Melawan Sinisme Proklamator Hatta, Korupsi sebagai Budaya
loading...
A
A
A
Selanjutnya, Indeks Komposisi Persepsi Terhadap Kebudayaan Global cenderung rendah dengan angka 3,84. Meskipun ada pernyataan bahwa budaya global mudah diadopsi dan disesuaikan dengan budaya Indonesia untuk pemajuan kebudayaan Indonesia, namun indeksnya rendah yaitu sebesar 3,62 poin.
Sementara itu terkait dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa, indeksnya berada pada level sedang dengan angka 4,13 poin. Masalah yang mendapat perhatian dari masyarakat karena memiliki indeks rendah adalah perlunya tafsir ulang terhadap sila-sila yang ada di Pancasila. Fenomena ini ditegaskan dengan nilai indeks item sebesar 3,77 poin.
Pada aspek Indeks Komposisi Terkait Persepsi Terhadap Revolusi Teknologi 4.0 berada pada level rendah dengan nilai indeks sebesar 3,93 poin. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada aspek ini.
Pada bagian lain, masyarakat memberi perhatian pada kondisi budaya lokal yang kurang berkembang. Hal itu dapat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Indonesia. Indeks item pernyataan ini paling rendah di antara kelompok persepsi ini, yaitu 3,69 poin.
Begitu juga dengan indeks item pernyataan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia Tahun 2045 juga mendapat indeks yang rendah sebesar 3,87 poin. Artinya, dari aspek kebudayaan persepsi yang ditemukan tidak menggembirakan.
Sementara aspek lain yang juga menjadi perhatian publik adalah pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai budaya setempat yang juga perlu mendapat perhatian karena indeks pada pernyataan ini juga rendah dengan angka 3,93 poin.
Tentu saja survei ini akan memberikan kabar baik. Di antaranya bahwa kebudayaan amatlah penting untuk pemajuan kebudayaan. Dan sebagai infrastruktur sudah ada undang-undang tentang kebudayaan nasional.
Pada 27 April 2017, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan pemerintah sebagai acuan legal formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Yang perlu diingat, kekayaan budaya, bukan hanya bersifat material seperti artifak budaya, seni dan budaya tetapi yang amat mendasar adalah kepribadian dan cara berfikir (world-view) serta cara hidup (the way of life) bangsa Indonesia.
Hedonistik, di antaranya yang membuat korupsi merajalela, meski sudah ada Undang-Undang Antikorupsi tetap saja harus dimulai dari kebudayaan. Dengan begitu, sinisme Proklamator Hatta pada 5 dan 6 dekade lalu (Marwata, 2022; Mahfud, MD, 2021) dan bahwa korupsi menjadi budaya, harus terus menerus kita ubah menjadi korupsi adalah potret orang yang tak berbudaya.
Sementara itu terkait dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa, indeksnya berada pada level sedang dengan angka 4,13 poin. Masalah yang mendapat perhatian dari masyarakat karena memiliki indeks rendah adalah perlunya tafsir ulang terhadap sila-sila yang ada di Pancasila. Fenomena ini ditegaskan dengan nilai indeks item sebesar 3,77 poin.
Pada aspek Indeks Komposisi Terkait Persepsi Terhadap Revolusi Teknologi 4.0 berada pada level rendah dengan nilai indeks sebesar 3,93 poin. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada aspek ini.
Pada bagian lain, masyarakat memberi perhatian pada kondisi budaya lokal yang kurang berkembang. Hal itu dapat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Indonesia. Indeks item pernyataan ini paling rendah di antara kelompok persepsi ini, yaitu 3,69 poin.
Begitu juga dengan indeks item pernyataan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia Tahun 2045 juga mendapat indeks yang rendah sebesar 3,87 poin. Artinya, dari aspek kebudayaan persepsi yang ditemukan tidak menggembirakan.
Sementara aspek lain yang juga menjadi perhatian publik adalah pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai budaya setempat yang juga perlu mendapat perhatian karena indeks pada pernyataan ini juga rendah dengan angka 3,93 poin.
Tentu saja survei ini akan memberikan kabar baik. Di antaranya bahwa kebudayaan amatlah penting untuk pemajuan kebudayaan. Dan sebagai infrastruktur sudah ada undang-undang tentang kebudayaan nasional.
Pada 27 April 2017, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan pemerintah sebagai acuan legal formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Yang perlu diingat, kekayaan budaya, bukan hanya bersifat material seperti artifak budaya, seni dan budaya tetapi yang amat mendasar adalah kepribadian dan cara berfikir (world-view) serta cara hidup (the way of life) bangsa Indonesia.
Hedonistik, di antaranya yang membuat korupsi merajalela, meski sudah ada Undang-Undang Antikorupsi tetap saja harus dimulai dari kebudayaan. Dengan begitu, sinisme Proklamator Hatta pada 5 dan 6 dekade lalu (Marwata, 2022; Mahfud, MD, 2021) dan bahwa korupsi menjadi budaya, harus terus menerus kita ubah menjadi korupsi adalah potret orang yang tak berbudaya.