Ekologi Politik: Kontestasi Spiritual Ata Modo dalam Konservasi TNK
loading...
A
A
A
Gilang Ramadhan
Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada
PEMBANGUNAN Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai kawasan wisata alam berbasis modern cukup mendapat sorotan dan perhatian publik. Hal ini mengingat TNK selain merupakan satu-satunya habitat alami Komodo yang hingga kini masih eksis di dunia, juga merupakan salah satu the UNESCO World Network of Biosphere Reserves (1977).
TNK mendapatkan predikat Biosphere Reserves salah satunya karena mengintegrasikan keanekaragaman budaya dengan keanekaragaman hayati, terutama mengenai peran pengetahuan -ekologi adat dalam pengelolaan ekosistem.
Secara umum, terdapat dua model pengetahuan; Pertama, sistem pengetahuan modern yang berbasiskan scientific knowledge system bermula dari renaissance abad pertengahan di Eropa; Kedua, sistem pengetahuan adat yang berbasiskan indigenous knowledge systems yang dimiliki dan tumbuh dari nilai kebudayaan kelompok lokal.
Pada dua model di atas, scientific knowledge dianggap sebagai ‘pengetahuan modern’ dianggap memiliki klaim kebenaran teori yang objektif dan universal, dibanding indigenous knowledge. Ketimpangan ini pada konteks lanjutannya berkembang pada level ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Pengaruh terhadap klaim eksklusif scientific knowledge semacam inilah yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan ideologi TNK hari ini.
Bila dilihat dari histori-geneologisnya, Ata Modo sebagai masyarakat adat di TNK telah eksis jauh sebelum misi konservasi yang dibawa oleh aktivis ekologi politik pada tahun 1970 ke wilayah tersebut. Sebelum aktifis itu datang, Ata Modo telah memiliki cara konservasi tersendiri untuk menjaga hubungannya dengan komodo, yaitu dengan menyisihkan daging hasil berburu.
Pola konservasi ekologi adat semacam itu tidak lepas dari sejarah keterhubungan sebagai saudara kembar antara Ata Modo dengan Komodo itu sendiri. Ribuan tahun sebelum misi itu datang, Ata Modo tersebar di pelbagai tempat di sekitar Kepulauan Komodo, sebelum akhirnya disatukan oleh misi konservasi pada wilayah yang sekarang dikenal dengan Desa Komodo.
Ata Modo pada lintasan sejarahnya, meyakini bahwa mereka memiliki keterkaitan dan hubungan religious dengan sebae (Komodo) serta tanah adatnya dalam entitas Kolokamba. Sebae sendiri merupakan panggilan kesayangan Ata Modo dalam melihat Komodo sebagai hubungan religious antara keduanya.
Sedangkan Kolokamba di masa lalu, merupakan tradisi yang digunakan Ata Modo dalam mempertahankan tanahnya dengan cara membenamkan tubuh kedalam tanah setinggi setengah badan – yang kemudian berkembang menjadi upacara tradisional, tarian simbolik yang menggambarkan perjuangan hidup leluhur. Oleh karena itu, Ata Modo dalam konsep spritualnya menekankan terkait pentingnya keterhubungan antara manusia dengan lingkungan yang dipandang sebagai sesama subjek – tanpa saling mendominasi.
Paradigma religious yang dipraktikkan Ata Modo kerap dianggap sebagai hal tabu oleh pemerintah, bahkan tidak diperhitungkan guna melanggengkan proyek konservasinya. Dalam tataran ekologi politik, cara demikian sepenuhnya dapat dimaklumi, mengingat zona konservasi yang ditetapkan TNK ini dilandaskan pada basis scientific knowledge, yang diorientasikan untuk mengkodifikasi alam sebagai langkah promosi proyek modernisasi wisata Komodo ke pasar dunia (Foster, 2000).
Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada
PEMBANGUNAN Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai kawasan wisata alam berbasis modern cukup mendapat sorotan dan perhatian publik. Hal ini mengingat TNK selain merupakan satu-satunya habitat alami Komodo yang hingga kini masih eksis di dunia, juga merupakan salah satu the UNESCO World Network of Biosphere Reserves (1977).
TNK mendapatkan predikat Biosphere Reserves salah satunya karena mengintegrasikan keanekaragaman budaya dengan keanekaragaman hayati, terutama mengenai peran pengetahuan -ekologi adat dalam pengelolaan ekosistem.
Secara umum, terdapat dua model pengetahuan; Pertama, sistem pengetahuan modern yang berbasiskan scientific knowledge system bermula dari renaissance abad pertengahan di Eropa; Kedua, sistem pengetahuan adat yang berbasiskan indigenous knowledge systems yang dimiliki dan tumbuh dari nilai kebudayaan kelompok lokal.
Pada dua model di atas, scientific knowledge dianggap sebagai ‘pengetahuan modern’ dianggap memiliki klaim kebenaran teori yang objektif dan universal, dibanding indigenous knowledge. Ketimpangan ini pada konteks lanjutannya berkembang pada level ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Pengaruh terhadap klaim eksklusif scientific knowledge semacam inilah yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan ideologi TNK hari ini.
Bila dilihat dari histori-geneologisnya, Ata Modo sebagai masyarakat adat di TNK telah eksis jauh sebelum misi konservasi yang dibawa oleh aktivis ekologi politik pada tahun 1970 ke wilayah tersebut. Sebelum aktifis itu datang, Ata Modo telah memiliki cara konservasi tersendiri untuk menjaga hubungannya dengan komodo, yaitu dengan menyisihkan daging hasil berburu.
Pola konservasi ekologi adat semacam itu tidak lepas dari sejarah keterhubungan sebagai saudara kembar antara Ata Modo dengan Komodo itu sendiri. Ribuan tahun sebelum misi itu datang, Ata Modo tersebar di pelbagai tempat di sekitar Kepulauan Komodo, sebelum akhirnya disatukan oleh misi konservasi pada wilayah yang sekarang dikenal dengan Desa Komodo.
Ata Modo pada lintasan sejarahnya, meyakini bahwa mereka memiliki keterkaitan dan hubungan religious dengan sebae (Komodo) serta tanah adatnya dalam entitas Kolokamba. Sebae sendiri merupakan panggilan kesayangan Ata Modo dalam melihat Komodo sebagai hubungan religious antara keduanya.
Sedangkan Kolokamba di masa lalu, merupakan tradisi yang digunakan Ata Modo dalam mempertahankan tanahnya dengan cara membenamkan tubuh kedalam tanah setinggi setengah badan – yang kemudian berkembang menjadi upacara tradisional, tarian simbolik yang menggambarkan perjuangan hidup leluhur. Oleh karena itu, Ata Modo dalam konsep spritualnya menekankan terkait pentingnya keterhubungan antara manusia dengan lingkungan yang dipandang sebagai sesama subjek – tanpa saling mendominasi.
Paradigma religious yang dipraktikkan Ata Modo kerap dianggap sebagai hal tabu oleh pemerintah, bahkan tidak diperhitungkan guna melanggengkan proyek konservasinya. Dalam tataran ekologi politik, cara demikian sepenuhnya dapat dimaklumi, mengingat zona konservasi yang ditetapkan TNK ini dilandaskan pada basis scientific knowledge, yang diorientasikan untuk mengkodifikasi alam sebagai langkah promosi proyek modernisasi wisata Komodo ke pasar dunia (Foster, 2000).