Bermartabat di Dunia Digital
loading...
A
A
A
Pung Purwanto
Wartawan Senior SINDOnews
DI TENGAH dominasi rujukan kinerja berdasarkan mesin buatan platform asing, mempertahankan jurnalisme baik atau sering dikenal sebagai good journalism bukan perkara mudah. Para jurnalis dan pengelola News Room harus berjibaku mencari penyesuaian-penyesuaian baru mengikuti aturan yang terus berubah sesuai keinginan pembuat aturan yang tidak pernah bisa ditebak ke mana arahnya. Ketergantungan produk jurnalisme baik terhadap pemilik lapak digital memang sudah sampai pada taraf yang meresahkan, menggelisahkah, bahkan sudah pada ancaman kematian jurnalisme baik.
Terlalu berlebihan jika kita bicara kematian jurnalisme baik di tengah euforia manusia yang sedang mabuk berat menikmati segala kemudahan layanan digital. Termasuk euforia media berbasis digital yang dianggap akan menjadi masa depan jurnalisme baik yang diyakini akan membentuk ekosistem bisnis media yang berkelanjutan seperti halnya dijanjikan oleh raksasa raksasa penguasa lapak digital global.
Gurita plafotm global ini nyaris sulit dihindari oleh pemain-pemain media lokal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Para penerbit portal berita misalnya, tidak punya banyak alternatif untuk mengembangkan jurnalisme baik di wilayah sendiri kecuali harus bermitra dengan pemilik lapak digital itu.Apalagi selain menyebarkan jurnalisme baik, para pengelola ruang redaksi juga harus memikirkan soal keberlanjutan.
Artinya penerbit yang menaungi puluhan, ratusan hingga ribuan awak ini pun dituntut mampu bertahan hidup, mendapatkan revenue yang signifikan dari model bisnis yang belum matang dan sangat terbatas pilihannya itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, berbagai penyesuaian harus dilakukan para penanggung jawab redaksi agar produk berita (tulisan, foto, video, infografis, suara) terus menjadi trending dengan jangkauan audiens maksimal, sehingga mendatangkan traffic yang signifikan.
Dengan capaian traffic maksimal berarti penerbit portal berita ini memiliki pembaca loyal (unique visitor/UV) yang besar pula. Dengan demikian para calon pengiklan semakin tertarik untuk bekerja sama dengan penerbit karena memiliki pengunjung loyal yang besar. Demikian siklus model bisnis yang hingga kini masih diyakini paling efektif. Singkatnya seperti ini: berita-viral-traffic-user-revenue.
Namun faktanya untuk memproduksi berita yang baik agar bisa viral dan mendatangkan traffic tinggi dengan UV yang besar, biayanya tidak murah. Proses bisnisnya panjang dengan alat kelengkapan yang rumit, SDM dengan keahlian spesifik (di luar wartawan), biaya-biaya marketing digital yang juga tidak murah (Search Engine Marketing/SEM), maupun biaya distribusi konten di seluruh platform media sosial.
Ini belum bicara biaya konsultan Search Engine Optimization/SEO, perawatan server, dan perintilan-perintilan lain yang tidak kalah rumit dan cukup menguras kocek. Dibandingkan dengan pendapatan dari programmatic ads, total biaya yang dipersyaratkan itu masih jauh lebih besar. Ada defisit yang harus ditutup dengan menciptakan sumber revenue baru yang bisa dikontrol maksimal oleh penerbit. Bukan oleh platform global yang secara sepihak menentukan profit sharing revenue yang sangat tidak seimbang untuk penerbit.
Sekelumit kisah di atas adalah kenyataaan yang harus dihadapi para pengelola penerbit portal berita di Indonesia. Setiap penerbit menggunakan cara berbeda untuk mengatasi itu. Ada yang kompromi penuh dengan garis programmatic ads. Artinya benar-benar mengikuti semua yang dimaui platform dari A sampai Z. Sebut saja ini kelompok pertama.
Ada penerbit yang total tidak mau bergantung dengan model bisnis yang ditawarkan platform global dengan menciptakan ekosistem bisnis sendiri. Ini berarti kerja jangka panjang dengan biaya yang tidak sedikit. Keuntunganya mereka memiliki ruang independen yang lebih besar untuk terus mengembangkan jurnalisme baik dalam model bisnis yang lebih terbuka.
Wartawan Senior SINDOnews
DI TENGAH dominasi rujukan kinerja berdasarkan mesin buatan platform asing, mempertahankan jurnalisme baik atau sering dikenal sebagai good journalism bukan perkara mudah. Para jurnalis dan pengelola News Room harus berjibaku mencari penyesuaian-penyesuaian baru mengikuti aturan yang terus berubah sesuai keinginan pembuat aturan yang tidak pernah bisa ditebak ke mana arahnya. Ketergantungan produk jurnalisme baik terhadap pemilik lapak digital memang sudah sampai pada taraf yang meresahkan, menggelisahkah, bahkan sudah pada ancaman kematian jurnalisme baik.
Terlalu berlebihan jika kita bicara kematian jurnalisme baik di tengah euforia manusia yang sedang mabuk berat menikmati segala kemudahan layanan digital. Termasuk euforia media berbasis digital yang dianggap akan menjadi masa depan jurnalisme baik yang diyakini akan membentuk ekosistem bisnis media yang berkelanjutan seperti halnya dijanjikan oleh raksasa raksasa penguasa lapak digital global.
Gurita plafotm global ini nyaris sulit dihindari oleh pemain-pemain media lokal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Para penerbit portal berita misalnya, tidak punya banyak alternatif untuk mengembangkan jurnalisme baik di wilayah sendiri kecuali harus bermitra dengan pemilik lapak digital itu.Apalagi selain menyebarkan jurnalisme baik, para pengelola ruang redaksi juga harus memikirkan soal keberlanjutan.
Artinya penerbit yang menaungi puluhan, ratusan hingga ribuan awak ini pun dituntut mampu bertahan hidup, mendapatkan revenue yang signifikan dari model bisnis yang belum matang dan sangat terbatas pilihannya itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, berbagai penyesuaian harus dilakukan para penanggung jawab redaksi agar produk berita (tulisan, foto, video, infografis, suara) terus menjadi trending dengan jangkauan audiens maksimal, sehingga mendatangkan traffic yang signifikan.
Dengan capaian traffic maksimal berarti penerbit portal berita ini memiliki pembaca loyal (unique visitor/UV) yang besar pula. Dengan demikian para calon pengiklan semakin tertarik untuk bekerja sama dengan penerbit karena memiliki pengunjung loyal yang besar. Demikian siklus model bisnis yang hingga kini masih diyakini paling efektif. Singkatnya seperti ini: berita-viral-traffic-user-revenue.
Namun faktanya untuk memproduksi berita yang baik agar bisa viral dan mendatangkan traffic tinggi dengan UV yang besar, biayanya tidak murah. Proses bisnisnya panjang dengan alat kelengkapan yang rumit, SDM dengan keahlian spesifik (di luar wartawan), biaya-biaya marketing digital yang juga tidak murah (Search Engine Marketing/SEM), maupun biaya distribusi konten di seluruh platform media sosial.
Ini belum bicara biaya konsultan Search Engine Optimization/SEO, perawatan server, dan perintilan-perintilan lain yang tidak kalah rumit dan cukup menguras kocek. Dibandingkan dengan pendapatan dari programmatic ads, total biaya yang dipersyaratkan itu masih jauh lebih besar. Ada defisit yang harus ditutup dengan menciptakan sumber revenue baru yang bisa dikontrol maksimal oleh penerbit. Bukan oleh platform global yang secara sepihak menentukan profit sharing revenue yang sangat tidak seimbang untuk penerbit.
Sekelumit kisah di atas adalah kenyataaan yang harus dihadapi para pengelola penerbit portal berita di Indonesia. Setiap penerbit menggunakan cara berbeda untuk mengatasi itu. Ada yang kompromi penuh dengan garis programmatic ads. Artinya benar-benar mengikuti semua yang dimaui platform dari A sampai Z. Sebut saja ini kelompok pertama.
Ada penerbit yang total tidak mau bergantung dengan model bisnis yang ditawarkan platform global dengan menciptakan ekosistem bisnis sendiri. Ini berarti kerja jangka panjang dengan biaya yang tidak sedikit. Keuntunganya mereka memiliki ruang independen yang lebih besar untuk terus mengembangkan jurnalisme baik dalam model bisnis yang lebih terbuka.