Bersihkan Pendidikan dari Aksi Kekerasan

Rabu, 14 September 2022 - 18:10 WIB
loading...
Bersihkan Pendidikan dari Aksi Kekerasan
Kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, harus mendapatkan solusi agar tidak terulang lagi di kemudian hari. (KORAN SINDO/Wawan Bastian)
A A A
KEKERASAN yang dialami salah satu santri Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur hingga menyebabkan hilangnya nyawa, 22 Agustus lalu, membuat miris dunia pendidikan di Indonesia. Meski kasuistis, potret ini setidaknya menjelaskan bahwa lembaga pendidikan yang mestinya menjadi tempat untuk membangun diri masa depan malah berbalik menjadi ruang penghancuran.

Yang lebih ironis, kekerasan demi kekerasan faktanya tak pernah henti. Pun, di lembaga pendidikan nonpesantren, kasus kekerasan yang dialami anak didik seperti tiap hari terjadi. Terakhir, kekerasan seksual dialami 12 siswi SMP/SMA di Kabupaten Alor, NTT yang dilakukan calon pendeta/vikaris.

Jumlah riil bisa jadi akan lebih besar karena diyakini kasus kekerasan di lembaga pendidikan sejatinya fenomena gunung es. Selain banyak korban takut melapor, banyak kasus juga dirampungkan di internal sehingga tak sampai muncul ke ranah publik.

Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada kurun 2016-2018 atau masa sebelum pandemi Covid-19, tiap tahunnya laporan tindakan kekerasan terhadap siswa atau santri selalu di atas angka 100. Jenis laporan beragam, baik kekerasan fisik, psikis, hingga seksual. Kini, setelah Covid-19 melandai dan pendidikan tatap muka kembali digelar, kasus-kasus kekerasan itu kembali menjamur.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi RPA) mendata, pada 2022 (Januari-September) saja, ada 541 kasus kekerasan di sekolah. Data yang dihimpun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ini sangat mengiris benak kita. Yang membuat kita lebih sedih, kasus-kasus itu menyebabkan sebagian korbannya harus meninggal dunia. Bahkan bagi korban kekerasan seksual, tentu menghadapi masa depan yang kelam atau tak ringan.

Terus terjadinya kekerasan ini saatnya menjadi momentum untuk mengevaluasi model pendidikan di Tanah Air. Pun termasuk di kalangan pesantren, kasus-kasus yang beberapa waktu terakhir muncul menjadi sarana pembenahan sistem yang telah diberlakukan. Pesantren tak perlu menutup diri, apalagi berupaya cuci tangan dengan kasus yang dialami.

Kesadaran ini penting lantaran dunia pesantren hari ini sangat berbeda dengan 30 tahun lalu misalnya. Kemajuan teknologi informasi digital telah banyak memengaruhi cara santri berpikir, belajar, dan berperilaku.

Perubahan dan transformasi teknologi yang akhirnya memengaruhi budaya inilah yang perlu disikapi secara bijak oleh para pemangku kepentingan. Pada posisi ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Agama setidaknya serius melakukan kajian termasuk evaluasi atas kebijakan yang ada.

Lahirnya Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan misalnya bukanlah kata kunci yang bersifat final. Lebih dari lima tahun berlaku, peraturan ini faktanya tidak mempan banyak di lapangan. Ini artinya ada sesuatu yang perlu diberesi dan benahi. Bisa saja, regulasi itu masih sekadar jadi pajangan, belum benar-benar dijalankan secara komprehensif.

Di sisi lain, terus merebaknya kasus kekerasan di lembaga pendidikan karena belum ada sanksi yang menjerakan bagi pelakunya, termasuk institusinya. Meski begitu, upaya polisi yang mulai serius menangani kasus kekerasan di lembaga pendidikan seperti pada kasus anak pengasuh ponpes di Jombang, Juli lalu patut diapresiasi. Langkah ini harus dikawal agar selain mendapat sanksi tegas, juga menjadi benchmark atas penyelesaian kasus yang serupa.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1928 seconds (0.1#10.140)