Mengelola Inflasi

Senin, 27 Juni 2022 - 06:33 WIB
loading...
Mengelola Inflasi
Candra Fajri Ananda/FOTO.DOK KORAN SINDO
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Pada perspektif ekonomi, inflasi merupakan sebuah fenomena ekonomi di suatu negara di mana peristiwa ini cenderung menjadi gejala awal terjadinya gejolak ekonomi.

Inflasi bagai pisau bermata dua. Pada 1958, Philips menyatakan bahwa inflasi yang tinggi secara positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat pengangguran. Pendapat ini, didukung oleh para tokoh perspektif struktural dan Keynesian yang percaya bahwa inflasi tidak berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, pandangan kaum Monetaris berpendapat bahwa inflasi berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Ini didukung oleh peristiwa pada 1970, di mana negara-negara dengan inflasi yang tinggi terutama negara-negara Amerika Latin mulai mengalami penurunan tingkat pertumbuhan dan mendorong angka pengangguran.

Dengan demikian, tidak semua inflasi akan berdampak negatif bagi perekonomian, terutama jika inflasi yang terjadi masih dalam kontrol. Inflasi justru memberikan dorongan positif bagi para pelaku usaha untuk terus meningkatkan produksi, menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah perekonomian.

Akan tetapi, inflasi bisa saja berdampak negatif jika pemerintah tidak mampu mengontrol pergerakan harga. Inflasi jenis ini akan menurunkan daya beli semua entitas ekonomi secara negatif sehingga akan mempengaruhi permintaan, pertumbuhan ekonomi hingga standar hidup masyarakat.

Depresiasi pendapatan akan mempersempit peluang dan merongrong insentif untuk menabung sehingga pembentukan pasar keuangan untuk investasi akan terganggu. Inflasi yang tinggi secara umum akan berdampak negatif memengaruhi tabungan, konsumsi, produksi, investasi, dan kondisi umum untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Mitigasi Ancaman Inflasi
Pascapandemi, kebijakan fiskal yang ekspansif berpotensi mendorong inflasi. Sejumlah negara telah mencatatkan kenaikan inflasi yang signifikan. Pembatasan mobilitas dari awal pandemi hingga tahun lalu menyebabkan terjadinya penurunan permintaan barang dan jasa akibat penurunan aktivitas ekonomi masyarakat.

Namun, tak hanya karena pandemi, perekonomian global juga kian tertekan dengan peningkatan tensi ketegangan geopolitik antara Rusia-Ukraina. Gangguan rantai pasokan disertai dengan meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan oleh berbagai negara telah mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan tekanan inflasi global. Bloomberg mencatat bahwa inflasi Amerika Serikat (8,3%) dan Inggris (9%) pada Mei 2022 tersebut telah masuk dalam gelombang inflasi tertinggi sejak 1980-an.

Selain itu, di Turki juga telah mencatat tingkat inflasi tertinggi di dunia mencapai 73,5%, hampir sepuluh kali lebih tinggi dari angka inflasi di Jerman pada Mei 2022.

Di Indonesia, inflasi (yoy) pada bulan Mei 2022 tercatat sebesar 3,55% atau menguat sebesar 1,88% dibandingkan dengan inflasi tahunan di bulan Mei 2021. Tingkat inflasi ini merupakan inflasi tertinggi sejak Desember 2017 yang tercatat sebesar 3,61%.

Peningkatan inflasi pada Mei 2022 disebabkan oleh gejolak harga barang, terutama yang harganya diatur pemerintah. Pemerintah memperkirakan inflasi pada Juni 2022 akan mencapai 4,05% (yoy). Tren peningkatan inflasi ini mutlak memerlukan perhatian khusus bagi pemerintah mengingat lonjakan inflasi berpotensi memberikan tekanan terhadap perekonomian Indonesia.

Harmonisasi Fiskal-Moneter
Inflasi akan menyerang langsung pada masyarakat berpendatan rendah dan tidak pasti seperti buruh pabrik, buruh tani, maupun pelaku UMKM. Demikian juga masyarakat miskin, akan terdampak lebih berat karena akan mengikis standar hidup. Lebih jauh lagi, inflasi bisa mendorong warga miskin jatuh dalam jurang kemiskinan ekstrem.

Beberapa negara di dunia saat ini tengah berjibaku mengambil langkah untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan di negaranya demi menekan laju inflasi. Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, secara resmi pada Mei 2022 telah mengumumkan kenaikan suku bunga acuan 50 basis poin atau 0,5% sebagai upaya lanjutan dalam mengatasi inflasi tertinggi selama empat dekade.

Kenaikan tersebut menyusul peningkatan 0,25% suku bunga acuan yang telah dilakukan The Fed pada Maret. Tak hanya AS yang menaikkan suku bunga, Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) juga memberikan kejutan ke pasar finansial di awal Mei 2022. Kebijakan ini adalah kali pertama dalam lebih dari 10 tahun terakhir yang diambil RBA. Bank sentral Negeri Kanguru itu menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,35% dari rekor terendah sepanjang masa 0,1%. Kenaikan tersebut merupakan kali pertama yang terjadi sejak November 2010.

Bagi Indonesia, tekanan inflasi global tak dapat dihindari. Inflasi Indonesia pun diperkirakan terus meningkat pada beberapa bulan ke depan seiring kenaikan harga pangan dan energi serta pengaruh ekonomi global.

Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah harus memiliki opsi untuk menjaga keseimbangan anggaran dan tekanan inflasi. Saat ini, Bank Indonesia (BI) masih memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate atau BI7DRRR di level 3,5% pada Juni 2022. Ini adalah bulan ke-16 kalinya secara berturut-turut bank sentral menahan suku bunga.

Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara yang memutuskan mempertahankan suku bunga dasar selain Jepang, Thailand, China, dan Rusia. Selain suku bunga acuan, bank sentral pun kembali menahan suku bunga deposite facility tetap sebesar 2,75%. Keputusan yang sama juga berlaku pada suku bunga lending facility tetap di level 4,25%.

Keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini tak lain untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi, serta upaya untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tekanan eksternal yang meningkat, terutama terkait ketegangan geopolitik antara Rusia-Ukraina.

Pemerintah perlu terus berupaya agar tekanan ekonomi dari eksternal yang sedang terjadi saat ini tak sampai berdampak pada konsumsi dalam negeri. Pemerintah secara bersama-sama perlu menjaga sistem moneter ekonomi dalam negeri secara merata. Di tengah tekanan tantangan ekonomi global, pemerintah perlu tetap menjaga kestabilan daya beli masyarakat yang kini masih dalam proses pemulihan pasca pandemi.

Menghadapi tantangan inflasi di tengah proses pemulihan ekonomi bukan hal yang mudah. Pada kondisi ini diperlukan sinergi kebijakan fiskal dan moneter yang harmonis untuk dapat mempertahankan daya beli masyarakat.

Pemerintah dapat memainkan peran APBN sebagai peredam kejutan dari dampak kenaikan harga komoditas energi dan pangan untuk menjaga daya beli masyarakat. Saat ini, APBN Indonesia dalam posisi yang sangat baik untuk memainkan strategi tersebut.

Pada kuartal I/2022, kondisi APBN sangat sehat di mana pendapatan negara tumbuh signifikan mencapai 32,1%. Meski demikian, dalam mendesain APBN pemerintah perlu tetap melakukannya secara prudent dan hati-hati. Kendati didesain secara hati-hati, APBN juga perlu tetap responsif untuk turut serta menyelesaikan masalah-masalah fundamental akibat inflasi.

Beberapa program pemerintah seperti kebijakan konversi listrik dan bahan bakar perlu terus dipacu dan dimaksimalkan. Pemerintah juga bisa menerapkan strategi mekanisme perlindungan sosial di antaranya melalui program Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, kartu prakerja, BLT desa, serta PBI JKN (BPJS Kesehatan).

Selain itu, pengawasan distribusi program perlindungan sosial juga perlu dilakukan agar tepat sasaran. Sinergi kebijakan fiskal dan moneter saat ini adalah kunci untuk mampu bertahan dari hantaman gejolak inflasi dunia yang melambung tinggi demi menjaga daya beli dan roda pemulihan ekonomi nasional. Semoga.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1171 seconds (0.1#10.140)