Lonjakan Inflasi Global dan Normalisasi Kebijakan

Kamis, 15 September 2022 - 12:37 WIB
loading...
A A A
Bank sentral AS, The Fed, sudah terlebih dulu agresif menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 basis poin (bps) dari Maret hingga Juli lalu. Peluang The Fed melanjutkan kenaikan masih terbuka di bulan-bulan berikutnya, meskipun besaran poin persentasenya berkisar 25-50 bps untuk mencapai target inflasi 2%. Langkah The Fed efektif melandaikan inflasi, dari 9,1% (Juni) menjadi 8,5% (Juli).

Pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia melambat, namun perlambatan di Eropa dan lebih spesifik Inggris lebih dalam karena didorong oleh penurunan yang lebih mendasar dimana pendapatan riil dan standar hidup turun. Pada saat yang sama, dampak parah dari krisis energi yang mendorong laju inflasi telah menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang sangat gelap.

Itulah pernyataan Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB). Betapa hebatnya tantangan ekonomi Uni Eropa direspon oleh ECB, yang mengawasi kebijakan ekonomi 19 negara yang menggunakan euro, dengan mengambil langkah agresif untuk memerangi inflasi, yakni menaikkan suku bunga utama terbesar yang pernah ada sebesar 75 basis poin (bps) pada Kamis lalu (8/9/2022).

Langkah ini menjadi bukti bahwa ECB memenuhi janjinya untuk mengambil langkah besar dalam memerangi inflasi. Setelah kenaikan suku bunga utama, maka suku bunga pada operasi refinancing utama dan suku bunga pada fasilitas pinjaman marjinal dan simpanan juga akan naik masing-masing menjadi 1,25%, 1,5%, dan 0,75%, mulai 14 September 2022. Dengan demikian, setelah penyesuaian kini suku bunga simpanan telah berada di zona positif untuk pertama kalinya dalam satu dekade.

Menariknya, ECB juga mengatakan bahwa kenaikan suku bunga pada hari itu akan diikuti oleh kenaikan lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang untuk mengekang spiral inflasi, yang menjadi luas dan mengakar.

Menurut Lagarde, harga energi yang sangat tinggi telah mengurangi daya beli dan menggerus pendapatan masyarakat serta menghambat kegiatan ekonomi. Dengan menaikkan suku bunga, ECB bermaksud untuk "mengurangi permintaan dan menjaga dari risiko peningkatan ekspektasi inflasi yang terus-menerus."

Dengan optimis, ECB percaya inflasi akan turun begitu faktor pendorongnya memudar, dan kebijakannya mulai bekerja. Namun data menunjukkan situasinya bisa menjadi lebih buruk sebelum berbalik arah menjadi lebih baik. ECB memperkirakan inflasi menjadi 8,1% pada 2022, lalu 5,5% pada 2023, dan akhirnya 2,3% pada 2024 di kawasan euro.

Normalisasi Kebijakan di Negara Berkembang
Di negara berkembang, agresivitas kenaikan suku bunga acuan tak kalah serunya dengan di negara maju. Terbaru, Komite Kebijakan Moneter (MPC) Bank Negara Malaysia (BNM) menaikkan lagi suku bunga overnight sebesar 25 bps menjadi 2,50%. Menurut BNM, ekonomi global terus berkembang meski dengan kecepatan lebih lambat, terbebani oleh meningkatnya tekanan biaya, kondisi keuangan global yang lebih ketat, dan langkah pembatasan yang ketat di Tiongkok.

Namun, pertumbuhan global terus didukung oleh perbaikan kondisi pasar tenaga kerja, dan pembukaan kembali sebagian besar ekonomi dan perbatasan internasional. Tekanan inflasi tetap tinggi, karena kenaikan harga komoditas dan pasar tenaga kerja yang ketat, meskipun kondisi rantai pasokan global terus mereda.

Akibatnya, menurut BNM, bank sentral diperkirakan akan terus menyesuaikan pengaturan kebijakan moneter mereka, beberapa dengan kecepatan yang lebih cepat, untuk mengurangi tekanan inflasi. Sementara penyesuaian suku bunga acuan yang agresif oleh bank sentral AS, The Fed, telah berkontribusi pada kondisi dolar AS yang kuat. Hal itu mengakibatkan volatilitas yang lebih tinggi di pasar keuangan, mempengaruhi mata uang utama dunia dan pasar berkembang lainnya, termasuk ringgit Malaysia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3265 seconds (0.1#10.140)