Pengamat Hukum: Penunjukan Pj Kepala Daerah Harus Hormati Putusan dan Saran MK
loading...
A
A
A
Hal tersebut kata dia seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam membentuk Pj kepala daerah. "Pertimbangan ini seharusnya demi azas kehati-hatian dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri. Namun sampai hari ini peraturan pelaksana itu tidak dibentuk oleh Mendagri," terangnya.
Padahal kata MK dalam putusannya keperluannya terkait tiga hal, agar penunjukan Pj itu betul-betul mempertimbangkan keterbukaan dan transparansi.
Ia menekankan pada pentingnya kompetensi untuk memimpin daerah melalui proses demokrasi konstitusional. Atau jika menggunakan konsep UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota ada dua cara.
"Jika sisa masa jabatan 18 bulan dapat ditunjuk oleh Presiden melalui Mendagri. Jika lebih dari 18 bulan pemilihan dapat dilakukan di DPRD. Penunjukan penjabat itu harus betul menampung aspirasi masyarakat daerah dan pemerintah daerah. Penunjukan beberapa Pj tidak sesuai aspirasi masyarakat daerah," papar Feri.
Apabila menggunakan asas umum pemerintahan yang baik seorang penyelenggara negara harus mempertimbangkan unsur kehati-hatian. "Jika MK sudah memberikan saran untuk membentuk peraturan pelaksana seharusnya menteri membentuk, tapi tidak dibentuk. Konsekuensi administrasinya ada jika proses penunjukan penjabat itu bertentangan dengan putusan MK dan saran-saran pertimbangan MK, maka bisa berkonsekuensi terkait Pasal 17,18,19 di UU Administrasi Pemerintahan," jelas Feri.
Apabila kebijakan dan tindakan pejabat tata usaha negara atau badan tata usaha negara dianggap berkonsekuensi sebagai tindakan sewenang-wenang maka kata Feri Amsari kebijakan yang diambil tidak sah.
"Penunjukan Penjabat kepala daerah ini merupakan pilihan Mendagri dan Presiden di 270 daerah dari 2022 dan 2023. Kalau ini gagasan konstitusional yang harus dipatuhi ya dipatuhi, kalau dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 ada konsep yang harus dipertahankan sebagai prinsip demokrasi dalam pemilihan kepala daerah harus dijalankan," tegasnya.
Pertanyaan besarnya saat ini kata dia kenapa pemerintah melalui Kemendagri tidak menjalankan konsep-konsep yang ada di UUD, putusan MK, dan UU Nomor 10 Tahun 2016.
"Kalau dicari dari aspek konstitusional ini jelas salah. Putusan MK harus dijalankan dengan spesifik agar ada marwah penghormatan terhadap MK. Setiap penyelenggara negara yang mengabaikan putusan MK sebagai tindakan pelanggaran inkonstitusional," pungkas Feri.
Padahal kata MK dalam putusannya keperluannya terkait tiga hal, agar penunjukan Pj itu betul-betul mempertimbangkan keterbukaan dan transparansi.
Ia menekankan pada pentingnya kompetensi untuk memimpin daerah melalui proses demokrasi konstitusional. Atau jika menggunakan konsep UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota ada dua cara.
"Jika sisa masa jabatan 18 bulan dapat ditunjuk oleh Presiden melalui Mendagri. Jika lebih dari 18 bulan pemilihan dapat dilakukan di DPRD. Penunjukan penjabat itu harus betul menampung aspirasi masyarakat daerah dan pemerintah daerah. Penunjukan beberapa Pj tidak sesuai aspirasi masyarakat daerah," papar Feri.
Apabila menggunakan asas umum pemerintahan yang baik seorang penyelenggara negara harus mempertimbangkan unsur kehati-hatian. "Jika MK sudah memberikan saran untuk membentuk peraturan pelaksana seharusnya menteri membentuk, tapi tidak dibentuk. Konsekuensi administrasinya ada jika proses penunjukan penjabat itu bertentangan dengan putusan MK dan saran-saran pertimbangan MK, maka bisa berkonsekuensi terkait Pasal 17,18,19 di UU Administrasi Pemerintahan," jelas Feri.
Apabila kebijakan dan tindakan pejabat tata usaha negara atau badan tata usaha negara dianggap berkonsekuensi sebagai tindakan sewenang-wenang maka kata Feri Amsari kebijakan yang diambil tidak sah.
"Penunjukan Penjabat kepala daerah ini merupakan pilihan Mendagri dan Presiden di 270 daerah dari 2022 dan 2023. Kalau ini gagasan konstitusional yang harus dipatuhi ya dipatuhi, kalau dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 ada konsep yang harus dipertahankan sebagai prinsip demokrasi dalam pemilihan kepala daerah harus dijalankan," tegasnya.
Pertanyaan besarnya saat ini kata dia kenapa pemerintah melalui Kemendagri tidak menjalankan konsep-konsep yang ada di UUD, putusan MK, dan UU Nomor 10 Tahun 2016.
"Kalau dicari dari aspek konstitusional ini jelas salah. Putusan MK harus dijalankan dengan spesifik agar ada marwah penghormatan terhadap MK. Setiap penyelenggara negara yang mengabaikan putusan MK sebagai tindakan pelanggaran inkonstitusional," pungkas Feri.
(kri)