Peluang dan Tantangan NIK sebagai NPWP di Era Bonus Demografi
loading...
A
A
A
Galih Ardin
Praktisi Perpajakan
Pemerintah bulan lalu resmi merilis aturan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-112/PMK.03/2022, Pemerintah mengatur bahwa terhitung sejak 14 Juli 2022, Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk dapat menggunakan NIK sebagai NPWP.
Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur bahwa Wajib Pajak bukan penduduk, Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah dapat menggunakan NPWP dengan format 16 digit.
Sebelumnya, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pemerintah mengatur bahwa NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia adalah dengan menggunakan NIK.
Lebih lanjut, di dalam Undang–Undang tersebut juga disebutkan bahwa dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri wajib memberikan data kependudukan dan data balikan kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.
Bukan tanpa alasan Pemerintah menetapkan NIK sebagai NPWP. Berdasarkan konsiderans PMK-112 diketahui bahwa salah satu alasan diterapkannya kebijakan tersebut adalah untuk memberikan kesetaraan pelayanan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Selain itu, kebijakan ini juga diambil untuk mendukung kebijakan satu data di Indonesia.
Namun demikian, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut bukan tanpa tantangan. Tingginya jumlah penduduk, besarnya jumlah angkatan kerja dan isu keamanan dalam proses integrasi NIK dengan NPWP menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2020 adalah sebesar 271,35 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebanyak 33,51 juta jiwa dibandingkan dengan sensus penduduk 2010 (BPS, 2021). Perlu diketahui bahwa sebanyak 70,72% penduduk Indonesia merupakan angkatan kerja yang berusia antara 15 - 64 tahun.
Tingginya jumlah penduduk usia produktif ini disebabkan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Menurut Boediono (2016) bonus demografi adalah kondisi di mana suatu negara mempunyai penduduk usia produktif yang lebih besar daripada kelompok penduduk usia lainnya.
Kondisi bonus demografi ini merupakan berkah sekaligus tantangan bagi proses integrasi NIK menjadi NPWP. Bagaimana tidak, dengan postur demografi yang didominasi oleh angkatan kerja maka dapat diasumsikan bahwa sebagian besar pemilik NPWP ke depan merupakan penduduk berpenghasilan. Sehingga, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan meningkatkan jumlah Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan pajak. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik terutama dalam pelayanan perpajakan.
Namun, perlu diingat bahwa peningkatan jumlah Wajib Pajak yang sedemikian besar secara logis akan diikuti dengan peningkatan beban administratif. Sebagaimana diketahui bahwa sampai 2020, jumlah Wajib Pajak yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah sebesar 46,38 juta yang terdiri atas 42,30 juta Wajib Pajak Orang Pribadi, 3,56 juta Wajib Pajak Badan dan 518.000 Wajib Pajak Bendaharawan (DJP, 2021).
Praktisi Perpajakan
Pemerintah bulan lalu resmi merilis aturan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-112/PMK.03/2022, Pemerintah mengatur bahwa terhitung sejak 14 Juli 2022, Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk dapat menggunakan NIK sebagai NPWP.
Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur bahwa Wajib Pajak bukan penduduk, Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah dapat menggunakan NPWP dengan format 16 digit.
Sebelumnya, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pemerintah mengatur bahwa NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia adalah dengan menggunakan NIK.
Lebih lanjut, di dalam Undang–Undang tersebut juga disebutkan bahwa dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri wajib memberikan data kependudukan dan data balikan kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.
Bukan tanpa alasan Pemerintah menetapkan NIK sebagai NPWP. Berdasarkan konsiderans PMK-112 diketahui bahwa salah satu alasan diterapkannya kebijakan tersebut adalah untuk memberikan kesetaraan pelayanan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Selain itu, kebijakan ini juga diambil untuk mendukung kebijakan satu data di Indonesia.
Namun demikian, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut bukan tanpa tantangan. Tingginya jumlah penduduk, besarnya jumlah angkatan kerja dan isu keamanan dalam proses integrasi NIK dengan NPWP menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2020 adalah sebesar 271,35 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebanyak 33,51 juta jiwa dibandingkan dengan sensus penduduk 2010 (BPS, 2021). Perlu diketahui bahwa sebanyak 70,72% penduduk Indonesia merupakan angkatan kerja yang berusia antara 15 - 64 tahun.
Tingginya jumlah penduduk usia produktif ini disebabkan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Menurut Boediono (2016) bonus demografi adalah kondisi di mana suatu negara mempunyai penduduk usia produktif yang lebih besar daripada kelompok penduduk usia lainnya.
Kondisi bonus demografi ini merupakan berkah sekaligus tantangan bagi proses integrasi NIK menjadi NPWP. Bagaimana tidak, dengan postur demografi yang didominasi oleh angkatan kerja maka dapat diasumsikan bahwa sebagian besar pemilik NPWP ke depan merupakan penduduk berpenghasilan. Sehingga, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan meningkatkan jumlah Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan pajak. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik terutama dalam pelayanan perpajakan.
Namun, perlu diingat bahwa peningkatan jumlah Wajib Pajak yang sedemikian besar secara logis akan diikuti dengan peningkatan beban administratif. Sebagaimana diketahui bahwa sampai 2020, jumlah Wajib Pajak yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah sebesar 46,38 juta yang terdiri atas 42,30 juta Wajib Pajak Orang Pribadi, 3,56 juta Wajib Pajak Badan dan 518.000 Wajib Pajak Bendaharawan (DJP, 2021).