Ekologi Politik: Kontestasi Spiritual Ata Modo dalam Konservasi TNK

Jum'at, 05 Agustus 2022 - 17:23 WIB
loading...
Ekologi Politik: Kontestasi Spiritual Ata Modo dalam Konservasi TNK
TNK mendapatkan predikat Biosphere Reserves salah satunya karena mengintegrasikan keanekaragaman budaya dengan keanekaragaman hayati, terutama mengenai peran pengetahuan -ekologi adat dalam pengelolaan ekosistem. Foto/SINDOphoto
A A A
Gilang Ramadhan
Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada

PEMBANGUNAN Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai kawasan wisata alam berbasis modern cukup mendapat sorotan dan perhatian publik. Hal ini mengingat TNK selain merupakan satu-satunya habitat alami Komodo yang hingga kini masih eksis di dunia, juga merupakan salah satu the UNESCO World Network of Biosphere Reserves (1977).

TNK mendapatkan predikat Biosphere Reserves salah satunya karena mengintegrasikan keanekaragaman budaya dengan keanekaragaman hayati, terutama mengenai peran pengetahuan -ekologi adat dalam pengelolaan ekosistem.

Secara umum, terdapat dua model pengetahuan; Pertama, sistem pengetahuan modern yang berbasiskan scientific knowledge system bermula dari renaissance abad pertengahan di Eropa; Kedua, sistem pengetahuan adat yang berbasiskan indigenous knowledge systems yang dimiliki dan tumbuh dari nilai kebudayaan kelompok lokal.

Pada dua model di atas, scientific knowledge dianggap sebagai ‘pengetahuan modern’ dianggap memiliki klaim kebenaran teori yang objektif dan universal, dibanding indigenous knowledge. Ketimpangan ini pada konteks lanjutannya berkembang pada level ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Pengaruh terhadap klaim eksklusif scientific knowledge semacam inilah yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan ideologi TNK hari ini.

Bila dilihat dari histori-geneologisnya, Ata Modo sebagai masyarakat adat di TNK telah eksis jauh sebelum misi konservasi yang dibawa oleh aktivis ekologi politik pada tahun 1970 ke wilayah tersebut. Sebelum aktifis itu datang, Ata Modo telah memiliki cara konservasi tersendiri untuk menjaga hubungannya dengan komodo, yaitu dengan menyisihkan daging hasil berburu.

Pola konservasi ekologi adat semacam itu tidak lepas dari sejarah keterhubungan sebagai saudara kembar antara Ata Modo dengan Komodo itu sendiri. Ribuan tahun sebelum misi itu datang, Ata Modo tersebar di pelbagai tempat di sekitar Kepulauan Komodo, sebelum akhirnya disatukan oleh misi konservasi pada wilayah yang sekarang dikenal dengan Desa Komodo.

Ata Modo pada lintasan sejarahnya, meyakini bahwa mereka memiliki keterkaitan dan hubungan religious dengan sebae (Komodo) serta tanah adatnya dalam entitas Kolokamba. Sebae sendiri merupakan panggilan kesayangan Ata Modo dalam melihat Komodo sebagai hubungan religious antara keduanya.

Sedangkan Kolokamba di masa lalu, merupakan tradisi yang digunakan Ata Modo dalam mempertahankan tanahnya dengan cara membenamkan tubuh kedalam tanah setinggi setengah badan – yang kemudian berkembang menjadi upacara tradisional, tarian simbolik yang menggambarkan perjuangan hidup leluhur. Oleh karena itu, Ata Modo dalam konsep spritualnya menekankan terkait pentingnya keterhubungan antara manusia dengan lingkungan yang dipandang sebagai sesama subjek – tanpa saling mendominasi.

Paradigma religious yang dipraktikkan Ata Modo kerap dianggap sebagai hal tabu oleh pemerintah, bahkan tidak diperhitungkan guna melanggengkan proyek konservasinya. Dalam tataran ekologi politik, cara demikian sepenuhnya dapat dimaklumi, mengingat zona konservasi yang ditetapkan TNK ini dilandaskan pada basis scientific knowledge, yang diorientasikan untuk mengkodifikasi alam sebagai langkah promosi proyek modernisasi wisata Komodo ke pasar dunia (Foster, 2000).

Hal ini dibuktikan dengan menempatkan penilaian pasar atas pengelolaan TNK sebagai prinsip utama, sehingga cara pandang yang demikian akan menggugurkan cara pandang yang lain -cara pandang Ata Modo yang menganggap alam memiliki nilai sakral tidak mendapatkan tempat yang proporsional dalam kebijakan pengelolaan TNK. Dengan demikian, dampak dari sistem komodifikasi ini adalah menjadikan konsep konservasi alam sebagai jembatan untuk merealisasikan keuntungan.

Atas dasar itu, maka penting untuk mendudukkan kembali paradigma religious kelompok indigenous sebagai pijakan utama yang berkaitan langsung dalam aspek tataran konseptualnya.

Hubungan Ata Modo dengan lingkungannya diikat dalam jalinan yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Cara pandang masyarakat adat seperti ini secara tidak langsung melibatkan diri secara pro-aktif dan serius dalam menyuarakan perihal kelangsungan dan keberlangsungan harmonisasi kosmos.

Pandangan ini tentu berbeda dalam cara pandang religious pemerintah yang menggunakan kacamata agama dunia, Komodo hanya dipandang sebagai hewan atau satwa purba yang harus dilindungi, tidak lebih dan tidak kurang. Oleh karenanya, pandangan pemerintah semacam ini oleh Samsul Maarif melahirkan tiga aspek hirarkis: supernatural, culture, dan nature.

Maka, kompleksitas persoalan di TNK pada gilirannya bukan hanya soal menyelamatkan alam dari pengaruh aktivitas manusia, melainkan juga krisis paradigma pemerintah yang masih memandang alam sebagai objek. Krisis ini merupakan dampak dari pertentangan dua konsesus ilmiah oleh dua pemikir besar Robert Boyle dan Thomas Hobbes pada abad 17 yang kini kita sebut ‘modern’.

Meminjam perspektif Latour, bahwa memisahkan realitas menjadi alamiah/objek/non-manusia dan yang sosio-kultural/politik/manusia sebetulnya tidak pernah terjadi, sebab nyatanya yang ‘alamiah’ dan ‘sosial’ tetap bertemu dan saling berinteraksi. Cara berfikir modern yang paradoks dalam mengkotak-kotakkan inilah yang kemudian dibantah oleh Latour dengan gerakan purifikasi dibarengi hibridisasi.

Renegosiasi Agenda Konservasi
Ideologi konservasi yang digaungkan oleh TNK, bukanlah ideologi yang lahir dari ruang kosong, melainkan bersangkut paut dengan pola konservasi masa kolonial. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hubungan gerakan internasional tentang konservasi di Hindia Belanda pada masa 1800-1940.

Kaitan gerakan Konservasi Internasional dan Hindia Belanda kala itu bukanlah hubungan yang terjadi secara kebetulan, melainkan karena signifikansi pergaulan konservasi internasional para botanis seperti Trueb, Koorders dan Reinwart yang juga terkoneksi dengan Hindia Belanda (Jepson & Whittaker, 2002).

Oleh karenanya, konsep konservasi yang hari ini digunakan pemerintah merupakan warisan gerakan konservasi Hindia Belanda yang dimulai sejak tahun 1900-an. Ciri utamanya adalah berbasis science, yang kerap mengabaikan peran serta masyarakat adat.

Dalam diskursus konservasi, antara pertumbuhan ekonomi kawasan TNK dengan masyarakat adat, semakin sulit dibedakan seiring dengan pengaburan batas-batas konservasi yang dilakukan oleh pemerintah. Meski demikian, terdapat karakteristik yang tidak berubah antara keterkaitan Ata Modo dengan pemerintah, yaitu tentang dominasi itu sendiri. Dominasi dalam konteks ini merujuk kepada kontradiksi internal yang dibangun atas relasi ketimpangan akses dan kelas dalam mengelola ruang adat(Magdoff & Foster, 2011).

Dalam konteks Ata Modo, ruang-ruang adat itu salah satunya mewujud dalam bentuk tanah warisan leluhur mereka. Sebagaimana masyarakat adat pada umumnya, bagi Ata Modo, tanah bukan hanya merujuk pada tempat yang dipandang sebagai fisik saja, melainkan terdapat kompleksitas hubungan spiritual, budaya, dan sosial antarmanusia maupun antara manusia dan alam di sekitarnya. Hubungan sebagai sesama subjek semacam ini, oleh Maarif lebih mengarah pada emosional yang kompleks diikuti dengan wujud hubungan responsibility, ethics, dan reciprocity (Maarif, 2019)

Korelasi antara ketiga aspek di atas pada saatnya melahirkan identitas masyarakat adat sebagai kelompok dengan kekhasan hubungannya pada alam. Pada konteks ini, Ata Modo tetap utuh eksistensinya bila mereka berelasi dengan alam dan secara kolektif mengelolanya sebagai sebuah kesatuan spritual.

Hanya saja Ata Modo haruslah kalah pada kelompok yang mengabaikan prinsip-prinsip religious di atas sebagai parameter baru yang oleh science dianggap ‘kemajuan’. Atas nama kemajuan, science mengubah ‘ketidakteraturan’ alam menjadi ‘keteraturan’ dunia modern dengan pelbagai konsep komodifikasi serta konsekuensi yang menyertainya; ruang adat berubah menjadi objek, dan masyarakat adat tersingkirkan.

Sebuah penelitian tahun 2019 yang berjudul A global-level assessment of the effectiveness of protected areas at resisting anthropogenic pressures menunjukkan bahwa indigenous knowledge yang secara turun-temurun dipakai oleh masyarakat adat dalam mengelola lingkungannya, terbukti lebih efektif daripada program yang dijalankan oleh pemerintah/LSM/perusahaan (Geldmann, Manica, Burgess, Coad, & Balmford, 2019).

Signifikansi indigenous knowledge dalam mengelola lingkungan, oleh Michael S. Northcott dinilai memiliki tingkat kesadaran ekologi lebih tinggi dibanding dengan masyarakat modern yang selalu menitikberatkan akan pembangunan. Bagi Northcott, pemutusan hubungan religious manusia dan alam, merupakan dampak dari pengaruh rasionalitas abad pencerahan yang membuat kultur dan natur atau manusia dan alam terdikotomi antara yang satu dengan yang lain (Northcott, 2015).

Atas dasar itu, maka pengelolaan konservasi TNK, sangat penting untuk turut serta melibatkan indigenous knowledge Ata Modo, sebagai bentuk pengakuan terhadap mereka dan pada ranah lebih jauh dapat dijadikan sebagai model pengelolaan berkelanjutan. Pengelolaan ini akan memberi ruang bagi Ata Modo untuk memimpin upaya konservasi, dan memprioritaskan hak tenurial dalam mengukur sukses tidaknya konservasi.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1073 seconds (0.1#10.140)