'Research University' dan Tuntutan Kinerja Profesor

Selasa, 02 Agustus 2022 - 19:05 WIB
loading...
Research University...
Ali Khomsan (Foto: Ist)
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB

PADA dasarnya ada dua jenis riset yang bisa dilakukan oleh perguruan tinggi (PT). Pertama, riset yang memiliki kontribusi pada pengembangan sains dan teknologi. Hasil-hasil penelitian jenis ini harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bergengsi sehingga terjadi pertukaran wawasan iptek antarilmuwan pembaca jurnal ilmiah.

Kedua, riset yang bersifat terapan yang hasilnya perlu dipatenkan sehingga pihak industri yang memanfaatkan hasil paten tersebut diharuskan membayar. Riset-riset terapan bisa dilakukan atas kerja sama antara perguruan tinggi dengan industri, dalam hal ini perguruan tinggi menyediakan sumber daya manusia dan fasilitas riset sementara industri adalah penyedia dana utama.

Memperkuat riset di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan membentuk kolaborasi yang solid antara dosen pembimbing dengan mahasiswanya, terutama mahasiswa pascasarjana. Mahasiswa program doktor harus mampu menghasilkan riset berkualitas dengan tingkat kebaruan (novelty) yang menjadi syarat penting dalam disertasinya. Kemudian hasil penelitian tersebut harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional.

Internasionalisasi program studi di perguruan tinggi Indonesia saat ini masih berjalan tertatih-tatih. Kita masih kalah dengan universitas-universitas di ASEAN seperti Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, University of Phillipine at Los Banos, ataupun Nanyang University yang sudah banyak berhasil menjaring mahasiswa asing.

Membangun research university memang berat. Dosen yang dimiliki harus berkualitas dan mau untuk bersama-sama membangun perguruan tingginya. Pemerintah pun dituntut untuk mengalokasikan anggaran riset yang signifikan sehingga terbuka kesempatan bagi dosen-dosen untuk berlomba menyusun proposal penelitian yang bermutu.

Peran guru besar (profesor) di universitas sangat penting untuk mewujudkan research university karena mereka adalah begawan-begawan ilmu yang telah meraih jabatan tertinggi di suatu perguruan tinggi. Namun jumlah mereka tidak terlalu banyak.

Menurut data Statistik Pendidikan Tinggi 2020 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah guru besar (profesor) di Indonesia adalah 5.479 orang, sedangkan jumlah dosen secara keseluruhan adalah 312.890 orang. Jadi persentase jumlah profesor di negeri ini hanya 1,75% sehingga dapat dikatakan profesor termasuk mahluk langka di Indonesia. Meraih jabatan profesor mungkin bagi sebagian dosen dianggap sulit sehingga tidak banyak yang bisa mendapatkannya.

Lima perguruan tinggi dengan jumlah profesor terbanyak adalah Universitas Hasanudin (318), Universitas Gajah Mada (312), Universitas Indonesia (284), Universitas Airlangga (223), dan Institut Pertanian Bogor (216). Tentu saja dalam beberapa tahun terakhir ada penambahan jumlah guru besar di lima perguruan tinggi tersebut dan ada juga yang pensiun.

Gambaran profesor yang berkepala botak, rambut beruban, berkacamata tebal, dan berjalan tertatih-tatih karena umur tua sering kita lihat dalam komik fiksi ilmiah. Namun kini banyak profesor yang berpenampilan muda dan memang umurnya masih muda. Beberapa dosen dapat meraih jabatan profesor sebelum usia 40 tahun atau banyak yang di kisaran umur 40-50 tahun.

Jabatan dosen memiliki strata mulai dari asisten ahli (dengan angka kredit atau kum 150), lektor (kum 200-300), lektor kepala (kum 400-700), dan yang tertinggi profesor (kum 850-1050). Menjadi profesor bukan sekadar mengumpulkan kum karya ilmiah, tetapi juga kum pendidikan, pengabdian pada masyarakat, dan kum kegiatan penunjang (tridarma perguruan tinggi).

Porsi karya ilmiah bagi dosen yang akan naik pangkat menjadi profesor adalah 45%. Ini menunjukkan besarnya peran calon profesor dan setelah menjadi profesor dalam riset yag secara tidak langsung berkontribusi pada pembentukan research university.

Seorang dosen harus memiliki publikasi dalam jurnal ilmiah internasional bereputasi untuk menjadi seorang profesor dari jabatan sebelumnya lektor kepala. Ini artinya calon profesor harus terlebih dahulu melakukan penelitian yang baik, bermutu, dan kemudian hasilnya layak dipublikasikan dalam jurnal internasional.

Untuk melakukan penelitian, dosen dapat mengajukan proposal riset pada Kemendikbudristek atau lembaga-lembaga yang memberi hibah riset. Persaingan sungguh ketat karena dana riset diperebutkan oleh banyak dosen se-Indonesia. Kalau dosen-dosen dapat memperoleh dana per kegiatan penelitian rata-rata Rp300 juta, publikasi yang bermutu dan layak terpublikasikan di jurnal internasional mungkin dapat diraih.

Namun bila dana riset terlalu kecil dan sekadar untuk pemerataan penelitian agar lebih banyak dosen meneliti, yang lahir hanyalah iptek-iptek dangkal. Riset yang baik memerlukan dana besar.

Salah satu indikator research university adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat di jurnal internasional. Seorang profesor berkewajiban setiap tiga tahun harus menulis satu karya buku ajar/buku referensi dan tiga karya ilmiah di jurnal internasional. Ini menyiratkan adanya upaya serius pemerintah yang mendorong setiap profesor untuk berkarya dan membangun perguruan tinggi bermutu.

Publikasi ilmiah Indonesia bergerak secara eksponensial sejak beberapa tahun terakhir hingga mencapai puncaknya pertengahan 2019, Indonesia berhasil merajai ASEAN dalam hal publikasi ilmiah untuk 2018. Ini semua membuktikan bahwa Kemendikbud serius dalam memperbaiki iklim riset Indonesia. Pada 2018 berdasarkan data di Scopus dosen/ilmuwan Indonesia telah memublikasikan karya ilmiah berjumlah 34.007, sementara Malaysia di peringkat kedua dengan jumlah publikasi sebanyak 33.286.

Sebelumnya Indonesia selalu berada di nomor empat di Asia Tenggara dan kemudian berhasil menggeser Malaysia serta menjadi nomor satu di Asia Tenggara.

Dengan kalkulasi kasar saya menghitung, bila untuk memublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmiah internasional bereputasi memerlukan biaya Rp20 juta–40 juta per artikel, maka pada 2018 dengan jumlah publikasi 34.007 artikel, dosen/ilmuwan Indonesia “terpaksa” harus mengeluarkan biaya Rp680.140.000.000–1.360.280.000.000.

Hal yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah bahwa penelitian dosen masih dibebani dengan urusan administrasi pertanggungjawaban keuangan yang rumit. Peneliti tidak hanya harus berpikir keras tentang bagaimana kualitas data risetnya, dia juga harus terampil mengelola urusan kwitansi dana riset yang harus dilaporkan kepada institusinya.

Sejatinya sejak 2017, peneliti tidak lagi disibukkan membuat laporan keuangan penelitian yang rumit. Bila dulu kegiatan penelitian masuk ke dalam materi Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (B/J), terhitung sejak 2017 penelitian tidak lagi masuk dalam pengadaan B/J. Apakah benar peneliti sekarang bisa fokus pada substansi penelitiannya dan tidak lagi dibebani laporan keuangan yang njlimet? Wallahu a’lam.

Baca Juga: koran-sindo.com

(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0968 seconds (0.1#10.140)