Reshuffle Kabinet, Wacana Lumrah yang Tak Pernah Mudah

Kamis, 02 Juli 2020 - 06:00 WIB
loading...
Reshuffle Kabinet, Wacana Lumrah yang Tak Pernah Mudah
Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wacana reshuffle kabinet menguat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menumpahkan kekesalan terhadap para menterinya. Pemicunya adalah kinerja yang buruk atau setidaknya standar di masa pandemi virus Corona (Covid-19). Padahal, dalam kacamata Jokowi situasi ini membutuhkan inovasi serta effort lebih.

Kemarahan Jokowi pada rapat kabinet 18 Juni 2020 yang videonya diunggah Biro Pers Setpres 10 hari kemudian direspons secara luas. Ada yang meragukan keseriusan presiden, ada pula yang mengapresiasi bahkan mendukung agar Jokowi merombak kabinet secepatnya.

Pengamat politik Anang Sujoko mengatakan sangat mungkin sekali Jokowi melakukan penggantian menteri melihat situasi seperti sekarang ini. “Kalau pemerintah itu kuat, melihat menterinya enggak mampu ya sudah reshuffle. Karena ini bicara profesionalitas dan kita bicara bangsa,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (30/6/2020).

(Baca: Soal Reshuffle, Fadli Zon: Kalau Tidak Ditindaklanjuti Akan Mendegradasi Jokowi)

Sejak Corona mulai mewabah, seluruh perhatian publik memang tercurah pada kemampuan para pejabat negara dalam menanganinya. Kesimpulannya, pemerintah dinilai kedodoran. Belum ada “ramuan” yang pas untuk meredam dampak lebih luas. Kebijakan dan regulasi telah dibuat dengan dukungan APBN yang dialokasikan ulang. Toh, dampaknya nyaris tidak terasa.

Sejumlah menteri terkait penanggulangan pagebluk Covid-19 paling mendapatkan sorotan. Jokowi secara khusus menyebut serapan anggaran Kementerian Kesehatan sebesar Rp75 triliun, tetapi baru terpakai 1,56 persen.

Anang mengungkapkan beberapa menteri yang mungkin akan terkena kocok ulang kabinet ada di sektor ekonomi. Mantan Wali Kota Solo itu terlihat kurang puas dengan kinerja dan usaha meredam dampak ekonomi karena pagebluk Covid-19.

“Tidak sedikit yang harus di-reshuflle. Tidak sedikit menteri-menteri yang bisa memenuhi harapan untuk bekerja secara baik. Beberapa kementerian, sekarang apa targetnya apa? Awal-awal Covid-19 itu terjadi kekecauan komunikasi publik. Maka, siapa yang bertanggung jawab terhadap protokol komunikasi,” tutur dosen Universitas Brawijaya itu.

(Baca: Mensos Juliari Batubara: Kita Tugasnya Bekerja, Tidak Pikir Reshuffle)

Selain, menteri-menteri terkait kesejahteraan sosial perlu dievaluasi. Dia menilai pembagian bantuan sosial (bansos) banyak masalah. Lalu, mekanisme pembagian di lapangan malah membuat masyarakat tidak tertib dalam menjalankan protokol kesehatan Covid-19.

“Ini sebagai evaluasi pemerintah untuk bisa lebih profesional. Bukan coba-coba lagi. Ini sebuah negara yang sudah besar jadi jangan dipermainkan. Hal lainnya, seharusnya masing-masing kementerian bersinergi untuk mendukung kementerian lainnya,” jelas Anang.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian mengatakan Jokow lebih tahu mana menteri yang harus diganti. Namun, dia menyebut Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto tidak perform.

“Dari awal menkes dari awal tidak perform. Menkes ini menggampangkan situasi sejak awal. Saya yakin ini berimbas pada cara pengumuman kasus Covid-19 yang dilakukan Pak Jokowi. Sampai eksekusi di lapangan, serapan anggaran, tentu ini menjadi evaluasi besar,” ujarnya.

(Baca: Wacana Reshuffle Murni Alasan Kinerja, Jokowi Tak Perlu Tambah Parpol Koalisi)

Dua menteri lain yang disebut Pipin pantas digusur adalah Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. “Ini menjadi salah satu catatan penting. Saya kira seharusnya (program kartu prakerja) bukan di-handle oleh menko. Lebih baik di-handle kementerian terkait,” ucap alumnus Universitas Indonesia itu.

Sayangnya, merombak kabinet tidak semudah membangun rumah meskipun itu lumrah. Mengganti menteri memang sepenuhnya menjadi hak seorang presiden, namun praktik politik kekuasaan tidak pernah berjalan linier. Selalu diwarnai intrik tarik menarik kepentingan, seperti halnya ketika awal kabinet akan disusun.

Pada 2011, wacana reshuffle yang dilontarkan di periode kedua kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tidak gampang. Pada masa itu sekitar 10 dari 34 anggota kabinet SBY mendapat penilaian negatif publik akibat kinerja buruk hingga skandal korupsi maupun skandal pribadi.

Tapi upaya SBY untuk mengganti para menteri bermasalah itu mendapat ganjalan partai politik pendukungnya. Begitu reshuffle kabinet dijalankan, para menteri baru yang diangkat SBY kala pun juga belum cukup memenuhi ekspektasi publik. Bau tangan partai politik dan kepentingan di belakang menteri baru masih kental.

(Baca: Ini Kriteria Menteri yang Berpotensi Dicopot Jokowi)

Jokowi sendiri pernah merasakan alotnya mengganti menteri di periode pertamanya. Sebut saja saat pemerintahan Jokowi-JK berjalan 10 bulan, empat posisi menteri dan jabatan setingkat di kabinet diganti. Salah satunya adalah Sofyan Djalil yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dicopot digantikan Darmin Nasution.

Tapi Sofyan Djalil yang merupakan dianggap sebagai orang Jusuf Kalla itu tidak hilang, hanya digeser sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago. Begitu juga Luhut Binsar Panjaitan digeser dari Kepala Staf Kepresidenan menjadi Menko Polhukam, sedangkan posisinya diisi Teten Masduki.

Syamsuddin Haris, peneliti LIPI yang kini menjabat Dewan Pengawas KPK dalam sebuah artikel pernah menuliskan bahwa masalah tarik ulur reshuffle kabinet SBY bukan semata-mata terletak pada fakta bahwa memang ada sejumlah menteri yang berkinerja buruk.

”Problem reshuffle kabinet juga tidak sekadar mengganti menteri yang diduga tersangkut kasus hukum.Problematik tuntutan perombakan kabinet yang dihadapi Presiden SBY justru terletak pada format KIB II itu sendiri serta tarik-ulur keberanian SBY dalam mengambil keputusan untuk memberhentikan menteri kabinetnya,” tulis Syamsuddin Haris (Seputar Indonesia, 20 September 2011).

(Baca: Semprot Menteri Soal Kinerja, Jokowi Ancam Bubarkan Lembaga Sampai Reshuffle)

Bagaimana dengan Jokowi? Semestinya di periode kedua ini Jokowi lebih mudah mengganti menteri karena konstitusi tidak membiarkan dia berkuasa untuk ketiga kalinya. Akan tetapi, bagaimana pun Jokowi tetap harus bertahan hingga akhir periode kekuasaannya.

Karena itulah, Anang Sujoko berpendapat bahwa Jokowi pun tidak akan mudah dalam melakukan pergantian menteri. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu harus berkompromi dengan partai politik pendukungnya.

“Kalau harus kompromi, benar-benar bicara kualitas SDM. Kredibilitas dan kualitas itu harus menjadi poin kesatu. Partai politik di pemerintahan sudah waktunya berpikiran tentang kepentingan masyarakat bukankeberlangsungan kadernya yang masuk di situ (kabinet),” pungkasnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1147 seconds (0.1#10.140)