Titik Nol Peradaban
loading...
A
A
A
Selama 1980-an dan 1990-an para peneliti telah mengingatkan seluruh pihak untuk mewaspadai gerakan ini dan fenomena bergesernya gerakan keagamaan ini dari Islam dakwah ke Islam politik. Misalnya, James J Fox dalamCurrents in Contemporary Islam in Indonesia(2004), menjelaskan puncak gerakan Islam ini dimulai pada 1998, ketika bangsa memasuki kebebasan berpendapat dan berserikat.
Situasi ini memberikan kesempatan untuk mendirikan ormas keagamaan dan organisasi politik, mendorong para aktivis dan pemikir kelompok ini masuk birokrasi, anggota Polri dan TNI, dan jadi kekuatan baru di kampus-kampus umum dan Islam di luar HMI, PMII, dan IMM. Lembaga yang didirikannya, misalnya di lembaga-lembaga dakwah kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS).
Dalam penelitian ini Fox menggambarkan sebagai “board spectrum”, yang memperlihatkan bahwa gerakan ini telah memiliki spektrum yang luas dalam konteks keragaman historis di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya memperkuat jangkauan wilayah gerakan, tetapi juga pada saat bersamaan meneguhkan kekuatan gerakan yang mampu menembus (penetrasi) ke paham-paham keagamaan lain yang selama ini mengakar di Indonesia.
Lahirnya simbol keagamaan berada di ruang publik semakin massif dan sulit dikendalikan. Akibatnya, mengidentifikasi antara kelompok Islam ekstrem dan Islam moderat dalam konteks masa kini tidak mudah.
Shmuel Bar, dalamThe Religious Sources of Islamic Terrorism(2004), menyebutkan keberhasilan membangun kekuatan secara apik, mulai dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Kekuatan ini juga muncul dari tingkat bawah masyarakat (grassroot) hingga pemerintahan sehingga menjadikan kelompok moderat menghadapi dilema cukup pelik berupa sulitnya menyanggah argumen tafsir agama yang dikembangkan dan keengganan untuk—atau bahkan larangan—menghasutIslamic Kulturkampf(Islamic Cultur War) yang akan memecah belah barisan umat.
Penjelasan berikutnya digambarkan oleh Kevin van Bladel dalamA Brief History of Islamic Civilization from Its Genesis in the Late Nineteenth Century to Its Institutional Entrenchment(2020). Dijelaskan bahwa ada diksi yang tepat ketika kelompok ini lebih memilih kata “Islam” daripada kata “Arab” seperti gerakan keagamaan pada abad ke-19.
Ini karena Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga sebuah kerajaan dan teori politik. Penggabungan ini untuk menjadikan Islam sebagai peradaban kesatuan (Einheitszivilisation) yang, meskipun ada variasi lokal, memiliki jejak yang seragam di setiap tempat keberadaannya baik ekologi, ekonomi, adat-istiadat, atau bahasa.
Kembali ke persoalan awal, salah satu peserta bertanya, apakah moderasi beragama merupakan program kolaborasi pemerintah dengan Islam Nusantara NU? Penulis menyampaikan bahwa moderasi beragama merupakan upaya pemerintah untuk menghadirkan Islam ramah, sebagaimana NU dan Islam Nusantaranya, dan Muhammadiyah dan Islam Berkemajuannya. Pemerintah telah menetapkan bahwa moderasi beragama adalah titik nol sebagai perjuangan bersama untuk membangun peradaban (zero point of civilization) baik tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai catatan akhir, sejumlah tokoh yang mampu mencegah gerakan ini adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui gerakan pesantren dan tradisionalnya, Nurcholish Madjid dengan pemikiran Islam dan sekularismenya, dan Ahmad Syafii Maarif lewat gerakantajdid(pembaruan) Islam. Nama-nama ini merupakan penarik gerbong besar pemikiran Islam yang selalu memunculkan gagasan baru dan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pas dengan budaya dan sosial Indonesia.
Martin van Bruinessen dan Farid Wajidi (2006) mendefinisikan sebagai “better-educatedpesantren” bahwa Islam tradisionalis di lingkungan pesantren, yang dulunya konservatif secara sosial dan budaya, secara paradoks telah melahirkan gerakan progresif reformasi sosial dan keagamaan yang lebih dekat ke akar rumput daripada kebanyakan lainnya. Aspek yang paling menonjol dari gerakan progresif ini adalah peran kiai, ide-ide, dan cita-citanya serta intervensi sosialnya yang memberikan legitimasi sosial efektif.
Situasi ini memberikan kesempatan untuk mendirikan ormas keagamaan dan organisasi politik, mendorong para aktivis dan pemikir kelompok ini masuk birokrasi, anggota Polri dan TNI, dan jadi kekuatan baru di kampus-kampus umum dan Islam di luar HMI, PMII, dan IMM. Lembaga yang didirikannya, misalnya di lembaga-lembaga dakwah kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS).
Dalam penelitian ini Fox menggambarkan sebagai “board spectrum”, yang memperlihatkan bahwa gerakan ini telah memiliki spektrum yang luas dalam konteks keragaman historis di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya memperkuat jangkauan wilayah gerakan, tetapi juga pada saat bersamaan meneguhkan kekuatan gerakan yang mampu menembus (penetrasi) ke paham-paham keagamaan lain yang selama ini mengakar di Indonesia.
Lahirnya simbol keagamaan berada di ruang publik semakin massif dan sulit dikendalikan. Akibatnya, mengidentifikasi antara kelompok Islam ekstrem dan Islam moderat dalam konteks masa kini tidak mudah.
Shmuel Bar, dalamThe Religious Sources of Islamic Terrorism(2004), menyebutkan keberhasilan membangun kekuatan secara apik, mulai dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Kekuatan ini juga muncul dari tingkat bawah masyarakat (grassroot) hingga pemerintahan sehingga menjadikan kelompok moderat menghadapi dilema cukup pelik berupa sulitnya menyanggah argumen tafsir agama yang dikembangkan dan keengganan untuk—atau bahkan larangan—menghasutIslamic Kulturkampf(Islamic Cultur War) yang akan memecah belah barisan umat.
Penjelasan berikutnya digambarkan oleh Kevin van Bladel dalamA Brief History of Islamic Civilization from Its Genesis in the Late Nineteenth Century to Its Institutional Entrenchment(2020). Dijelaskan bahwa ada diksi yang tepat ketika kelompok ini lebih memilih kata “Islam” daripada kata “Arab” seperti gerakan keagamaan pada abad ke-19.
Ini karena Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga sebuah kerajaan dan teori politik. Penggabungan ini untuk menjadikan Islam sebagai peradaban kesatuan (Einheitszivilisation) yang, meskipun ada variasi lokal, memiliki jejak yang seragam di setiap tempat keberadaannya baik ekologi, ekonomi, adat-istiadat, atau bahasa.
Kembali ke persoalan awal, salah satu peserta bertanya, apakah moderasi beragama merupakan program kolaborasi pemerintah dengan Islam Nusantara NU? Penulis menyampaikan bahwa moderasi beragama merupakan upaya pemerintah untuk menghadirkan Islam ramah, sebagaimana NU dan Islam Nusantaranya, dan Muhammadiyah dan Islam Berkemajuannya. Pemerintah telah menetapkan bahwa moderasi beragama adalah titik nol sebagai perjuangan bersama untuk membangun peradaban (zero point of civilization) baik tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai catatan akhir, sejumlah tokoh yang mampu mencegah gerakan ini adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui gerakan pesantren dan tradisionalnya, Nurcholish Madjid dengan pemikiran Islam dan sekularismenya, dan Ahmad Syafii Maarif lewat gerakantajdid(pembaruan) Islam. Nama-nama ini merupakan penarik gerbong besar pemikiran Islam yang selalu memunculkan gagasan baru dan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pas dengan budaya dan sosial Indonesia.
Martin van Bruinessen dan Farid Wajidi (2006) mendefinisikan sebagai “better-educatedpesantren” bahwa Islam tradisionalis di lingkungan pesantren, yang dulunya konservatif secara sosial dan budaya, secara paradoks telah melahirkan gerakan progresif reformasi sosial dan keagamaan yang lebih dekat ke akar rumput daripada kebanyakan lainnya. Aspek yang paling menonjol dari gerakan progresif ini adalah peran kiai, ide-ide, dan cita-citanya serta intervensi sosialnya yang memberikan legitimasi sosial efektif.