Ethiopia Kagumi Keberhasilan Program Moderasi Beragama di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Program Moderasi Beragama di Indonesia mendapatkan apresiasi positif banyak pihak. Lewat Moderasi Beragama, Indonesia dinilai berhasil menjaga persatuan bangsa di tengah keragaman agama dan keyakinan penduduknya.
Apresiasi positif itu terpotret dalam gelaran Indonesia- Ethiopia Interfaith Dialogue yang berlangsung di Hawassa, Ethiopia, Senin (5/8/2024). Kegiatan yang digelar oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Addis Ababa dan Kementerian Agama (Kemenag) RI ini menghadirkan para pimpinan pemerintah dan tokoh-tokoh agama di negeri tertua di dunia tersebut. Hadir pula para akademisi, pimpinan adat, tokoh pemuda, aktivis perempuan, dan perwakilan media massa.
Delegasi Indonesia yang hadir dalam kegiatan bertema 'Diplomacy of Religious Moderation to Build Interfaith Dialogue' antara lain Kepala Balitbang Diklat Kemenag Prof Suyitno, Dubes RI untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika Al Busyra Basnur, Kepala Biro Kepegawaian Kemenag Wawan Junaidi, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung Prof Rosihon Anwar, Rektor IAKN Manado Dr Olivia Cherly Wuwungan, Rektor UHN Sugriwa Bali Prof I Gusti Ngurah Sudiana Kepala STAKN Pontianak Dr Sunarso, dan Kepala STABN Raden Wijaya Wonogiri Dr Sulaiman Girivirya.
Di depan ratusan peserta dialog, Prof Suyitno mengungkapkan, Indonesia adalah negara besar dengan agama dan kepercayaan yang sangat beragam. Namun perbedaan tidak menjadi alasan untuk saling memusuhi satu dengan yang lain. Dengan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama secara moderat, semua penduduk justru bisa bersatu dalam bingkai persaudaraan dan kebersamaan.
"Untuk bisa menyatukan itu Indonesia memiliki lima prinsip untuk hidup harmoni dan menjadi dasar negara yaitu Pancasila. Indonesia juga memiliki semboyan bangsa, yakni Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna Bersatu Dalam Perbedaan. Prinsip dan semboyan bangsa ini bisa jadi model dalam merajut persatuan bagi dunia termasuk di Ethiopia," ujarnya.
Prof Suyitno meyakini Ethiopia sebagai negara besar dengan penduduk yang beragam juga memiliki dasar-dasar yang disepakati. Agar terwujud hidup yang damai dan harmoni, konsensus bersama tersebut harus dijunjung tinggi dengan mengedepankan sikap saling memahami dan menghormati di antara pemeluk agama.
"Maka kuncinya adalah dialog, dialog, dan dialog. Dialog menjadi penting karena menempatkan posisi yang sama, bisa saling mendengar, memahami dan bertoleransi. Esensi beragama adalah bagaimana untuk melindungi kemanusiaan, menebarkan toleransi dan kehidupan yang harmoni," ujarnya.
Commisioner Ethiopian National Dialogue Commision (ENDC) Dr Ambaye Agato menyambut baik adanya dialog antarpemeluk agama yang melibatkan tokoh-tokoh dari dua negara ini. Menurutnya, Ethiopia juga memiliki masalah kompleks yang dipicu soal politik, agama, budaya maupun ekonomi. Untuk mewujudkan kehidupan di Ethiopia yang kian harmonis, dalam dua tahun terakhir ENDC aktif melakukan studi banding dan dialog ke berbagai negara seperti Eropa.
"Dialog ini menjadi penting karena kita bisa saling mengetahui seperti yang dilakukan Indonesia dan merumuskan penyelesaian konflik yang berbasis data dan riset. Untuk itu seharusnya dialog harus menghadirkan solusi yang lebih nyata bagi keharmonisan kehidupan beragama, termasuk di Ethiopia," kata dosen Departemen Sosiologi dan Antropologi Sosial Universitas Addis Ababa ini.
Apresiasi positif itu terpotret dalam gelaran Indonesia- Ethiopia Interfaith Dialogue yang berlangsung di Hawassa, Ethiopia, Senin (5/8/2024). Kegiatan yang digelar oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Addis Ababa dan Kementerian Agama (Kemenag) RI ini menghadirkan para pimpinan pemerintah dan tokoh-tokoh agama di negeri tertua di dunia tersebut. Hadir pula para akademisi, pimpinan adat, tokoh pemuda, aktivis perempuan, dan perwakilan media massa.
Delegasi Indonesia yang hadir dalam kegiatan bertema 'Diplomacy of Religious Moderation to Build Interfaith Dialogue' antara lain Kepala Balitbang Diklat Kemenag Prof Suyitno, Dubes RI untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika Al Busyra Basnur, Kepala Biro Kepegawaian Kemenag Wawan Junaidi, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung Prof Rosihon Anwar, Rektor IAKN Manado Dr Olivia Cherly Wuwungan, Rektor UHN Sugriwa Bali Prof I Gusti Ngurah Sudiana Kepala STAKN Pontianak Dr Sunarso, dan Kepala STABN Raden Wijaya Wonogiri Dr Sulaiman Girivirya.
Di depan ratusan peserta dialog, Prof Suyitno mengungkapkan, Indonesia adalah negara besar dengan agama dan kepercayaan yang sangat beragam. Namun perbedaan tidak menjadi alasan untuk saling memusuhi satu dengan yang lain. Dengan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama secara moderat, semua penduduk justru bisa bersatu dalam bingkai persaudaraan dan kebersamaan.
"Untuk bisa menyatukan itu Indonesia memiliki lima prinsip untuk hidup harmoni dan menjadi dasar negara yaitu Pancasila. Indonesia juga memiliki semboyan bangsa, yakni Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna Bersatu Dalam Perbedaan. Prinsip dan semboyan bangsa ini bisa jadi model dalam merajut persatuan bagi dunia termasuk di Ethiopia," ujarnya.
Prof Suyitno meyakini Ethiopia sebagai negara besar dengan penduduk yang beragam juga memiliki dasar-dasar yang disepakati. Agar terwujud hidup yang damai dan harmoni, konsensus bersama tersebut harus dijunjung tinggi dengan mengedepankan sikap saling memahami dan menghormati di antara pemeluk agama.
"Maka kuncinya adalah dialog, dialog, dan dialog. Dialog menjadi penting karena menempatkan posisi yang sama, bisa saling mendengar, memahami dan bertoleransi. Esensi beragama adalah bagaimana untuk melindungi kemanusiaan, menebarkan toleransi dan kehidupan yang harmoni," ujarnya.
Commisioner Ethiopian National Dialogue Commision (ENDC) Dr Ambaye Agato menyambut baik adanya dialog antarpemeluk agama yang melibatkan tokoh-tokoh dari dua negara ini. Menurutnya, Ethiopia juga memiliki masalah kompleks yang dipicu soal politik, agama, budaya maupun ekonomi. Untuk mewujudkan kehidupan di Ethiopia yang kian harmonis, dalam dua tahun terakhir ENDC aktif melakukan studi banding dan dialog ke berbagai negara seperti Eropa.
"Dialog ini menjadi penting karena kita bisa saling mengetahui seperti yang dilakukan Indonesia dan merumuskan penyelesaian konflik yang berbasis data dan riset. Untuk itu seharusnya dialog harus menghadirkan solusi yang lebih nyata bagi keharmonisan kehidupan beragama, termasuk di Ethiopia," kata dosen Departemen Sosiologi dan Antropologi Sosial Universitas Addis Ababa ini.