Pemerintah Diingatkan Jangan Andalkan Utang Luar Negeri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho menyoroti pemerintah memperoyeksikan terjadi peningkatan defisit APBN 2020 dari sebelumnya Rp852,9 triliun atau sekitar 5,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam Perpres Nomor 54/2020, menjadi Rp1.039,2 triliun atau menjadi 6,34% dari PDB.
Menurut Hardjuno, proyeksi tersebut seperti menyimpan bom waktu bagi bangsa Indonesia hingga 10 tahun ke depan. Uang pajak rakyat yang dikumpulkan melalui APBN harus menanggung beban akibat melebarnya defisit APBN 2020.
Hardjuno menanggapi pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa besaran defisit anggaran fiskal tahun ini akan menjadi beban pemerintah selama 10 tahun ke depan.
Dia menilai defisit anggaran yang dalam dan koreksi pertumbuhan ekonomi menjadi pemicu meningkatnya porsi utang pemerintah.
Peningkatan utang diproyeksi terjadi karena negara membutuhkan tambahan dana untuk membiayai pengeluaran yang tak sebanding dengan pendapatan.
Dia menjelaskan, saat ini saja utang sudah menjadi beban berat dan menggerus APBN. ”Anggaran negara dipakai membayar utang daripada untuk program rakyat,” tutur Hardjuno, Selasa (23/6/2020)
Dia mengingatkan Pemerintah Indonesia tidak selalu mengandalkan utang dari negara lain dalam mengatasi persoalan ekonomi. Pasalnya, bukan pemerintah yang akan menanggung beban tersebut, melainkan rakyat Indonesia hingga anak cucu.
”Jangan lupa yang membayar warisan utang ini adalah generasi sekarang dan mendatang,” ungkapnya. ( )
Diketahui, pelebaran defisit APBN tahun ini terjadi karena pemerintah membutuhkan dana besar untuk penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Salah satu peruntukannya yaitu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun.
Hardjuno menilai peningkatan defisit ini disebabkan Menteri Keuangan (Menkeu) tidak menghitung alokasi anggaran untuk pemulihan ekonomi atau untuk Covid-19 secara akurat. Akibatnya, tahun ini, alokasi anggaran dan program menumpuk pada APBN 2020 ini.
Menurut dia, lebih mengherankan lagi, ada program pemerintah yang justru tidak berkaitan dengan Covid-19 atau pemulihan ekonomi, namun diikutsertakan dalam program pemulihan ekonomi.
Misalnya dana talangan buat BUMN seperti Garuda dan BUMN lainnya. Padahal sebetulnya keuangan BUMN sudah jelek sebelum terjadi pandemi Covid-19, tetapi dimasukkan dalam APBN Covid-19.
”Makanya jangan heran kalau defisit APBN membengkak, dan saya kira Menkeu Sri Mulyani harus tanggung jawab sebagai bendahara negara,” katanya.
Menurut Hardjuno, proyeksi tersebut seperti menyimpan bom waktu bagi bangsa Indonesia hingga 10 tahun ke depan. Uang pajak rakyat yang dikumpulkan melalui APBN harus menanggung beban akibat melebarnya defisit APBN 2020.
Hardjuno menanggapi pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa besaran defisit anggaran fiskal tahun ini akan menjadi beban pemerintah selama 10 tahun ke depan.
Dia menilai defisit anggaran yang dalam dan koreksi pertumbuhan ekonomi menjadi pemicu meningkatnya porsi utang pemerintah.
Peningkatan utang diproyeksi terjadi karena negara membutuhkan tambahan dana untuk membiayai pengeluaran yang tak sebanding dengan pendapatan.
Dia menjelaskan, saat ini saja utang sudah menjadi beban berat dan menggerus APBN. ”Anggaran negara dipakai membayar utang daripada untuk program rakyat,” tutur Hardjuno, Selasa (23/6/2020)
Dia mengingatkan Pemerintah Indonesia tidak selalu mengandalkan utang dari negara lain dalam mengatasi persoalan ekonomi. Pasalnya, bukan pemerintah yang akan menanggung beban tersebut, melainkan rakyat Indonesia hingga anak cucu.
”Jangan lupa yang membayar warisan utang ini adalah generasi sekarang dan mendatang,” ungkapnya. ( )
Diketahui, pelebaran defisit APBN tahun ini terjadi karena pemerintah membutuhkan dana besar untuk penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Salah satu peruntukannya yaitu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun.
Hardjuno menilai peningkatan defisit ini disebabkan Menteri Keuangan (Menkeu) tidak menghitung alokasi anggaran untuk pemulihan ekonomi atau untuk Covid-19 secara akurat. Akibatnya, tahun ini, alokasi anggaran dan program menumpuk pada APBN 2020 ini.
Menurut dia, lebih mengherankan lagi, ada program pemerintah yang justru tidak berkaitan dengan Covid-19 atau pemulihan ekonomi, namun diikutsertakan dalam program pemulihan ekonomi.
Misalnya dana talangan buat BUMN seperti Garuda dan BUMN lainnya. Padahal sebetulnya keuangan BUMN sudah jelek sebelum terjadi pandemi Covid-19, tetapi dimasukkan dalam APBN Covid-19.
”Makanya jangan heran kalau defisit APBN membengkak, dan saya kira Menkeu Sri Mulyani harus tanggung jawab sebagai bendahara negara,” katanya.
(dam)