Ekologi Politik: Kontestasi Spiritual Ata Modo dalam Konservasi TNK
loading...
A
A
A
Dalam konteks Ata Modo, ruang-ruang adat itu salah satunya mewujud dalam bentuk tanah warisan leluhur mereka. Sebagaimana masyarakat adat pada umumnya, bagi Ata Modo, tanah bukan hanya merujuk pada tempat yang dipandang sebagai fisik saja, melainkan terdapat kompleksitas hubungan spiritual, budaya, dan sosial antarmanusia maupun antara manusia dan alam di sekitarnya. Hubungan sebagai sesama subjek semacam ini, oleh Maarif lebih mengarah pada emosional yang kompleks diikuti dengan wujud hubungan responsibility, ethics, dan reciprocity (Maarif, 2019)
Korelasi antara ketiga aspek di atas pada saatnya melahirkan identitas masyarakat adat sebagai kelompok dengan kekhasan hubungannya pada alam. Pada konteks ini, Ata Modo tetap utuh eksistensinya bila mereka berelasi dengan alam dan secara kolektif mengelolanya sebagai sebuah kesatuan spritual.
Hanya saja Ata Modo haruslah kalah pada kelompok yang mengabaikan prinsip-prinsip religious di atas sebagai parameter baru yang oleh science dianggap ‘kemajuan’. Atas nama kemajuan, science mengubah ‘ketidakteraturan’ alam menjadi ‘keteraturan’ dunia modern dengan pelbagai konsep komodifikasi serta konsekuensi yang menyertainya; ruang adat berubah menjadi objek, dan masyarakat adat tersingkirkan.
Sebuah penelitian tahun 2019 yang berjudul A global-level assessment of the effectiveness of protected areas at resisting anthropogenic pressures menunjukkan bahwa indigenous knowledge yang secara turun-temurun dipakai oleh masyarakat adat dalam mengelola lingkungannya, terbukti lebih efektif daripada program yang dijalankan oleh pemerintah/LSM/perusahaan (Geldmann, Manica, Burgess, Coad, & Balmford, 2019).
Signifikansi indigenous knowledge dalam mengelola lingkungan, oleh Michael S. Northcott dinilai memiliki tingkat kesadaran ekologi lebih tinggi dibanding dengan masyarakat modern yang selalu menitikberatkan akan pembangunan. Bagi Northcott, pemutusan hubungan religious manusia dan alam, merupakan dampak dari pengaruh rasionalitas abad pencerahan yang membuat kultur dan natur atau manusia dan alam terdikotomi antara yang satu dengan yang lain (Northcott, 2015).
Atas dasar itu, maka pengelolaan konservasi TNK, sangat penting untuk turut serta melibatkan indigenous knowledge Ata Modo, sebagai bentuk pengakuan terhadap mereka dan pada ranah lebih jauh dapat dijadikan sebagai model pengelolaan berkelanjutan. Pengelolaan ini akan memberi ruang bagi Ata Modo untuk memimpin upaya konservasi, dan memprioritaskan hak tenurial dalam mengukur sukses tidaknya konservasi.
Korelasi antara ketiga aspek di atas pada saatnya melahirkan identitas masyarakat adat sebagai kelompok dengan kekhasan hubungannya pada alam. Pada konteks ini, Ata Modo tetap utuh eksistensinya bila mereka berelasi dengan alam dan secara kolektif mengelolanya sebagai sebuah kesatuan spritual.
Hanya saja Ata Modo haruslah kalah pada kelompok yang mengabaikan prinsip-prinsip religious di atas sebagai parameter baru yang oleh science dianggap ‘kemajuan’. Atas nama kemajuan, science mengubah ‘ketidakteraturan’ alam menjadi ‘keteraturan’ dunia modern dengan pelbagai konsep komodifikasi serta konsekuensi yang menyertainya; ruang adat berubah menjadi objek, dan masyarakat adat tersingkirkan.
Sebuah penelitian tahun 2019 yang berjudul A global-level assessment of the effectiveness of protected areas at resisting anthropogenic pressures menunjukkan bahwa indigenous knowledge yang secara turun-temurun dipakai oleh masyarakat adat dalam mengelola lingkungannya, terbukti lebih efektif daripada program yang dijalankan oleh pemerintah/LSM/perusahaan (Geldmann, Manica, Burgess, Coad, & Balmford, 2019).
Signifikansi indigenous knowledge dalam mengelola lingkungan, oleh Michael S. Northcott dinilai memiliki tingkat kesadaran ekologi lebih tinggi dibanding dengan masyarakat modern yang selalu menitikberatkan akan pembangunan. Bagi Northcott, pemutusan hubungan religious manusia dan alam, merupakan dampak dari pengaruh rasionalitas abad pencerahan yang membuat kultur dan natur atau manusia dan alam terdikotomi antara yang satu dengan yang lain (Northcott, 2015).
Atas dasar itu, maka pengelolaan konservasi TNK, sangat penting untuk turut serta melibatkan indigenous knowledge Ata Modo, sebagai bentuk pengakuan terhadap mereka dan pada ranah lebih jauh dapat dijadikan sebagai model pengelolaan berkelanjutan. Pengelolaan ini akan memberi ruang bagi Ata Modo untuk memimpin upaya konservasi, dan memprioritaskan hak tenurial dalam mengukur sukses tidaknya konservasi.
(poe)