Lemahnya Peran Struktur Hukum
loading...
A
A
A
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch/Pengurus Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)-Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI)
KEBERADAAN hukum tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hukum memiliki konteks yang lebih luas yang meliputi berbagai lingkup kehidupan. Dalam rangka menciptakan kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat maka hukum sangat berperan.
Hukum pasti ada dalam masyarakat, di mana ada masyarakat di sana ada hukum, demikian dikatakan Cicero. Hal ini dipertegas oleh AH Post yang menyatakan tidak ada suatu bangsa di dunia yang tidak memiliki hukum. Hukum muncul sebagai kebutuhan masyarakat agar tercipta kedamaian dan ketertiban untuk mendukung kesejahteraan seluruh masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara memiliki kewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUD 1945. Pembangunan hukum nasional dimulai dengan kepatuhan pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (UU PPP).
Mengingat hukum tumbuh sebagai kebutuhan masyarakat maka proses pembuatan peraturan perundangan harus terbuka dan melibatkan masyarakat. Salah satu asas di UU PPP adalah asas keterbukaan, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dan Pasal 96 ayat (1) UU tersebut memberikan ruang kepada masyarakat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Proses yang Bermasalah
Lawrence M Friedman berpendapat, berjalannya hukum dengan baik ditentukan oleh tiga hal yaitu, pertama, struktur hukum (legal structure) yaitu institusi pembuat dan penegak hukum, seperti DPR, Presiden dan para menteri, Pengadilan, Kepolisian, Kejaksaan, pengawas di tingkat kementerian/lembaga, dsb.
Kedua, substansi hukum (legal subtance) yaitu berupa isi peraturan perundang-undangan, putusan, dan ketetapan.
Ketiga, budaya hukum (legal culture), yaitu hubungan antara perilaku sosial dengan hukum, guna membentuk karakter masyarakat yang baik dalam melaksanakan prinsip dan nilai yang terkandung di peraturan perundang-undangan (norma hukum).
Peran struktur hukum yang baik akan mendukung terciptanya substansi hukum dan budaya hukum yang baik. Namun dalam pelaksanaannya tampak struktur hukum belum bekerja dengan baik, dan ini bisa dilihat dari beberapa regulasi yang dibuat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tidak dikenalnya metode Omnibus Law di UU PPP dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya mengonfirmas struktur hukum yaitu Presiden (beserta para pembantunya) dan DPR tidak berperan dengan baik dalam membuat UU tersebut. Putusan MK direspons Pemerintah dan DPR hanya sebatas merevisi UU PPP, namun tidak mengajak masyarakat memberikan masukan untuk membahas kembali UU Cipta Kerja.
Koordinator Advokasi BPJS Watch/Pengurus Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)-Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI)
KEBERADAAN hukum tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hukum memiliki konteks yang lebih luas yang meliputi berbagai lingkup kehidupan. Dalam rangka menciptakan kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat maka hukum sangat berperan.
Hukum pasti ada dalam masyarakat, di mana ada masyarakat di sana ada hukum, demikian dikatakan Cicero. Hal ini dipertegas oleh AH Post yang menyatakan tidak ada suatu bangsa di dunia yang tidak memiliki hukum. Hukum muncul sebagai kebutuhan masyarakat agar tercipta kedamaian dan ketertiban untuk mendukung kesejahteraan seluruh masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara memiliki kewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUD 1945. Pembangunan hukum nasional dimulai dengan kepatuhan pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (UU PPP).
Mengingat hukum tumbuh sebagai kebutuhan masyarakat maka proses pembuatan peraturan perundangan harus terbuka dan melibatkan masyarakat. Salah satu asas di UU PPP adalah asas keterbukaan, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dan Pasal 96 ayat (1) UU tersebut memberikan ruang kepada masyarakat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Proses yang Bermasalah
Lawrence M Friedman berpendapat, berjalannya hukum dengan baik ditentukan oleh tiga hal yaitu, pertama, struktur hukum (legal structure) yaitu institusi pembuat dan penegak hukum, seperti DPR, Presiden dan para menteri, Pengadilan, Kepolisian, Kejaksaan, pengawas di tingkat kementerian/lembaga, dsb.
Kedua, substansi hukum (legal subtance) yaitu berupa isi peraturan perundang-undangan, putusan, dan ketetapan.
Ketiga, budaya hukum (legal culture), yaitu hubungan antara perilaku sosial dengan hukum, guna membentuk karakter masyarakat yang baik dalam melaksanakan prinsip dan nilai yang terkandung di peraturan perundang-undangan (norma hukum).
Peran struktur hukum yang baik akan mendukung terciptanya substansi hukum dan budaya hukum yang baik. Namun dalam pelaksanaannya tampak struktur hukum belum bekerja dengan baik, dan ini bisa dilihat dari beberapa regulasi yang dibuat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tidak dikenalnya metode Omnibus Law di UU PPP dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya mengonfirmas struktur hukum yaitu Presiden (beserta para pembantunya) dan DPR tidak berperan dengan baik dalam membuat UU tersebut. Putusan MK direspons Pemerintah dan DPR hanya sebatas merevisi UU PPP, namun tidak mengajak masyarakat memberikan masukan untuk membahas kembali UU Cipta Kerja.