Kemesraan Muhammadiyah-Nahdlatul Ulama, Bagaimana Memahaminya?
loading...
A
A
A
Agenda itu berlangsung di Asrama Haji Parupuk Tabing. Ada sekitar seribuan orang yang menjadi peserta. Tentu saja yang hadir lintas ormas dan tokoh serta masyarakat luas kala itu.
Menko Kesra JK menjadi pembicara kunci dan membuka acara, serta Buya Syafii dan KH Hasyim Muzadi menjadi narasumber seminar berformat talk-show kala itu.
Sketsa itu membawa kepada suasana sejuk bagi ormas Islam terbesar di Sumbar. Bahkan ketika datang sendiri ke Sumbar, KH Hasyim Muzadi dipersilakan dengan hati lapang oleh PW Muhammadiyah menjadi khatib Jumat di Masjid Raya Muhammadiyah Jalan Bundo Kandung No 1 Padang, kawasan Pasar Raya. Konon, belum pernah ada tokoh apalagi Ketua Umum PBNU yang dipersilakan menjadi khatib Jumat di Masjid Muhammadiyah yang seperti itu.
Kini, apa yang terjadi?
Setelah berlalu masa kepemimpinan dua tokoh bangsa tadi, dari daerah atau wilayah provinsi, hubungan kedua persyarikatan itu, tampaknya lebih bersifat formalistik.
Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 24 Desember 2021 memilih KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU. Sementara silaturahmi Gus Yahya ke PP Muhammadiyah seperti pada intro tulisan ini baru Ahad, 4 September 2022 atau kurang lebih 9 bulan setelah Muktamar NU.
Apa makna tersirat?
Boleh jadi Gus Yahya menunggu Haedar untuk datang ke Kantor PBNU bersilaturahmi sekaligus mengucapkan selamat. Namun penantian itu terlalu lama, maka dengan besar hati Gus Yahya datang ke PP Muhammadiyah.
Makna lain, di sisi Haedar Nashir, mungkin beranggapan bahwa yang harus datang tentu Gus Yahya untuk mengenalkan diri. Secara secara senioritas, Haedar Nashir terpilih sebagai Ketum Muhammadiah pada awal Agustus 2015. Artinya secara kepemimpinan ormas, Haedar Nashir kini sudah hampir 7 tahun memegang pucuk tertinggi Muhammadiyah, sehingga secara tradisi harus menunggu.
Atau mungkin juga Haedar Nashir akan berkunjung ke PBNU dalam waktu dekat, jika Gus Yahya tidak datang. Walaupun mungkin, tepat setelah Gus Yahya terpilih menjadi Ketum PBNU, Haedar Nashir sudah mengucapkan selamat via telepon langsung atau daring. Apalagi masa itu Pendemic Covid-19 masih menjadi momok. Jadi soal kunjung-berkunjung atau silaturahmi luring (offline) tidak terlalu mendesak dan urgent.
Ataukah dapat dipahami lain. Misalnya, Gus Yahya melihat arah angin. Ke mana angin akan bertiup pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, 18-20 November 2022 nanti? Akankah Haedar akan terpilih lagi sebagai Ketum PP Muhammadiyah 2022-2027?
Kalau ini yang menjadi pemahaman lain itu, maka Gus Yahya dapat dianggap mempunyai naluri bahwa Haedar Nashir pantas menjadi partner kepemimpinan ormas terbesar ini pada periode berikutnya, maka kunjungannya ke PP Muhammadiyah kemarin itu tidaklah terlambat amat.
Menko Kesra JK menjadi pembicara kunci dan membuka acara, serta Buya Syafii dan KH Hasyim Muzadi menjadi narasumber seminar berformat talk-show kala itu.
Sketsa itu membawa kepada suasana sejuk bagi ormas Islam terbesar di Sumbar. Bahkan ketika datang sendiri ke Sumbar, KH Hasyim Muzadi dipersilakan dengan hati lapang oleh PW Muhammadiyah menjadi khatib Jumat di Masjid Raya Muhammadiyah Jalan Bundo Kandung No 1 Padang, kawasan Pasar Raya. Konon, belum pernah ada tokoh apalagi Ketua Umum PBNU yang dipersilakan menjadi khatib Jumat di Masjid Muhammadiyah yang seperti itu.
Kini, apa yang terjadi?
Setelah berlalu masa kepemimpinan dua tokoh bangsa tadi, dari daerah atau wilayah provinsi, hubungan kedua persyarikatan itu, tampaknya lebih bersifat formalistik.
Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 24 Desember 2021 memilih KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU. Sementara silaturahmi Gus Yahya ke PP Muhammadiyah seperti pada intro tulisan ini baru Ahad, 4 September 2022 atau kurang lebih 9 bulan setelah Muktamar NU.
Apa makna tersirat?
Boleh jadi Gus Yahya menunggu Haedar untuk datang ke Kantor PBNU bersilaturahmi sekaligus mengucapkan selamat. Namun penantian itu terlalu lama, maka dengan besar hati Gus Yahya datang ke PP Muhammadiyah.
Makna lain, di sisi Haedar Nashir, mungkin beranggapan bahwa yang harus datang tentu Gus Yahya untuk mengenalkan diri. Secara secara senioritas, Haedar Nashir terpilih sebagai Ketum Muhammadiah pada awal Agustus 2015. Artinya secara kepemimpinan ormas, Haedar Nashir kini sudah hampir 7 tahun memegang pucuk tertinggi Muhammadiyah, sehingga secara tradisi harus menunggu.
Atau mungkin juga Haedar Nashir akan berkunjung ke PBNU dalam waktu dekat, jika Gus Yahya tidak datang. Walaupun mungkin, tepat setelah Gus Yahya terpilih menjadi Ketum PBNU, Haedar Nashir sudah mengucapkan selamat via telepon langsung atau daring. Apalagi masa itu Pendemic Covid-19 masih menjadi momok. Jadi soal kunjung-berkunjung atau silaturahmi luring (offline) tidak terlalu mendesak dan urgent.
Ataukah dapat dipahami lain. Misalnya, Gus Yahya melihat arah angin. Ke mana angin akan bertiup pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, 18-20 November 2022 nanti? Akankah Haedar akan terpilih lagi sebagai Ketum PP Muhammadiyah 2022-2027?
Kalau ini yang menjadi pemahaman lain itu, maka Gus Yahya dapat dianggap mempunyai naluri bahwa Haedar Nashir pantas menjadi partner kepemimpinan ormas terbesar ini pada periode berikutnya, maka kunjungannya ke PP Muhammadiyah kemarin itu tidaklah terlambat amat.