahwa orang tua wajib menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang dasar dan menengah.

Selain pemahaman tentang hak asasi manusia dan penjabaran amanat konstitusi dalam bidang pendidikan yang keliru, “wajib belajar” bukan berarti orang tua harus menyekolahkan anak-anaknya melainkan pemerintah harus memberikan akses terbuka pada pendidikan.

Maka pasal ini dapat dipahami sebagai bentuk komersialisasi pendidikan. Karena orang tua wajib menyekolahkan dan negara tidak mampu membiayai secara utuh, maka orang tua wajib mengeluarkan dana untuk mendapatkan layanan pendidikan.

Terlebih lagi Pasal 58 secara eksplisit mengatakan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam pendanaan satuan pendidikan dalam cakupan wajib belajar. Ini sangat bertentangan dengan amanat konstitusi dan konsep pendidikan publik secara universal.

Sebaiknya pemerintah berkonsentrasi untuk memenuhi Wajib Belajar 9 Tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain: membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100% biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana/ prasarana pendidikan berasal dari pihak swasta.

Selain itu, menjadikan sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa; membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil; dan sebagainya.

Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat dan bukan menggunakan metode asap dan cermin. Semoga kita semua menyadari bahwa kita sedang menyiapkan para generasi penerus bangsa agar peradabannya maju dan hidupnya sejahtera, bukan melakukan pertunjukan sulap.

Satu atau Multisistem Pendidikan Nasional
Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 berbunyi pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Faktanya, apakah benar Indonesia memiliki satu sistem pendidikan nasional?

Jika secara nasional bidang pendidikan dikelola oleh dua kementerian yang berbeda, yaitu Kemendibud Ristek dan Kementerian Agama untuk madrasah serta pesantren, apakah bisa disebut satu sistem?

Bahkan pada periode 2014-2019 lalu, pendidikan tinggi dikelola oleh sebuah kementerian lain. Masing-masing daerah seakan juga memiliki sistem pendidikan sendiri dan minim koordinasi antara pusat dan daerah. Sebagai contoh beberapa daerah memiliki ujian daerah sendiri sebagai pengganti ujian nasional yang dihentikan oleh pemerintah pusat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1409 seconds (0.1#10.140)