Mencari Aman dan Nyaman di Transportasi Umum
loading...
A
A
A
Aksi pelecehan seksual terhadap seorang perempuan penumpang kereta api (KA) jarak jauh jurusan Solo-Jakarta yang terjadi pekan lalu semakin menambah panjang kasus pelecehan di transportasi umum. Kejadian ini terungkap setelah video aksi tak senonoh seorang pria terhadap perempuan yang duduk di sampingnya tersebar di media sosial.
Merespons peristiwa tersebut, pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) selalu operator kereta jarak jauh bergerak cepat. Tidak lama setelah peristiwa itu ramai diperbincangkan di twitter dan mendapat laporan resmi dari korban, KAI langsung mem-blacklist pelaku pelecehan tersebut dengan tidak diperbolehkan menggunakan moda KA.
Dalam aksinya, pelakunya mencoba melecehkan seorang perempuan penumpang KA dengan menjulurkan tangan ke kursi korban di sampingnya. Terlihat jelas di video tersebut, tangan pelaku mencoba terus merangsek menempelkan tangannya ke bawah paha korban.
Gerak cepat KAI dalam merespons kasus tersebut patut diapresiasi. Larangan menggunakan moda transportasi KA bagi pelaku dinilai tepat untuk memberikan efek jera. Apresiasi juga layak diberikan kepada kondektur KA yang memberikan solusi dengan memindahkan korban ke tempat kursi lain yang lebih aman.
Aksi pelecehan seksual terhadap perempuan di transportasi umum bukan hal baru. Selain KA jarak jauh, tindakan tidak terpuji tersebut kerap terjadi di angkutan massal lain seperti kereta commuter line, bus kota, bahkan angkutan kota.
Bahkan, khusus di commuter line atau kereta rel listrik (KRL) pada rentang waktu 2019-2021, terdapat 42 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan. Pada 2019 terdapat 34 kasus, kemudian 2020 sebanyak tujuh kasus dan 2021 sebanyak 1 kasus. Di KRL, kasus teranyar terjadi pada pekan lalu di mana seorang siswi SMK mendapat pecelehan dari pelaku dengan mengiming-imingi bisa membuka aura. Pelecehan tersebut sempat dilakukan sebanyak dua kali di gerbong KRL.
Beruntung saat korban turun di Stasiun Buaran, pelaku berhasil diamankan. Sayangnya, kasus ini tidak berlanjut ke proses hukum karena kedua pihak berdamai. Perdamaian ini sungguh sangat disayangkan karena bukan tidak mungkin pelaku berbuat yang sama karena tidak ada sanksi yang diberikan.
Rentannya kaum perempuan terhadap pelecehan seksual juga terkonfirmasi oleh hasil survei yang dirilis Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada Januari 2022 lalu. Dalam temuannya, KRPA menyatakan sebanyak 4 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual di ruang publik.
Pada 2019 silam, organisasi tersebut juga merilis, perilaku pelecehan paling sering terjadi di tiga tempat yakni jalanan umum (33%), transportasi umum (19%) dan sekolah (15%). Adapun di sektor transportasi umum, lima moda yang paling sering terjadi pelecehan adalah bus (36%), angkutan kota (30%), KRL (18%), ojek/taksi online (19%) dan ojek/taksi konvensional (6%).
Melihat data-data di atas, maka sudah seharusnya para pemangku kepentingan mulai dari operator moda transportasi, dinas perhubungan dan para pelaku usaha semakin menggencarkan pengawasan terhadap konsumen/penumpangnya.
Hanya saja, memang tidak gampang mengawasi satu per satu moda angkutan umum ini. Untuk moda transportasi kereta atau bus, mungkin akan lebih mudah karena biasanya armada operasionalnya sudah dipasangi kamera pengintai (CCTV). Namun untuk moda lainnya seperti ojek, taksi, taksi online, hal itu menjadi ‘PR’ tersendiri karena infrastrukturnya hanya mengandalkan CCTV di jalan.
Kembali ke kasus pelecehan seksual di KA jarak jauh yang akhirnya memberikan sanksi berupa blacklist kepada pelaku, peristiwa ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak. Untuk memberikan efek jera, blacklist ini juga sebaiknya diberlakukan bagi moda transportasi lain. Pasalnya, jika dilarang naik KA, pelaku masih bisa menggunakan moda transportasi umum lain seperti bus dan pesawat.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, bagaimana agar para operator transportasi ini bisa menjamin kenyamanan penumpangnya secara lebih luas.
Yang juga penting, penumpang juga harus bersikap lebih bijak apabila ada sesuatu yang dirasa kurang dari operator perhubungan. Penumpang juga harus disiplin mengikuti aturan yang ditetapkan operator agar tidak mengganggu penumpang lain.
Upaya untuk menciptakan transportasi yang nyaman dan aman ini tentu membutuhkan peran dari semua pihak. Bukan hanya dari pemerintah selaku regulator, operator penyedia layanan, tetapi juga dari masyarakat penggunanya.
Merespons peristiwa tersebut, pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) selalu operator kereta jarak jauh bergerak cepat. Tidak lama setelah peristiwa itu ramai diperbincangkan di twitter dan mendapat laporan resmi dari korban, KAI langsung mem-blacklist pelaku pelecehan tersebut dengan tidak diperbolehkan menggunakan moda KA.
Dalam aksinya, pelakunya mencoba melecehkan seorang perempuan penumpang KA dengan menjulurkan tangan ke kursi korban di sampingnya. Terlihat jelas di video tersebut, tangan pelaku mencoba terus merangsek menempelkan tangannya ke bawah paha korban.
Gerak cepat KAI dalam merespons kasus tersebut patut diapresiasi. Larangan menggunakan moda transportasi KA bagi pelaku dinilai tepat untuk memberikan efek jera. Apresiasi juga layak diberikan kepada kondektur KA yang memberikan solusi dengan memindahkan korban ke tempat kursi lain yang lebih aman.
Aksi pelecehan seksual terhadap perempuan di transportasi umum bukan hal baru. Selain KA jarak jauh, tindakan tidak terpuji tersebut kerap terjadi di angkutan massal lain seperti kereta commuter line, bus kota, bahkan angkutan kota.
Bahkan, khusus di commuter line atau kereta rel listrik (KRL) pada rentang waktu 2019-2021, terdapat 42 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan. Pada 2019 terdapat 34 kasus, kemudian 2020 sebanyak tujuh kasus dan 2021 sebanyak 1 kasus. Di KRL, kasus teranyar terjadi pada pekan lalu di mana seorang siswi SMK mendapat pecelehan dari pelaku dengan mengiming-imingi bisa membuka aura. Pelecehan tersebut sempat dilakukan sebanyak dua kali di gerbong KRL.
Beruntung saat korban turun di Stasiun Buaran, pelaku berhasil diamankan. Sayangnya, kasus ini tidak berlanjut ke proses hukum karena kedua pihak berdamai. Perdamaian ini sungguh sangat disayangkan karena bukan tidak mungkin pelaku berbuat yang sama karena tidak ada sanksi yang diberikan.
Rentannya kaum perempuan terhadap pelecehan seksual juga terkonfirmasi oleh hasil survei yang dirilis Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada Januari 2022 lalu. Dalam temuannya, KRPA menyatakan sebanyak 4 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual di ruang publik.
Pada 2019 silam, organisasi tersebut juga merilis, perilaku pelecehan paling sering terjadi di tiga tempat yakni jalanan umum (33%), transportasi umum (19%) dan sekolah (15%). Adapun di sektor transportasi umum, lima moda yang paling sering terjadi pelecehan adalah bus (36%), angkutan kota (30%), KRL (18%), ojek/taksi online (19%) dan ojek/taksi konvensional (6%).
Melihat data-data di atas, maka sudah seharusnya para pemangku kepentingan mulai dari operator moda transportasi, dinas perhubungan dan para pelaku usaha semakin menggencarkan pengawasan terhadap konsumen/penumpangnya.
Hanya saja, memang tidak gampang mengawasi satu per satu moda angkutan umum ini. Untuk moda transportasi kereta atau bus, mungkin akan lebih mudah karena biasanya armada operasionalnya sudah dipasangi kamera pengintai (CCTV). Namun untuk moda lainnya seperti ojek, taksi, taksi online, hal itu menjadi ‘PR’ tersendiri karena infrastrukturnya hanya mengandalkan CCTV di jalan.
Kembali ke kasus pelecehan seksual di KA jarak jauh yang akhirnya memberikan sanksi berupa blacklist kepada pelaku, peristiwa ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak. Untuk memberikan efek jera, blacklist ini juga sebaiknya diberlakukan bagi moda transportasi lain. Pasalnya, jika dilarang naik KA, pelaku masih bisa menggunakan moda transportasi umum lain seperti bus dan pesawat.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, bagaimana agar para operator transportasi ini bisa menjamin kenyamanan penumpangnya secara lebih luas.
Yang juga penting, penumpang juga harus bersikap lebih bijak apabila ada sesuatu yang dirasa kurang dari operator perhubungan. Penumpang juga harus disiplin mengikuti aturan yang ditetapkan operator agar tidak mengganggu penumpang lain.
Upaya untuk menciptakan transportasi yang nyaman dan aman ini tentu membutuhkan peran dari semua pihak. Bukan hanya dari pemerintah selaku regulator, operator penyedia layanan, tetapi juga dari masyarakat penggunanya.
(ynt)