Ancam Kebebasan Pers, AJI Desak DPR Hapus 14 Pasal Draft RUHP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak untuk mengubah 14 pasal yang mengancam kebebasan pers dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Ke-14 pasal tersebut merupakan temuan pada draf yang dibahas Komisi III DPR pada 25 Mei 2022.
Ke- 14 pasal yang disorot AJI yaitu Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 218 dan Pasal 220; Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Bagian Penghinaan terhadap Pemerintah; Pasal 240 dan Pasal 241; Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara: Pasal 353 dan Pasal 354.
Selain itu, tindak pidana Penghinaan Pasal 439; Penodaan Agama Pasal 304; Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika Pasal 336; Penyiaran Berita Bohong Pasal 262, Pasal 263, dan Pasal 512; Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan Pasal 281; Pencemaran Orang Mati Pasal 445.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim menyampaikan keempat belas pasal yang mengancam kebebasan pers tersebut, berpotensi mengembalikan pasal penghinaan presiden di masa lampau.
"Pasal-pasal itu membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan. Antara lain mengatur soal tindakan-tindakan seperti: menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum," ujar Sasmito seperti dalam keterangan tertulis yang ada di website resmi AJI, Jumat (24/6/2022).
Sasmito pun mencontohkan praktik pembatasan kebebasan pers yang sempat kelam dalam penerapan pasal penghinaan presiden di masa lampau. Baginya, 14 pasal RUU KUHP itu terkesan mengarah pada ancaman kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
"Sebagai contoh, pada 2003, Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Sukarnoputri," tutur Sasmito.
AJI menilai RUU KUHP yang masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022, pembahasannya tidak transparan karena ketiadaan draf RUU KUHP terbaru kepada publik.
Untuk itu, Sasmito meminta kepada DPR dan pemerintah untuk melibatkan publik dalam pembahasan draft RUU KUHP tersebut. Ia pun mendesak DPR dan pemerintah untuk transparan dalam pembahasan RUU KUHP dengan cara segera membuka draf terbaru ke publik.
"Undang-undang ini akan berdampak kepada semua warga negara, termasuk jurnalis karena itu sudah sepatutnya DPR dan pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada publik untuk membaca dan mengkritisi pasal-pasal dalam RUU KUHP," katanya.
Kemudian, Sasmito juga menggarisbawahi proses mekanisme sengketa pemberitaan yang ada di bumi Nusantara kali ini. Menurutnya, segala bentuk pelanggaran etika jurnalistik dan sengeketa pemberitaan harus kembali pada mekanisme yang diatur dalam Undang-undang Pers.
"Karena itu, pasal-pasal yang berkaitan dengan persoalan etika seperti Pasal 263 dalam RUU KUHP tentang kabar yang tidak pasti dan berlebih-lebihan perlu dihapus dari RUU KUHP," ucap Sasmito.
Ke- 14 pasal yang disorot AJI yaitu Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 218 dan Pasal 220; Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Bagian Penghinaan terhadap Pemerintah; Pasal 240 dan Pasal 241; Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara: Pasal 353 dan Pasal 354.
Selain itu, tindak pidana Penghinaan Pasal 439; Penodaan Agama Pasal 304; Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika Pasal 336; Penyiaran Berita Bohong Pasal 262, Pasal 263, dan Pasal 512; Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan Pasal 281; Pencemaran Orang Mati Pasal 445.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim menyampaikan keempat belas pasal yang mengancam kebebasan pers tersebut, berpotensi mengembalikan pasal penghinaan presiden di masa lampau.
"Pasal-pasal itu membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan. Antara lain mengatur soal tindakan-tindakan seperti: menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum," ujar Sasmito seperti dalam keterangan tertulis yang ada di website resmi AJI, Jumat (24/6/2022).
Sasmito pun mencontohkan praktik pembatasan kebebasan pers yang sempat kelam dalam penerapan pasal penghinaan presiden di masa lampau. Baginya, 14 pasal RUU KUHP itu terkesan mengarah pada ancaman kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
"Sebagai contoh, pada 2003, Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Sukarnoputri," tutur Sasmito.
AJI menilai RUU KUHP yang masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022, pembahasannya tidak transparan karena ketiadaan draf RUU KUHP terbaru kepada publik.
Untuk itu, Sasmito meminta kepada DPR dan pemerintah untuk melibatkan publik dalam pembahasan draft RUU KUHP tersebut. Ia pun mendesak DPR dan pemerintah untuk transparan dalam pembahasan RUU KUHP dengan cara segera membuka draf terbaru ke publik.
"Undang-undang ini akan berdampak kepada semua warga negara, termasuk jurnalis karena itu sudah sepatutnya DPR dan pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada publik untuk membaca dan mengkritisi pasal-pasal dalam RUU KUHP," katanya.
Kemudian, Sasmito juga menggarisbawahi proses mekanisme sengketa pemberitaan yang ada di bumi Nusantara kali ini. Menurutnya, segala bentuk pelanggaran etika jurnalistik dan sengeketa pemberitaan harus kembali pada mekanisme yang diatur dalam Undang-undang Pers.
"Karena itu, pasal-pasal yang berkaitan dengan persoalan etika seperti Pasal 263 dalam RUU KUHP tentang kabar yang tidak pasti dan berlebih-lebihan perlu dihapus dari RUU KUHP," ucap Sasmito.
(muh)