Stimulus Pajak untuk COVID-19
loading...
A
A
A
Prof. Dr. John Hutagaol
Ketua KAPj IAI/Direktur PerpajakanInternasional Ditjen Pajak
Coronavirus disease (COVID-19) yang timbul di akhir tahun 2019 di Wuhan, Tiongkok, kemudian dalam jangka waktu relatif singkat kini sudah mewabah ke belahan dunia lainnya dan mengakibatkan penderitaan bagi umat manusia di dunia. Dampaknya bukan hanya pada kesehatan manusia, tetapi juga dirasakan pada perekonomian secara keseluruhan karena hampir seluruh sektor usaha mengalami tekanan besar.
Di Indonesia, COVID-19 sudah dianggap menjadi bencana nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, baik secara global maupun nasional. Secara global, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan negatif hingga 3% pada 2020 atau mengalami penurunan 6,3%. Melemahnya pertumbuhan ekonomi global tersebut karena tekanan yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi ke-4 pilar ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.
Tiongkok untuk pertama kalinya mengalami kontraksi dengan pertumbuhan ekonomi negatif 6,8% pada kuartal pertama tahun 2020, walaupun pada akhir tahun 2020 diperkirakan kembali tumbuh positif sekitar 1,2%. Nasib yang sama juga dialami ketiga pilar ekonomi dunia lainnya. IMF memprediksi lonjakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2021 menjadi 5,8%.
Sebaliknya, perkonomian Indonesia walaupun mengalami tekanan hebat diprakirakan akan tetap bertumbuh positif pada 2020 namun lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya. Dalam memitigasi risiko dampak pandemi COVID-19, hampir seluruh negara/yurisdiksi di dunia memberikan stimulus ekonomi berupa kebijakan moneter dan fiskal untuk meningkatkan daya tahan dunia usaha. Paket kebijakan stimulus ekonomi bertujuan untuk memberikan keringanan, kemudahan, dan likuiditas sehingga bisa meringankan beban pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi yang sulit ini.
Untuk mengatasi pandemi COVID-19 secara global dibutuhkan kerja sama internasional dan anggaran besar. IMF memperkirakan total stimulus yang digelontorkan ke berbagai negara mencapai USD8 triliun, tapi USD7 triliun di antaranya digelontorkan oleh negara-negara G20. Pemerintah Amerika Serikat telah mengumumkan menyediakan anggaran USD2 triliun untuk menangani pandemi COVID-19. Dalam kebijakan fiskal, instrumen pajak sebagai fungsi regulerend lazim digunakan dalam memberikan stimulus untuk kegiatan perekonomian dan investasi di suatu negara melalui instrumen insentif pajak, antara lain pembebasan pajak, penurunan tarif pajak, percepatan penyusutan atau amortisasi, perpanjangan waktu kompensasi kerugian, dan lainnya. Misalnya, kebijakan tax holiday, tax allowance , dan super deduction .
Terkait dengan dampak COVID-19, pemerintah memberikan insentif pajak yang meringankan beban Wajib Pajak badan dan orang pribadi berupa pembebasan pajak, penurunan tarif pajak, pengurangan beban pajak, dan relaksasi pelayanan pajak termasuk memperpanjang batas jatuh tempo pelayanan, penundaan penyampaian SPT PPh OP 1770 maupun penyederhanaan kelengkapan keterangan dan/atau dokumen yang wajib dilampirkan dalam SPT PPh Badan 1771.
Sasaran insentif pajak lebih ditujukan kepada pelaku usaha dan pekerja di sektor-sektor usaha paling merasakan dampak Covid-19 selain diarahkan untuk mendukung penyediaan obat-obatan, peralatan medis, dan sarana pendukung lainnya, yang dibutuhkan untuk mengatasi Covid-19. Harapannya, tax expenditure berupa pemberian insentif pajak tersebut tepat sasaran.
Secara garis besar, terdapat tiga insentif pajak yang diterbitkan pemerintah. Pertama , pada 23 Maret 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 dalam memberikan fasilitas PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk karyawan, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30%. Selain itu, pemerintah memberikan fasilitas percepatan restitusi PPN untuk membantu likuiditas Wajib Pajak.
Ketua KAPj IAI/Direktur PerpajakanInternasional Ditjen Pajak
Coronavirus disease (COVID-19) yang timbul di akhir tahun 2019 di Wuhan, Tiongkok, kemudian dalam jangka waktu relatif singkat kini sudah mewabah ke belahan dunia lainnya dan mengakibatkan penderitaan bagi umat manusia di dunia. Dampaknya bukan hanya pada kesehatan manusia, tetapi juga dirasakan pada perekonomian secara keseluruhan karena hampir seluruh sektor usaha mengalami tekanan besar.
Di Indonesia, COVID-19 sudah dianggap menjadi bencana nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, baik secara global maupun nasional. Secara global, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan negatif hingga 3% pada 2020 atau mengalami penurunan 6,3%. Melemahnya pertumbuhan ekonomi global tersebut karena tekanan yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi ke-4 pilar ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.
Tiongkok untuk pertama kalinya mengalami kontraksi dengan pertumbuhan ekonomi negatif 6,8% pada kuartal pertama tahun 2020, walaupun pada akhir tahun 2020 diperkirakan kembali tumbuh positif sekitar 1,2%. Nasib yang sama juga dialami ketiga pilar ekonomi dunia lainnya. IMF memprediksi lonjakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2021 menjadi 5,8%.
Sebaliknya, perkonomian Indonesia walaupun mengalami tekanan hebat diprakirakan akan tetap bertumbuh positif pada 2020 namun lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya. Dalam memitigasi risiko dampak pandemi COVID-19, hampir seluruh negara/yurisdiksi di dunia memberikan stimulus ekonomi berupa kebijakan moneter dan fiskal untuk meningkatkan daya tahan dunia usaha. Paket kebijakan stimulus ekonomi bertujuan untuk memberikan keringanan, kemudahan, dan likuiditas sehingga bisa meringankan beban pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi yang sulit ini.
Untuk mengatasi pandemi COVID-19 secara global dibutuhkan kerja sama internasional dan anggaran besar. IMF memperkirakan total stimulus yang digelontorkan ke berbagai negara mencapai USD8 triliun, tapi USD7 triliun di antaranya digelontorkan oleh negara-negara G20. Pemerintah Amerika Serikat telah mengumumkan menyediakan anggaran USD2 triliun untuk menangani pandemi COVID-19. Dalam kebijakan fiskal, instrumen pajak sebagai fungsi regulerend lazim digunakan dalam memberikan stimulus untuk kegiatan perekonomian dan investasi di suatu negara melalui instrumen insentif pajak, antara lain pembebasan pajak, penurunan tarif pajak, percepatan penyusutan atau amortisasi, perpanjangan waktu kompensasi kerugian, dan lainnya. Misalnya, kebijakan tax holiday, tax allowance , dan super deduction .
Terkait dengan dampak COVID-19, pemerintah memberikan insentif pajak yang meringankan beban Wajib Pajak badan dan orang pribadi berupa pembebasan pajak, penurunan tarif pajak, pengurangan beban pajak, dan relaksasi pelayanan pajak termasuk memperpanjang batas jatuh tempo pelayanan, penundaan penyampaian SPT PPh OP 1770 maupun penyederhanaan kelengkapan keterangan dan/atau dokumen yang wajib dilampirkan dalam SPT PPh Badan 1771.
Sasaran insentif pajak lebih ditujukan kepada pelaku usaha dan pekerja di sektor-sektor usaha paling merasakan dampak Covid-19 selain diarahkan untuk mendukung penyediaan obat-obatan, peralatan medis, dan sarana pendukung lainnya, yang dibutuhkan untuk mengatasi Covid-19. Harapannya, tax expenditure berupa pemberian insentif pajak tersebut tepat sasaran.
Secara garis besar, terdapat tiga insentif pajak yang diterbitkan pemerintah. Pertama , pada 23 Maret 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 dalam memberikan fasilitas PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk karyawan, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30%. Selain itu, pemerintah memberikan fasilitas percepatan restitusi PPN untuk membantu likuiditas Wajib Pajak.