Pancasila Bukan Bidah

Rabu, 25 Mei 2022 - 18:37 WIB
loading...
Pancasila Bukan Bidah
Syaiful Arif (Foto: Ist)
A A A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

BEBERAPA minggu ini, viral seorang ustad menyebut Pancasila sebagai bidah. Ustad tersebut ialah Ustad Sofyan Chalid Ruray yang ceramahnya diunggah di saluran YouTube Gudok Lamak. Ceramah ini lalu diberitakan oleh berbagai media dan viral di media sosial.

Dalam ceramahnya, Ustad Sofyan menyatakan Pancasila merupakan bidah karena tidak ada dalil dalam Alquran dan hadis tentang Pancasila. Oleh karena itu, menurutnya, Pancasila adalah bid’ah, yakni sesuatu yang baru yang tidak ada, baik di kitab suci maupun di praktik hidup Nabi Muhammad SAW. Lebih jauh ia lalu menganjurkan untuk lebih mencintai Mekkah dan Madinah sebagai kota kelahiran Islam, daripada mencintai Indonesia.

Pandangan seperti Ustad Sofyan ini banyak dimiliki oleh Ustad-ustad “berhaluan kanan”, baik yang menganut paham Wahabisme maupun Salafi, dari Salafi Haroki (Salafi pergerakan yang ingin mendirikan negara Islam melalui pergerakan sosial-politik), hingga Salafi Qitali (Salafi militeristik yang menghalalkan pembunuhan demi pendirian negara Islam).

Argumentasi yang digunakan sama, yakni Pancasila adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya baik di Alquran maupun hadis. Lebih lanjut, “kaum takfiri” (kaum yang suka mengafirkan pihak yang berbeda) ini bahkan menyebut Pancasila sebagai berhala yang disembah selain Allah (thaghut).

Persoalannya, benarkah Pancasila merupakan bidah dan tidak ada dalilnya dalam Alquran dan hadis? Lalu seperti apakah sebenarnya perumusan dalil dalam Islam, sehingga penilaian terhadap Pancasila semestinya tidak hitam putih?

Ayat-ayat Pancasila
Memang istilah Pancasila tidak ada di Alquran dan hadis, akan tetapi sila persilanya terdapat dalam Alquran, hadis hingga khazanah hukum Islam. Terkait istilah, Piagam Madinah (mistaq al-Madinah) yang disusun oleh Nabi Muhammad di Madinah juga tidak ada di Alquran, meskipun tentu ada dalam sejarah kehidupan Nabi. Istilah yang mirip dengan Pancasila terdapat dalam literatur hukum Islam, yakni ushul al-khams (lima pokok) hal-hal yang niscaya ada dalam kehidupan manusia, yang merupakan tujuan turunnya syariah Islam (maqashid al-syari’ah). Ushul al-khams tersebut ialah perlindungan terhadap agama, nyawa, akal, keturunan dan harta.

Meskipun istilah Pancasila tidak ada dalam Alquran dan hadis, namun sila-silanya terdapat dalam Alquran dan hadis. Dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat di surat al-Ihlas: 1, atau al-Baqarah: 177. Dalam al-Ihlas ditegaskan Keesaan Allah SWT, sedangkan dalam al-Baqarah: 177 ditekankan pengamalan iman kepada Allah harus melalui kepedulian kepada fakir miskin, satu hal yang menggambarkan kesatuan sila Ketuhanan dengan sila Kemanusiaan dan Keadilan Sosial.

Sila Kemanusiaan Pancasila juga terdapat dalam al-Maidah: 32 di mana Allah memuliakan martabat manusia dengan melarang pembunuhan terhadap manusia, dan memerintahkan untuk membantu kehidupan sesama manusia. Sila Kebangsaan terdapat dalam al-Maidah: 48 di mana Allah memerintahkan manusia untuk menghormati perbedaan sebagai Sunnatullah. Penghormatan terhadap kemajemukan adalah inti kebangsaan, meskipun ayat tersebut tidak menyebut bangsa.

Sila permusyawaratan terdapat dalam Ali Imran: 159 di mana Allah memerintahkan manusia untuk memusyawarahkan setiap hal. Serta sila Keadilan Sosial terdapat dalam surat al-Ma’un: 1-7 di mana Allah menyebut orang (yang mengaku beriman) namun tega menghardik anak yatim dan pelit membantu fakir miskin, sebagai orang yang mendustakan agama.

Selain Alquran, sila-sila Pancasila juga terdapat di hadist, misalnya sila Kedaulatan Rakyat. Dalam hadist riwayat Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda: Ma min ‘abdin yastar’ihillahu ra’iyyatan yatumu yauma yamutu wahuwa ghasyun lira’iyyatihi harramallahu ‘alaihil jannah. Artinya: Barangsiapa diamanahi oleh Allah sebuah kepemimpinan, lalu ia meninggal, di hari meninggalnya sebagai pemimpin yang zalim kepada rakyatnya, maka diharamkan oleh Allah surga baginya. Hadist ini menegaskan bahwa pemimpin yang zalim (yang tidak sesuai dengan sila keempat Pancasila) tidak akan masuk surga.

Berdasarkan fakta-fakta ini, maka tuduhan Ustad Sofyan dan kawan-kawannya tidak berdasar, sebab sila-sila Pancasila ternyata terdapat, baik di Alquran maupun hadist. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila bukanlah bidah seperti yang dituduhkan, karena nilai-nilai tersebut telah lama dianjurkan oleh Islam.

Prinsip Istihsan
Pada saat bersamaan, para ustad konservatif tersebut juga bermasalah secara metodologis, sebab mereka tidak menggunakan metodologi yang benar dalam merumuskan “hukum” Pancasila. Dalam upaya pembentukan hukum (istinbant al-hukm), para ustadz tersebut hanya menggunakan dua sumber utama, yakni Alquran dan hadis, serta mengesampingkan sumber lainnya, yakni ijma’ (konsensus ulama) dan analogi hukum (qiyas). Padahal menurut para ahli hukum Islam (fuqaha’), sumber hukum Islam ialah Alquran, hadis, ijma’ dan qiyas. Dua sumber terakhir bersifat ijtihadi (pemikiran akal) oleh para ulama dengan tetap bersandar pada Alquran dan hadis.

Dalam kerangka ijma’ dan qiyas, para ulama Indonesia telah melakukannya, untuk membangun hubungan antara Islam dan Pancasila. Ijma’ tersebut dilakukan oleh para ulama (fuqaha’) dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ijma’ NU dilakukan dalam Munas Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo, yang menegaskan keselarasan Islam dan Pancasila karena beberapa alasan.

Pertama, sila Ketuhanan YME merupakan cerminan dari tauhid. Kedua, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan bagian dari pengamalan syariah Islam dalam kehidupan bernegara. Sedangkan ijma’ Muhammadiyah dilakukan oleh Majelis Tarjih pada tahun 1984 di Surakarta yang menegaskan sila Ketuhanan YME sebagai cerminan dari tauhid. Baik Munas Alim Ulama NU maupun Majelis Tarjih Muhammadiyah merupakan forum para ahli fikih untuk merumuskan jawaban Islam terhadap persoalan yang berkembang di masyarakat, termasuk persoalan kenegaraan.

Di dalam dua ijma’ tersebut, NU dan Muhammadiyah melakukan qiyas, bahwa sila Ketuhanan YME dalam Pancasila merupakan cerminan (sama) dengan prinsip tauhid dalam Islam. Berdasarkan qiyas inilah, maka NU dan Muhammadiyah mantab menerima Pancasila, baik sebagai dasar negara maupun asas organisasi, tanpa mengganti Islam sebagai agama dan akidah. Analogi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tauhid dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah berdasarkan keputusan para tokohnya, yakni KH Wahid Hasyim (NU) dan Ki Bagoes Hadikoesoemo (Muhammadiyah) yang berpandangan sama dalam momen penggantian sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalan syariat Islam” dengan sila “Ketuhanan YME” pada tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI.

Dalam konteks metodologi penerapan hukum (ijtihad tathbiqi), para ustadz konservatif tersebut juga tidak menggunakan metodologi. Sebab dalam rangka penerapan hukum Islam, terdapat beberapa prinsip yang harus digunakan, yakni kemaslahatan (mashlahah mursalah), kebaikan di masyarakat (istihsan) dan tradisi (‘urf). Ketiga prinsip ini terdapat dalam Alquran, misalnya istihsan yang bersumber dari surat al-Zumar: 18 di mana Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti apa yang paling baik di masyarakat, sebagai orang yang berakal sehat. Di Indonesia, Pancasila adalah hal yang paling baik, yang diputuskan oleh para pendiri bangsa. Dengan demikian, mengikuti Pancasila dalam kehidupan berbangsa adalah pengamalan istihsan yang merupakan salah satu prinsip pengamalan syariah Islam.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1010 seconds (0.1#10.140)