Lemahnya Peran Struktur Hukum

Kamis, 16 Juni 2022 - 12:15 WIB
loading...
Lemahnya Peran Struktur Hukum
Timboel Siregar (Ist)
A A A
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch/Pengurus Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)-Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI)

KEBERADAAN hukum tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hukum memiliki konteks yang lebih luas yang meliputi berbagai lingkup kehidupan. Dalam rangka menciptakan kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat maka hukum sangat berperan.

Hukum pasti ada dalam masyarakat, di mana ada masyarakat di sana ada hukum, demikian dikatakan Cicero. Hal ini dipertegas oleh AH Post yang menyatakan tidak ada suatu bangsa di dunia yang tidak memiliki hukum. Hukum muncul sebagai kebutuhan masyarakat agar tercipta kedamaian dan ketertiban untuk mendukung kesejahteraan seluruh masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara memiliki kewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUD 1945. Pembangunan hukum nasional dimulai dengan kepatuhan pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (UU PPP).

Mengingat hukum tumbuh sebagai kebutuhan masyarakat maka proses pembuatan peraturan perundangan harus terbuka dan melibatkan masyarakat. Salah satu asas di UU PPP adalah asas keterbukaan, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dan Pasal 96 ayat (1) UU tersebut memberikan ruang kepada masyarakat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Proses yang Bermasalah
Lawrence M Friedman berpendapat, berjalannya hukum dengan baik ditentukan oleh tiga hal yaitu, pertama, struktur hukum (legal structure) yaitu institusi pembuat dan penegak hukum, seperti DPR, Presiden dan para menteri, Pengadilan, Kepolisian, Kejaksaan, pengawas di tingkat kementerian/lembaga, dsb.

Kedua, substansi hukum (legal subtance) yaitu berupa isi peraturan perundang-undangan, putusan, dan ketetapan.

Ketiga, budaya hukum (legal culture), yaitu hubungan antara perilaku sosial dengan hukum, guna membentuk karakter masyarakat yang baik dalam melaksanakan prinsip dan nilai yang terkandung di peraturan perundang-undangan (norma hukum).

Peran struktur hukum yang baik akan mendukung terciptanya substansi hukum dan budaya hukum yang baik. Namun dalam pelaksanaannya tampak struktur hukum belum bekerja dengan baik, dan ini bisa dilihat dari beberapa regulasi yang dibuat.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tidak dikenalnya metode Omnibus Law di UU PPP dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya mengonfirmas struktur hukum yaitu Presiden (beserta para pembantunya) dan DPR tidak berperan dengan baik dalam membuat UU tersebut. Putusan MK direspons Pemerintah dan DPR hanya sebatas merevisi UU PPP, namun tidak mengajak masyarakat memberikan masukan untuk membahas kembali UU Cipta Kerja.

Polemik lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 yang ingin mengembalikan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai Pasal 35 dan Pasal 37 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), seharusnya bisa dihindari bila Kementerian Ketenagakerjaan terlebih dahulu menyosialisasi program Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) dan memberlakukan Permenaker Nomor 2 setahun setelah ditandatangani.

Pada akhirnya Pemerintah menerbitkan Permenaker Nomor 4 Tahun 2022 sebagai revisi dari Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Isi Permenaker Nomor 4 jelas bertentangan dengan Pasal 35 dan Pasal 37 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan pertentangan ini melanggar hierarki hukum yang ada di UU PPP. Seharusnya Menteri Ketenagakerjaan tetap mematuhi UU PPP sehingga program Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dilaksanakan sesuai filosofinya yaitu mendukung kesejahteraan pekerja yang memasuki masa pensiun.

Lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 yang memuat aturan vaksinasi individu berbayar melalui skema Vaksinasi Gotong Royong menimbulkan protes masyarakat. Karena diprotes akhirnya Permenkes Nomor 19 dibatalkan. Ini juga merupakan contoh buruknya proses pembentukan peraturan perundangan yang tidak melibatkan masyarakat. Seharusnya Menteri Kesehatan meminta masukan dari masyarakat sebelum menandatangani Permenkes tersebut, sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat tentang vaksinasi.

Penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 yang berlaku pafa 1 Februari 2022, ternyata tidak terimplementasi di masyarakat. Minyak goreng menjadi langka dan harga minyak goreng curah dijual lebih tinggi dari HET Rp11.500, harga minyak goreng kemasan sederhana di atas Rp13.500 per liter, dan harga minyak goreng kemasan premium di atas Rp. 14.000 per liter.

Pengawasan dan penegakan hukum mengawal HET minyak goreng yang menjadi tugas polisi, pengawasan di Kementerian Perdagangan, dan penegak hukum lainnya, tidak berjalan dengan baik sehingga masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng sesuai HET. Pada akhirnya Permendag Nomor 6 ini dicabut, dan harga minyak goreng naik mengikuti mekanisme pasar, lebih tinggi dari HET yang ditentukan.

Peraturan-peraturan menteri di atas dibuat dengan instan dan dibatalkan juga dengan mudah. Masyarakat diajak berpolemik pada saat peraturan menteri tersebut sudah jadi, bukan pada saat proses pembuatannya. Ini merupakan contoh buruk dalam membangun budaya hukum di Indonesia.

Proses pembuatan UU Cipta Kerja dan peraturan menteri yang menimbulkan polemik harus menjadi pembelajaran bagi kalangan struktur hukum kita dalam membuat peraturan perundangan ke depan, termasuk peran pengawasan dan penegakan hukum dalam mengawal berjalannya regulasi yang ada.

Kepatuhan pada UU PPP dan pelibatan masyarakat dengan baik akan menghasilkan peraturan perundangan sesuai kebutuhan masyarakat, yang akan menciptakan ketertiban dan kepatuhan di masyarakat. Budaya hukum akan tumbuh di masyaraat dan pemerintah pusat hingga daerah.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1140 seconds (0.1#10.140)