Perkebunan Kelapa Sawit Pasca-Covid-19
loading...
A
A
A
Bagaimana Pasca-Covid-19?
Wabah Covid-19 belum hilang, dan potensi penularan masih tetap ada. Oleh karena itu, cara pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang mau tidak mau harus berubah. Perubahan atau perbaikan dalam pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang tidak semata-mata karena wabah Covid-19, namun lebih karena tuntutan pasar.
Kejadian wabah Covid-19 ini bisa menjadi pemicu agar perkebunan dipaksa berubah lebih cepat. Perkebunan sawit dituntut berubah lebih cepat karena tuntutan daya saing. Produk CPO dan turunan menghadapi situasi pasar yang makin kompetitif dan kompleks.
Kompetitif karena persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan lainnya yang berlomba-lomba merebut pasar di negara konsumen. Semakin kompleks karena perdagangan komoditas minyak nabati telah melibatkan kepentingan politik perdagangan sehingga perdagangan minyak sawit berhadapan dengan berbagai hambatan perdagangan yang diciptakan oleh negara produsen pesaing minyak sawit.
Menghadapi tantangan seperti ini, perkebunan kelapa sawit hanya punya satu pilihan, yaitu menjadi makin produktif dan efisien. Satu di antara yang menyebabkan minyak sawit unggul hingga saat ini adalah biaya produksinya yang murah karena produktivitas yang tinggi relatif dibanding minyak nabati lain, yaitu minyak sawit 3,94 ton minyak/ha/tahun, dibandingkan dengan minyak kedelai 0,53 ton minyak/ha/tahun, minyak rapeseed 0,79 ton minyak/ha/tahun, dan minyak bunga matahari 0,81 minyak/ha/tahun (Oil World, 2018).
Faktanya, minyak sawit menguasai berbagai pasar konsumen di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, maupun Asia karena faktor murah. Buktinya, minyak sawit yang dihajar terus-menerus dengan isu negatif dan regulasi yang memberatkan, penggunaan minyak sawit terus meluas di berbagai penjuru dunia.
Namun, keunggulan komparatif ini tidak akan bisa terlalu lama dipertahankan. Biaya produksi minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Biaya tenaga kerja (perkebunan sawit adalah padat karya) naik hampir 10% setiap tahun karena regulasi pengupahan di Indonesia. (Baca juga: Ombudsman ungkap Tiga Faktor Biaya Rapid Test Dikeluhkan)
Biaya produksi (pupuk, bahan bakar, dan mesin-mesin) juga mengalami kenaikan yang konsisten setiap tahun. Keunggulan dalam produktivitas tidak sejalan dengan kinerja biaya produksi. Biaya produksi minyak sawit di Indonesia berkisar di angka USD500-600/ton. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan biaya produksi 2015 yang berkisar USD355/ton (Laporan Tahunan Perusahaan Publik, 2015).
Jika dibandingkan dengan biaya produksi minyak nabati lain, perkebunan sawit kalah efisien. Sebagai contoh, biaya produksi minyak bunga matahari di Ukraina adalah USD163/ton, biaya produksi minyak rapeseed di Jerman USD234/ton, sedangkan minyak kedelai di Brasil USD -538/ton (James Fry, 2015). Biaya produksi minyak kedelai bisa minus karena memperhitungkan produk pakan (meal product) yang mempunyai nilai jual sehingga biaya produksinya bisa ditutup oleh produk pakan (minyak kedelai adalah produk samping dalam pengolahan biji kedelai).
Sementara harga komoditas di pasar global diprediksi cenderung menurun, paling tidak data selama 20 tahun menunjukkan harga komoditas sawit terus berfluktuasi. Pada 2019 harga sawit pernah mencapai USD494/ton, artinya di bawah biaya produksi. Perkebunan kelapa sawit harus segera menyesuaikan diri dengan situasi dan perkembangan pasar.
Wabah Covid-19 belum hilang, dan potensi penularan masih tetap ada. Oleh karena itu, cara pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang mau tidak mau harus berubah. Perubahan atau perbaikan dalam pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang tidak semata-mata karena wabah Covid-19, namun lebih karena tuntutan pasar.
Kejadian wabah Covid-19 ini bisa menjadi pemicu agar perkebunan dipaksa berubah lebih cepat. Perkebunan sawit dituntut berubah lebih cepat karena tuntutan daya saing. Produk CPO dan turunan menghadapi situasi pasar yang makin kompetitif dan kompleks.
Kompetitif karena persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan lainnya yang berlomba-lomba merebut pasar di negara konsumen. Semakin kompleks karena perdagangan komoditas minyak nabati telah melibatkan kepentingan politik perdagangan sehingga perdagangan minyak sawit berhadapan dengan berbagai hambatan perdagangan yang diciptakan oleh negara produsen pesaing minyak sawit.
Menghadapi tantangan seperti ini, perkebunan kelapa sawit hanya punya satu pilihan, yaitu menjadi makin produktif dan efisien. Satu di antara yang menyebabkan minyak sawit unggul hingga saat ini adalah biaya produksinya yang murah karena produktivitas yang tinggi relatif dibanding minyak nabati lain, yaitu minyak sawit 3,94 ton minyak/ha/tahun, dibandingkan dengan minyak kedelai 0,53 ton minyak/ha/tahun, minyak rapeseed 0,79 ton minyak/ha/tahun, dan minyak bunga matahari 0,81 minyak/ha/tahun (Oil World, 2018).
Faktanya, minyak sawit menguasai berbagai pasar konsumen di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, maupun Asia karena faktor murah. Buktinya, minyak sawit yang dihajar terus-menerus dengan isu negatif dan regulasi yang memberatkan, penggunaan minyak sawit terus meluas di berbagai penjuru dunia.
Namun, keunggulan komparatif ini tidak akan bisa terlalu lama dipertahankan. Biaya produksi minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Biaya tenaga kerja (perkebunan sawit adalah padat karya) naik hampir 10% setiap tahun karena regulasi pengupahan di Indonesia. (Baca juga: Ombudsman ungkap Tiga Faktor Biaya Rapid Test Dikeluhkan)
Biaya produksi (pupuk, bahan bakar, dan mesin-mesin) juga mengalami kenaikan yang konsisten setiap tahun. Keunggulan dalam produktivitas tidak sejalan dengan kinerja biaya produksi. Biaya produksi minyak sawit di Indonesia berkisar di angka USD500-600/ton. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan biaya produksi 2015 yang berkisar USD355/ton (Laporan Tahunan Perusahaan Publik, 2015).
Jika dibandingkan dengan biaya produksi minyak nabati lain, perkebunan sawit kalah efisien. Sebagai contoh, biaya produksi minyak bunga matahari di Ukraina adalah USD163/ton, biaya produksi minyak rapeseed di Jerman USD234/ton, sedangkan minyak kedelai di Brasil USD -538/ton (James Fry, 2015). Biaya produksi minyak kedelai bisa minus karena memperhitungkan produk pakan (meal product) yang mempunyai nilai jual sehingga biaya produksinya bisa ditutup oleh produk pakan (minyak kedelai adalah produk samping dalam pengolahan biji kedelai).
Sementara harga komoditas di pasar global diprediksi cenderung menurun, paling tidak data selama 20 tahun menunjukkan harga komoditas sawit terus berfluktuasi. Pada 2019 harga sawit pernah mencapai USD494/ton, artinya di bawah biaya produksi. Perkebunan kelapa sawit harus segera menyesuaikan diri dengan situasi dan perkembangan pasar.