Titik Nol Peradaban
loading...
A
A
A
Yanto Bashri
Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Guluk-Guluk, Sumenep
Beberapa waktu lalu penulis memperoleh kesempatan untuk berdiskusi dengan guru pendidikan agama Islam (PAI) dengan tema “Moderasi Beragama bagi Guru PAI” diselenggarakan oleh Subdit PAI pada SD/SDLB Direktorat PAI Ditjen Pendis Kementerian Agama.
Tema ini menarik karena pesertanya salah satu elemen yang memiliki perang penting menanamkan pengetahuan dan menentukan masa depan bangsa, yaitu guru PAI. Isu ini juga mengemuka dalam satu dekade belakangan seiring menguatnya Islam politik yang dijalankan sebagian kelompok Islam.
Sejak reformasi bergulir perubahan besar terjadi pada akhir dekade 1990-an. Ketika menjadi presiden (21 Mei 1998 – Oktober 1999), BJ Habibie, banyak melakukan terobosan, di antaranya membuka kebebasan berpendapat, menghapus SIUPP, menyiapkan Pemilu 1999, dan mengesahkan UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli.
Pada kurun waktu 2000-an awal, sejumlah peristiwa ledakan bom terjadi di banyak lokasi yang memperburuk situasi nasional. Sebut saja bom di kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta (1 Agustus 2000), ledakan dibasementBursa Efek Jakarta (14 September 2000), gereja-gereja di Jakarta (24 Desember 2000), Plaza Atrium (2001). Pada kurun waktu itu serangan bom dalam skala besar juga terjadi di menera kembar di New York, AS (11 September 2001).
Peristiwa ledakan bom di dalam negeri mencoreng muka Indonesia di mata negara-negara di dunia. Peristiwa ini juga yang menghancurkan struktur perekonomian dan politik. Pertumbuhan ekonomi nasional melambat, situasi politik tidak kondusif.
Dalam “Appraising the Moderation Indonesian Muslims with Special Reference”(2018), Hamid Fahmy Zarkasyi menyebutkan, organisasi keagaamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi besar, penting dalam penegakan demokrasi dan apa yang disebut sebagai moderasi muslim Indonesia.
Tokoh-tokoh kedua organisasi ini merupakanspeakerpaling lantang mencegah gerakan ekstrem kelompok teroris, menjaga Pancasila, dan UUD ’45, merawat NKRI, dan membangun kebersamaan.
Paham moderat tidak hanya diserukan oleh NU dan Muhammadiyah. Sejumlah kampus Islam seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung, UIN Surabaya, dan lainnya juga melakukan penguatan institusi Islam tingkat atas (MA/SMA) dan mahasiswa-mahasiswanya untuk mencegah infiltrasi gerakan dan ide terorisme.
Muazin lain yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah KH Mustofa Bisri, KH Solahuddin Wahid, Ahmad Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra, dan Komaruddin Hidayat, yang di antaranya merespons dengan keras peristiwa bom mengatasnamakan agama.
Selama 1980-an dan 1990-an para peneliti telah mengingatkan seluruh pihak untuk mewaspadai gerakan ini dan fenomena bergesernya gerakan keagamaan ini dari Islam dakwah ke Islam politik. Misalnya, James J Fox dalamCurrents in Contemporary Islam in Indonesia(2004), menjelaskan puncak gerakan Islam ini dimulai pada 1998, ketika bangsa memasuki kebebasan berpendapat dan berserikat.
Situasi ini memberikan kesempatan untuk mendirikan ormas keagamaan dan organisasi politik, mendorong para aktivis dan pemikir kelompok ini masuk birokrasi, anggota Polri dan TNI, dan jadi kekuatan baru di kampus-kampus umum dan Islam di luar HMI, PMII, dan IMM. Lembaga yang didirikannya, misalnya di lembaga-lembaga dakwah kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS).
Dalam penelitian ini Fox menggambarkan sebagai “board spectrum”, yang memperlihatkan bahwa gerakan ini telah memiliki spektrum yang luas dalam konteks keragaman historis di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya memperkuat jangkauan wilayah gerakan, tetapi juga pada saat bersamaan meneguhkan kekuatan gerakan yang mampu menembus (penetrasi) ke paham-paham keagamaan lain yang selama ini mengakar di Indonesia.
Lahirnya simbol keagamaan berada di ruang publik semakin massif dan sulit dikendalikan. Akibatnya, mengidentifikasi antara kelompok Islam ekstrem dan Islam moderat dalam konteks masa kini tidak mudah.
Shmuel Bar, dalamThe Religious Sources of Islamic Terrorism(2004), menyebutkan keberhasilan membangun kekuatan secara apik, mulai dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Kekuatan ini juga muncul dari tingkat bawah masyarakat (grassroot) hingga pemerintahan sehingga menjadikan kelompok moderat menghadapi dilema cukup pelik berupa sulitnya menyanggah argumen tafsir agama yang dikembangkan dan keengganan untuk—atau bahkan larangan—menghasutIslamic Kulturkampf(Islamic Cultur War) yang akan memecah belah barisan umat.
Penjelasan berikutnya digambarkan oleh Kevin van Bladel dalamA Brief History of Islamic Civilization from Its Genesis in the Late Nineteenth Century to Its Institutional Entrenchment(2020). Dijelaskan bahwa ada diksi yang tepat ketika kelompok ini lebih memilih kata “Islam” daripada kata “Arab” seperti gerakan keagamaan pada abad ke-19.
Ini karena Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga sebuah kerajaan dan teori politik. Penggabungan ini untuk menjadikan Islam sebagai peradaban kesatuan (Einheitszivilisation) yang, meskipun ada variasi lokal, memiliki jejak yang seragam di setiap tempat keberadaannya baik ekologi, ekonomi, adat-istiadat, atau bahasa.
Kembali ke persoalan awal, salah satu peserta bertanya, apakah moderasi beragama merupakan program kolaborasi pemerintah dengan Islam Nusantara NU? Penulis menyampaikan bahwa moderasi beragama merupakan upaya pemerintah untuk menghadirkan Islam ramah, sebagaimana NU dan Islam Nusantaranya, dan Muhammadiyah dan Islam Berkemajuannya. Pemerintah telah menetapkan bahwa moderasi beragama adalah titik nol sebagai perjuangan bersama untuk membangun peradaban (zero point of civilization) baik tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai catatan akhir, sejumlah tokoh yang mampu mencegah gerakan ini adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui gerakan pesantren dan tradisionalnya, Nurcholish Madjid dengan pemikiran Islam dan sekularismenya, dan Ahmad Syafii Maarif lewat gerakantajdid(pembaruan) Islam. Nama-nama ini merupakan penarik gerbong besar pemikiran Islam yang selalu memunculkan gagasan baru dan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pas dengan budaya dan sosial Indonesia.
Martin van Bruinessen dan Farid Wajidi (2006) mendefinisikan sebagai “better-educatedpesantren” bahwa Islam tradisionalis di lingkungan pesantren, yang dulunya konservatif secara sosial dan budaya, secara paradoks telah melahirkan gerakan progresif reformasi sosial dan keagamaan yang lebih dekat ke akar rumput daripada kebanyakan lainnya. Aspek yang paling menonjol dari gerakan progresif ini adalah peran kiai, ide-ide, dan cita-citanya serta intervensi sosialnya yang memberikan legitimasi sosial efektif.
Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Guluk-Guluk, Sumenep
Beberapa waktu lalu penulis memperoleh kesempatan untuk berdiskusi dengan guru pendidikan agama Islam (PAI) dengan tema “Moderasi Beragama bagi Guru PAI” diselenggarakan oleh Subdit PAI pada SD/SDLB Direktorat PAI Ditjen Pendis Kementerian Agama.
Tema ini menarik karena pesertanya salah satu elemen yang memiliki perang penting menanamkan pengetahuan dan menentukan masa depan bangsa, yaitu guru PAI. Isu ini juga mengemuka dalam satu dekade belakangan seiring menguatnya Islam politik yang dijalankan sebagian kelompok Islam.
Sejak reformasi bergulir perubahan besar terjadi pada akhir dekade 1990-an. Ketika menjadi presiden (21 Mei 1998 – Oktober 1999), BJ Habibie, banyak melakukan terobosan, di antaranya membuka kebebasan berpendapat, menghapus SIUPP, menyiapkan Pemilu 1999, dan mengesahkan UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli.
Pada kurun waktu 2000-an awal, sejumlah peristiwa ledakan bom terjadi di banyak lokasi yang memperburuk situasi nasional. Sebut saja bom di kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta (1 Agustus 2000), ledakan dibasementBursa Efek Jakarta (14 September 2000), gereja-gereja di Jakarta (24 Desember 2000), Plaza Atrium (2001). Pada kurun waktu itu serangan bom dalam skala besar juga terjadi di menera kembar di New York, AS (11 September 2001).
Peristiwa ledakan bom di dalam negeri mencoreng muka Indonesia di mata negara-negara di dunia. Peristiwa ini juga yang menghancurkan struktur perekonomian dan politik. Pertumbuhan ekonomi nasional melambat, situasi politik tidak kondusif.
Dalam “Appraising the Moderation Indonesian Muslims with Special Reference”(2018), Hamid Fahmy Zarkasyi menyebutkan, organisasi keagaamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi besar, penting dalam penegakan demokrasi dan apa yang disebut sebagai moderasi muslim Indonesia.
Tokoh-tokoh kedua organisasi ini merupakanspeakerpaling lantang mencegah gerakan ekstrem kelompok teroris, menjaga Pancasila, dan UUD ’45, merawat NKRI, dan membangun kebersamaan.
Paham moderat tidak hanya diserukan oleh NU dan Muhammadiyah. Sejumlah kampus Islam seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung, UIN Surabaya, dan lainnya juga melakukan penguatan institusi Islam tingkat atas (MA/SMA) dan mahasiswa-mahasiswanya untuk mencegah infiltrasi gerakan dan ide terorisme.
Muazin lain yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah KH Mustofa Bisri, KH Solahuddin Wahid, Ahmad Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra, dan Komaruddin Hidayat, yang di antaranya merespons dengan keras peristiwa bom mengatasnamakan agama.
Selama 1980-an dan 1990-an para peneliti telah mengingatkan seluruh pihak untuk mewaspadai gerakan ini dan fenomena bergesernya gerakan keagamaan ini dari Islam dakwah ke Islam politik. Misalnya, James J Fox dalamCurrents in Contemporary Islam in Indonesia(2004), menjelaskan puncak gerakan Islam ini dimulai pada 1998, ketika bangsa memasuki kebebasan berpendapat dan berserikat.
Situasi ini memberikan kesempatan untuk mendirikan ormas keagamaan dan organisasi politik, mendorong para aktivis dan pemikir kelompok ini masuk birokrasi, anggota Polri dan TNI, dan jadi kekuatan baru di kampus-kampus umum dan Islam di luar HMI, PMII, dan IMM. Lembaga yang didirikannya, misalnya di lembaga-lembaga dakwah kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS).
Dalam penelitian ini Fox menggambarkan sebagai “board spectrum”, yang memperlihatkan bahwa gerakan ini telah memiliki spektrum yang luas dalam konteks keragaman historis di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya memperkuat jangkauan wilayah gerakan, tetapi juga pada saat bersamaan meneguhkan kekuatan gerakan yang mampu menembus (penetrasi) ke paham-paham keagamaan lain yang selama ini mengakar di Indonesia.
Lahirnya simbol keagamaan berada di ruang publik semakin massif dan sulit dikendalikan. Akibatnya, mengidentifikasi antara kelompok Islam ekstrem dan Islam moderat dalam konteks masa kini tidak mudah.
Shmuel Bar, dalamThe Religious Sources of Islamic Terrorism(2004), menyebutkan keberhasilan membangun kekuatan secara apik, mulai dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Kekuatan ini juga muncul dari tingkat bawah masyarakat (grassroot) hingga pemerintahan sehingga menjadikan kelompok moderat menghadapi dilema cukup pelik berupa sulitnya menyanggah argumen tafsir agama yang dikembangkan dan keengganan untuk—atau bahkan larangan—menghasutIslamic Kulturkampf(Islamic Cultur War) yang akan memecah belah barisan umat.
Penjelasan berikutnya digambarkan oleh Kevin van Bladel dalamA Brief History of Islamic Civilization from Its Genesis in the Late Nineteenth Century to Its Institutional Entrenchment(2020). Dijelaskan bahwa ada diksi yang tepat ketika kelompok ini lebih memilih kata “Islam” daripada kata “Arab” seperti gerakan keagamaan pada abad ke-19.
Ini karena Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga sebuah kerajaan dan teori politik. Penggabungan ini untuk menjadikan Islam sebagai peradaban kesatuan (Einheitszivilisation) yang, meskipun ada variasi lokal, memiliki jejak yang seragam di setiap tempat keberadaannya baik ekologi, ekonomi, adat-istiadat, atau bahasa.
Kembali ke persoalan awal, salah satu peserta bertanya, apakah moderasi beragama merupakan program kolaborasi pemerintah dengan Islam Nusantara NU? Penulis menyampaikan bahwa moderasi beragama merupakan upaya pemerintah untuk menghadirkan Islam ramah, sebagaimana NU dan Islam Nusantaranya, dan Muhammadiyah dan Islam Berkemajuannya. Pemerintah telah menetapkan bahwa moderasi beragama adalah titik nol sebagai perjuangan bersama untuk membangun peradaban (zero point of civilization) baik tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai catatan akhir, sejumlah tokoh yang mampu mencegah gerakan ini adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui gerakan pesantren dan tradisionalnya, Nurcholish Madjid dengan pemikiran Islam dan sekularismenya, dan Ahmad Syafii Maarif lewat gerakantajdid(pembaruan) Islam. Nama-nama ini merupakan penarik gerbong besar pemikiran Islam yang selalu memunculkan gagasan baru dan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pas dengan budaya dan sosial Indonesia.
Martin van Bruinessen dan Farid Wajidi (2006) mendefinisikan sebagai “better-educatedpesantren” bahwa Islam tradisionalis di lingkungan pesantren, yang dulunya konservatif secara sosial dan budaya, secara paradoks telah melahirkan gerakan progresif reformasi sosial dan keagamaan yang lebih dekat ke akar rumput daripada kebanyakan lainnya. Aspek yang paling menonjol dari gerakan progresif ini adalah peran kiai, ide-ide, dan cita-citanya serta intervensi sosialnya yang memberikan legitimasi sosial efektif.
(ynt)