Menakar Investasi yang Dibutuhkan
loading...
A
A
A
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
Keterpurukan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19 tak dapat dihindari. Kini perlahan Indonesia berusaha bangkit melawan dampak pandemi. Upaya pemerintah saat ini selain menahan jangan sampai konsumsi rumah tangga drop melalui bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan lain, adalah menarik penanaman modal asing (PMA) sebanyak mungkin untuk masuk ke Indonesia. Apalagi melihat banyak industri dengan pandemi yang terjadi di China, investasi mulai berpindah lokasi ke negara-negara lain.
Tentu ini menjadi peluang besar bagi Indonesia, selain untuk Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Karena itu, berbagai kemudahan prosedur perizinan, pembangunan jaringan infrastruktur darat, laut, serta fasilitas perpajakan yang lebih ramah pada pengusaha terus diupayakan. Bahkan untuk menurunkan biaya logistik yang sebelumnya sangat mahal, sekitar 23,5% PDB, pemerintah telah mengeluarkan perpres untuk menekan biaya logistik tersebut dengan menerapkan NLE (National Logistic Ecosystem) yang merubah secara mendasar terutama dengan penerapan teknologi pada sistem transportasi, pergudangan. (Baca: Ratusan Komisaris BUMN Masih Rangkap Jabatan, Ombudsman: Bikin Boros!)
Seiring dengan upaya pemerintah dalam memberikan kemudahan prosedur perizinan untuk menarik PMA, nyatanya berdasarkan informasi yang beredar para investor asing masih lebih tertarik untuk melabuhkan investasinya di negara lain. Alasan investor enggan berinvestasi di Indonesia bukan hanya sekadar permasalahan iklim investasi, melainkan juga karena keterbukaan Indonesia terhadap PMA tidak sejalan dengan keterbukaan Indonesia terhadap tenaga kerja asing (TKA). Pasalnya, tak sedikit pekerja asing, salah satunya dari Jepang, yang mengeluhkan kesulitan dalam mengambil visa kerja. Persyaratan dan prosedurnya yang semakin ketat, kerap berubah-ubah, hingga pengawasan yang semakin ketat terhadap orang asing menjadi pertimbangan kenyamanan bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Beban Ekonomi Indonesia
Harus kita akui bahwa dampak ekonomi dari pandemi yang dihadapi Indonesia sangat berat. Pemerintah terus berupaya menahan ancaman kemerosotan ekonomi yang mungkin akan terus terjadi. Hal ini nanti bisa kita lihat pada capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II. Beberapa lembaga sudah memprediksi bahwa capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia akan negatif, ada yang sangat dalam dan ada yang tidak terlalu dalam.
Menyikapi semua prediksi tersebut, pemerintah berusaha mengantisipasi dengan ekspansi fiskal yang sangat besar. Total dana yang disediakan untuk kesehatan, perlindungan sosial, sektoral K/L dan pemda, UMKM, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha sebesar Rp695,20 triliun. Tentu saja, pendanaan yang disediakan tersebut menuntut ada realisasi yang cepat, tepat, dan benar (sesuai tata kelola). (Baca juga: Sebanyak 2,4 Juta Anak Yaman terancam Kelaparan)
Kalau melihat laporan Badan Pusat Statistik (BPS), beberapa hal yang menyebabkan penurunan yang dalam pada capaian pertumbuhan ekonomi adalah penurunan tingkat pendapatan masyarakat, penurunan sektor industri pengolahan, penurunan sektor perdagangan, penurunan jumlah penumpang pesawat, penurunan ekspor, penurunan harga komoditi utama ekspor (kelapa sawit) serta penurunan jumlah iklan.
Walau begitu, kita juga perlu menyadari penurunan sektor-sektor tersebut di atas berdasarkan survei yang dilakukan pada bulan April dan Mei, saat di beberapa pusat pertumbuhan sedang diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), termasuk di dalamnya Jakarta, Surabaya, Bandung, Jawa Tengah, termasuk Bali. Kita tentu berharap setelah adanya pelonggaran, di mana beberapa daerah tersebut sudah mulai relaksasi pembukaan daerahnya di awal atau pertengahan Juni 2020. Akan sangat baik jika BPS melakukan survei lanjutan pada bulan Juli, untuk memitigasi penurunan tersebut sekaligus memperbaiki strategi kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
Antara Investasi dan Tenaga Kerja Asing
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
Keterpurukan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19 tak dapat dihindari. Kini perlahan Indonesia berusaha bangkit melawan dampak pandemi. Upaya pemerintah saat ini selain menahan jangan sampai konsumsi rumah tangga drop melalui bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan lain, adalah menarik penanaman modal asing (PMA) sebanyak mungkin untuk masuk ke Indonesia. Apalagi melihat banyak industri dengan pandemi yang terjadi di China, investasi mulai berpindah lokasi ke negara-negara lain.
Tentu ini menjadi peluang besar bagi Indonesia, selain untuk Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Karena itu, berbagai kemudahan prosedur perizinan, pembangunan jaringan infrastruktur darat, laut, serta fasilitas perpajakan yang lebih ramah pada pengusaha terus diupayakan. Bahkan untuk menurunkan biaya logistik yang sebelumnya sangat mahal, sekitar 23,5% PDB, pemerintah telah mengeluarkan perpres untuk menekan biaya logistik tersebut dengan menerapkan NLE (National Logistic Ecosystem) yang merubah secara mendasar terutama dengan penerapan teknologi pada sistem transportasi, pergudangan. (Baca: Ratusan Komisaris BUMN Masih Rangkap Jabatan, Ombudsman: Bikin Boros!)
Seiring dengan upaya pemerintah dalam memberikan kemudahan prosedur perizinan untuk menarik PMA, nyatanya berdasarkan informasi yang beredar para investor asing masih lebih tertarik untuk melabuhkan investasinya di negara lain. Alasan investor enggan berinvestasi di Indonesia bukan hanya sekadar permasalahan iklim investasi, melainkan juga karena keterbukaan Indonesia terhadap PMA tidak sejalan dengan keterbukaan Indonesia terhadap tenaga kerja asing (TKA). Pasalnya, tak sedikit pekerja asing, salah satunya dari Jepang, yang mengeluhkan kesulitan dalam mengambil visa kerja. Persyaratan dan prosedurnya yang semakin ketat, kerap berubah-ubah, hingga pengawasan yang semakin ketat terhadap orang asing menjadi pertimbangan kenyamanan bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Beban Ekonomi Indonesia
Harus kita akui bahwa dampak ekonomi dari pandemi yang dihadapi Indonesia sangat berat. Pemerintah terus berupaya menahan ancaman kemerosotan ekonomi yang mungkin akan terus terjadi. Hal ini nanti bisa kita lihat pada capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II. Beberapa lembaga sudah memprediksi bahwa capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia akan negatif, ada yang sangat dalam dan ada yang tidak terlalu dalam.
Menyikapi semua prediksi tersebut, pemerintah berusaha mengantisipasi dengan ekspansi fiskal yang sangat besar. Total dana yang disediakan untuk kesehatan, perlindungan sosial, sektoral K/L dan pemda, UMKM, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha sebesar Rp695,20 triliun. Tentu saja, pendanaan yang disediakan tersebut menuntut ada realisasi yang cepat, tepat, dan benar (sesuai tata kelola). (Baca juga: Sebanyak 2,4 Juta Anak Yaman terancam Kelaparan)
Kalau melihat laporan Badan Pusat Statistik (BPS), beberapa hal yang menyebabkan penurunan yang dalam pada capaian pertumbuhan ekonomi adalah penurunan tingkat pendapatan masyarakat, penurunan sektor industri pengolahan, penurunan sektor perdagangan, penurunan jumlah penumpang pesawat, penurunan ekspor, penurunan harga komoditi utama ekspor (kelapa sawit) serta penurunan jumlah iklan.
Walau begitu, kita juga perlu menyadari penurunan sektor-sektor tersebut di atas berdasarkan survei yang dilakukan pada bulan April dan Mei, saat di beberapa pusat pertumbuhan sedang diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), termasuk di dalamnya Jakarta, Surabaya, Bandung, Jawa Tengah, termasuk Bali. Kita tentu berharap setelah adanya pelonggaran, di mana beberapa daerah tersebut sudah mulai relaksasi pembukaan daerahnya di awal atau pertengahan Juni 2020. Akan sangat baik jika BPS melakukan survei lanjutan pada bulan Juli, untuk memitigasi penurunan tersebut sekaligus memperbaiki strategi kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
Antara Investasi dan Tenaga Kerja Asing